Keutuhan tanah Bali semakin tercabik-cabik oleh menguatnya kuasa uang.
Kuasa uang itu berlindung di balik semangat pemahaman otonomi daerah yang sempit. Para bupati dan walikota di Bali kini benar-benar telah menjelma menjadi raja-raja kecil. Mereka tunduk dan mengabdi pada kuasa uang. Peraturan Daerah Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Bali yang memiliki semangat menyelamatkan Bali, contohnya, justru beramai-ramai ditolak.
Semangat otonomi yang sempit dalam perbudakan kuasa uang ini, kini bahkan telah menjalar ketingkat “krama” Bali. Akibatnya desakan penguasaan atas aset-aset ekonomi seperti obyek wisata oleh “krama” Bali yang tergabung dalam komunitas masyarakat adat pun menjadi semakin menguat. Bali hari ini adalah Bali yang tunduk pada kuasa uang.
Para pemikir Marxisme klasik meyakini bahwa ekonomi merupakan faktor paling determinan dalam semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu hal pun yang berkaitan dengan manusia di dunia ini yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi.
Pemikiran kaum marxisme klasik ini sebenarnya juga diyakini kaum neoliberal yang dikenal sebagai antitesis paham marxisme. Kaum neoliberal dengan tokohnya F. Von Hayek misalnya meyakini bahwa manusia itu semata-mata hanyalah mahluk ekonomi (Homo Economicus). Artinya, semua relasi hubungan manusia di dunia diatur dalam hukum ekonomi yang berintikan pada aktivitas transaksional atau pertukaran.
Bahkan dalam hubungan manusia dengan Tuhan sekalipun, ada unsur transaksionalnya. Misalnya manusia memuja Tuhan adalah dengan harapan agar mendapatkan kesejahteraan hidup atau tempat di surga.
Karena itulah meski komunisme sebagai ideologi yang lahir dari pemikiran Marxian dan pernah menjelma sebagai lawan tangguh dari kapitalisme telah runtuh, tesis kaum Marxian bahwa ekonomi adalah faktor paling determinan dalam kehidupan manusia masih tetap berlaku. Bahkan di era kapitalistik seperti sekarang ini, justru ekonomi lah yang menjadi penentu semua kehidupan manusia di muka bumi ini. Artinya faktor ekonomi menjadi semakin benar-benar determinan.
Tuhan Baru
Ekonomi dalam perwujudan di kehidupan sehari-hari manusia ditandai dengan kehadiran uang. Tidak hanya sebagai simbol dan alat tukar, uang dalam masyarakat kapitalisme saat ini telah berubah menjadi berhala atau bahkan tuhan baru yang disembah dan dipuja oleh manusia. Semuanya ditentukan oleh kekuatan uang. Hal-hal yang berada diluar uang dengan otomatis disingkirkan atau tersingkirkan.
Sementara itu di sisi lain, kehidupan manusia modern yang mengedepankan rasionalitas menjadikan kata-kata “efektivitas dan efisiensi” sebagai mantra utama dalam menyembah berhala atau tuhan bernama uang. Akibatnya kuantitas dipandang lebih penting daripada kualitas. Jadi manusia modern yang kapitalistik lebih mementingkan uang dalam kuantitas yang banyak daripada bagaimana kualitas cara uang itu di peroleh.
Segala sesuatunya kemudian diukur oleh berapa kuantitas uang yang terlibat dalam semua urusan manusia. Semakin banyak kuantitas uang yang terlibat semakin menariklah urusan itu bagi manusia. Sebaliknya, jika kuantitas uang yang terlibat dalam urusan tersebut sedikit, pastilah urusan itu akan diabaikan. Kekuasan uang menundukkan hampir semua kekuasaan lainnya termasuk kekuasaan yang didasarkan pada kekuatan agama sekalipun, tunduk pada kuasa uang.
Dalam praktik kekuasan politik, kuasa uang jauh lebih hebat. Bahkan kuasa uanglah yang menjadi panglima semua kebijakan politik pemerintahan. Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik ditingkat nasional sampai daerah haruslah tunduk pada kuasa uang. Diperkuat dengan kebijakan otonomi daerah ditingkat Kabupaten/Kota, kepentingan meraup Pendapatan Asli Daerah (PAD) akhirnya menjadi kekuatan utama yang mengendalikan semua kebijakan pemerintah daerah.
