Oleh Luh De Suriyani
Ratusan pekerja seks pria disebut “kucing”, sebuah idiom untuk pekerja seks pria biseksual bekerja di Bali. Hingga 2006, menurut Yayasan Gaya Dewata, salah satu lembaga penanggulangan HIV dan AIDS khusus gay, waria, dan biseksual di Bali ini telah mendampingi sekitar 360 kucing yang bekerja di seputar Kuta dan Denpasar.
“Mereka beresiko tinggi pada penularan HIV dan infeksi menular seksual karena kerap berganti-ganti pasangan dengan lelaki maupun perempuan,” ujar Vivi, Direktur Yayasan Gaya Dewata (YGD), salah satu lembaga penanggulangan AIDS tertua di Bali.
YGD digerakkan oleh sejumlah aktivis gay dan waria yang telah 13 tahun bergerak di bidang penanggulangan HIV, AIDS dan IMS. Programnya antara lain memberikan edukasi, pendampingan individu serta kelompok, dan akses pengobatan HIV dan IMS.
Kucing kini menjadi istilah resmi yang dipakai stakeholder penanggulangan HIV dan IMS. Ini berbeda dengan istilah male sex male (MSM) yang biasanya digunakan karena kucing juga berhubungan seks dengan perempuan pelanggannya.
Data YGD menyebutkan pada pemeriksaan sukarela HIV dan IMS hingga Agustus 2008 ini, terdapat 5% kucing yang terinfeksi IMS dari sekitar 250 orang pekerja seks MSM dan kucing yang melakukan tes. “Jumlah ini menurun sejak 2006, setelah dilakukan pendampingan intensif pada kelompok ini yang meliputi penyuluhan dan pengobatan gratis,” tambah Vivi, aktivis waria ini.
Jumlah kucing yang terinfeksi HIV masih sedikit dibanding gay dan waria, yakni 2 orang. “Dibandingkan dengan waria, gay dan kucing sudah taat dalam penggunaan kondom. Ini terkait dengan pelanggan mereka yang rata-rata terdidik dan dari kalangan menengah atas termasuk para turis” Gino, koordinator petugas lapangan YGD menjelaskan.
Gino menambahkan kucing sangat sulit membuka diri karena kelompok mereka yang sangat tertutup. Kucing dinilai sebagai komunitas eksklusif karena tidak bekerja di jalanan seperti halnya waria atau MSM lain. Menurut Gino kebanyakan kelompok kucing yang didampingi YGD memiliki germo yang akan mengatur transaksi seks.
“Kucing kini menjadi fokus dampingan YGD karena jumlahnya sangat pesat di Bali,” kata Vivi. Ia mengatakan semakin banyak pria muda yang tertarik menjadi kucing karena penghasilannya sangat tinggi. Selain itu mereka tidak mudah diidentifikasi karena tidak berperilaku khas seperti gay dan waria. “Mereka merasa aman dan tidak terdiskriminasi. Padahal rentan dengan kekerasan seksual dan terinfeksi HIV atau IMS,” tambahnya.
Karena itu, pihaknya melakukan penjangkauan intensif dengan menggunakan key person dan peyugas lapangan yang sudah akrab dengan kelompok ini. Key person itu melakukan pertemuan 10 kali dalam sebulan untuk berdiskusi soal masalah-masalah kesehatan yang mereka alami serta memberi akses rujukan pengobatannya.
Selain itu, faktor resiko tinggi terinfeksi HIV dan IMS pada kucing juga karena komunitas ini kerap berpindah-pindah. “Mereka sangat mobile tapi masih dalam satu jaringan. Ini untuk menyulitkan pelanggan mengidentifikasi profil mereka serta memudahkan mencari pelanggan baru,” ujar Gino yang merintis jalan penjangkauan kelompok ini pada 2006 lalu.
Sementara itu data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali mencatat, hingga Juli 2008, sebanyak 133 orang dari kelompok risiko biseksualdan homoseksual yang mengidap HIV/AIDS di Bali dari total 2208 orang dengan HIV/AIDS (Odha). Faktor risiko tertinggi kasus HIV/AIDS dari kelompok heteroseksual yakni 1297 orang, disusul pengguna narkoba suntik 662 orang. [b]
Catatn: Artikel ini dimuat pula di The Jakarta Post
sangat disayangkan jika jumlahnya meningkat, hal ini mencerminkan mental pemuda bangsa ini yang lembek sehingga mencari jalan pintas n mudah untuk mencari rezeki…alias males…
pesan sponsor … mampir ke http://www.rumajual.com terima kasih
terima kasih share infonya // Salam dr Jogja //
kalau sudah demikian bagaimana? siapa yang disalahkan? sebagai orang medis, saya hanya berharap bahwa bangsa kita segera MELEK! yang akan menikmati hidup selanjutnya adalah anak2 kita, kalau kerusakan yang ada khususnya moral tidak segera diperbaiki, bagaimana nanti?