Teks dan Foto Yayasan Wisnu
Banyaknya masalah di Badung Selatan akibat derasnya pembangunan infrastruktur dan polemik Perda Tata Ruang membuat warga Badung utara siaga.
Misalnya warga Banjar Kiadan, Pelaga, Badung berinisiatif membuat seminar Tata Ruang Desa agar lahan tak mudah dicaplok investor tanpa kontrol dan mencegah kerusakan lingkungan. Seminar Tata Ruang tentang Pelibatan Masyarakat dalam Penyusunan Tata Ruang tingkat Kecamatan Petang ini dilaksanakan di Balai Subak Abian Sari Boga, Banjar Kiadan, Pelaga, Badung, Senin kemarin.
Perwakilan pemerintah yang hadir adalah Kepala Bappeda Badung I Wayan Suambara, Kepala Komisi B DPRD Badung sekaligus Ketua Pansus Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Putu Parwata, dan anggota DPRD Badung dari dapil Pelaga Giri Prasta. Sementara dari para ahli ada I Ketut Sumarta, budayawan dan Sekjen Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali dan I Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu yang sepuluh tahun mendampingi warga membuat peta desa. Acara ini dilaksanakan Tim Tata Ruang Desa Adat/Banjar Kiadan Pelaga dan Yayasan Wisnu dengan dukungan Yayasan TIFA.
Perwakilan pemerintah mengaku terkaget-kaget dengan inisiatif warga yang sudah membuat tata ruang desanya sendiri di tengah proses penyusunan RTRWK Badung yang berlangsung lama. “Ini sebuah terobosan kalau ada desa yang memberikan usulan tata ruang pada pemerintah. Saya sendiri heran Pelaga bisa merumuskannya dengan lengkap,” ujar Suambara.
Dalam presentasinya, Kepala Subak Abian Sari Boga Kiadan yang mewakili warga I Nyoman Juta mengatakan banyak masalah yang dihadapi kawasan resapan air di Badung ini. Misalnya Kiadan dihadapkan pada kenyataan sebanyak 1,29 persen lahan (palemahan) sudah dimiliki orang luar, yakni seluas 3,12 ha. Sementara hanya 1,94 persen lahan yang tidak boleh dijual, yakni seluas 4,69 ha yang merupakan pekarangan desa dan pelaba pura.
“Adanya pertambahan jumlah penduduk menyebabkan desa adat kiadan membutuhkan perluasan zona permukiman, sementara ada 40 ha yang ditetapkan sebagai jalur hijau,” ujar Juta.
Debit air untuk pengairan sawah turun sejak tahun 1999. Hasil pertanianan (terutama kopi) semakin menurun kuantitas dan kualitasnya, di sisi lain harga untuk semua jenis pertanian tidak stabil. Kebutuhan akan energi (listrik dan gas) semakin besar dan masih tergantung pihak luar, sementara Desa Kiadan memiliki potensi untuk mengelola sumber energi biogas.
“Dari berbagai fakta sosial di atas, perlu berbagai upaya demi pembangunan desa dengan tetap menjaga pelesatarian alam, dan oleh karenanya perlu dibuat keputusan-keputusan desa dalam bentuk Perarem, untuk memberi pijakan yang cukup bagi krama desa dan bendesa berbuat lebih baik sesuai prinsip Tri Hita Karana,” tambah Juta.
Belasan Peraturan perundang-undangan juga telah dibahas dalam rapat tim tata ruang desa. Masalah dan solusinya dicatat dalam Risalah Pertemuan Tim Tata Ruang Desa Dan Usulan Pembaruan Aturan Desa (Legal Drafting).
Kepala pansus RTRWP Badung Putu Parwata mengatakan akan mengakomodasi seluruh usulan desa. “Perlu ada sinergitas pembangunan Badung Utara dan Selatan. Kami akan menetapkan RTHK (kawasan hijau) 50% pada RTRWK Badung,” katanya.
Didesak soal strategi pemerataan Badung ini, Parwata mengatakan akan memberikan insentif bagi Badung Utara untuk menjaga kawasan resapan hutan lindung. Soal moratorium atau penghentian sementara fasilitas wisata baru di Badung Selatan, Ia mengaku belum sepakat dengan alasan PAD Badung bisa terganggu.
Pengaturan rencana kawasan pengembangan permukiman ala Kiadan ini telah dibuat. Misalnya yang dapat menjadi kawasan permukiman adalah wilayah tempat tinggal yang berstatus tanah pekarangan dan diperluas sepanjang jalan raya arah utara dan selatan. Jarak bangunan permukiman dari As jalan raya adalah 9 meter, pembangunan rumah bisa dilakukan di dalam areal kebun dengan melakukan upacara dan membuat batas yang jelas antara areal rumah dengan kebun.
Luas maksimal untuk pembangunan rumah adalah 5 (lima) are untuk setiap KK khusus krama banjar Kiadan. Selain itu pembangunan rumah bertingkat 1 (satu) minimal berjarak 50 m dari penyengker pura. Di bagian atas tidak boleh untuk menjemur, kecuali penganggen merajan dan tidak boleh membangun WC.
Pelaga yang menjadi sumber air untuk Badung Selatan juga dinilai makin kritis kondisinya. Karena itu hutan harus diatur. Yang dimaksud dan termasuk hutan belantara adalah tanah PD (Perlindungan (d)Jurang) di sepanjang jurang atau pangkung. Hutan bambu juga perlu diatur, bisa dimanfaatkan namun secara terbatas.
Untuk tanah PD yang berstatus milik pribadi, Lahan tidak boleh dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain, baik krama banjar, krama tamiu, maupun orang luar. Pada radius 5 meter di sekitar pura tidak diperbolehkan mendirikan bangunan apapun. [b]