Praktik berkuasanya uang dalam politik pemerintahan kini semakin terasa di pemerintahan daerah di Bali. Salah satu contoh adalah rencana penjualan pasir laut oleh Bupati Tabanan. Tidak ada kepentingan lain yang bisa dianggap sebagai faktor determinan dalam kebijakan Bupati Tabanan ini selain faktor kuasa uang.
Contoh lain dari kuatnya kuasa uang di pemerintahan daerah di Bali adalah penolakan pemberlakuan Perda RTRW di Bali. Penolakan oleh para bupati dan walikota bisa saja berlindung dibalik berbagai alasan. Namun, sulit dipungkiri bahwa uang adalah kuasa yang paling dominan di atas semua alasan-alasan yang dilontarkan. Bagaimana uang akan bisa mengalir ke kas daerah, jika pengaturan ruang demi kepentingan pariwisata yang selama ini menjadi sumber pendapatan harus diatur demikian ketat?
Tunduk dalam kuasa uang merembet jauh sampai ke krama Bali. Tuntutan krama Bali di beberapa daerah atas penguasaan asset obyek wisata juga menjadi semakin lazim di era otonomi daerah. Yang muncul kepermukaan adalah obyek wisata Tanah Lot dan juga Kebun Raya Bedugul. Obyek wisata seperti Sanur dan Kuta mungkin sudah lebih dulu dikuasai oleh masyarakat adat sehingga hal ini memicu munculnya tuntutan serupa di daerah lainnya.
Kritis
Dalam kuasa uang yang semakin menguat, manusia-manusia Bali perlu terus menerus diberikan kesadaran dan pemahaman. Di sinilah faktor kepemimpinan yang kuat dan menginspirasi diperlukan. Pemimpin yang berani dengan tegas berdiri berseberangan dan memiliki kecurigaan yang besar terutama kepada investor. Tidak berarti pemimpin Bali memusuhi investor, melainkan dengan kritis mempelajari apa dampak dari investasi yang ditanamkan di tanah Bali.
Investor dalam masyarakat kapitalistik adalah aktor yang selalu berusaha menyebar kekuasaannya untuk memupuk modal dengan menggunakan berbagai macam cara. Investor sangat sedikit yang memiliki kepedulian atas masa depan tanah dan manusia yang menjadi sasaran investasinya.
Hal ini wajar mengingat kepentingan yang diutamakan adalah bagaimana modalnya bisa terus bertambah. Urusan kelestarian lingkungan ataupun masa depan ekonomi masyarakat di mana investasinya ditanam tidaklah menjadi perhatian utama. Terlebih lagi investasi di bidang pariwisata yang lebih banyak menjadikan masyarakat lokal sebagai penonton dan cenderung mendorong prilaku konsumtif.
Belum lagi masalah budaya lokal yang juga mengalami inflitrasi cukup kuat oleh budaya asing, apalagi budaya lokal tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
Bali memerlukan pemimpin yang siap tidak populer, bahkan mungkin akan menjadi musuh bagi sebagian besar rakyat yang selama ini sudah merasa nyaman dalam perbudakan kuasa uang. Pemimpin yang mau menyelamatkan masa depan tanah Bali kemungkinan besar akan berhadapan dengan kekuatan yang digerakkan kuasa uang yang kini telah berhasil menguasai benak dan pikiran sebagian besar manusia Bali.
Harapan lahirnya pemimpin yang berani menentang kuasa uang terutama di tingkat pemerintah kabupaten dan kota yang ada di Bali. Ini berarti Bali memerlukan bupati dan walikota yang berani berkata tidak dengan tegas kepada para investor yang akan menghancurkan tanah Bali, meski investor itu membawa segudang uang dalam bentuk dolar sekalipun. [b]
Sumber foto dari Aldo Sianturi.
uang..uang dan uang. Sekarang semuanya diukur …..