Selembar kain itu perlu waktu hingga 7 tahun membuatnya. Pantas, sampai belasan juta harganya.
Desa Tenganan merupakan salah satu tujuan wisata budaya di Bali Timur. Perlu waktu sekitar 1,5 jam dari Denpasar ke desa ini. Desa di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini salah satu desa tua, dalam bahasa lain disebut bali aga, di Bali. Desa ini juga memiliki budaya khas yang tak ada di desa-desa lain di Bali.
Budaya khas itu, misalnya, tata ruang desa yang berbentuk seperti benteng. Hal ini karena dewa tertinggi di Desa Tenganan adalah Dewa Indra, bukan Trimurti atau Brahma, Wisnu, dan Syiwa, layaknya orang Hindu Bali pada umumnya.
Tenganan juga memiliki ritual khusus perang pandan (mekare-kare) tiap bulan Juni. Perang ini salah satu ritual untuk menghormati Dewa Indra selain juga ritual lain, perang bantal.
Sebagai daerah tujuan wisata, Tenganan juga punya banyak pilihan oleh-oleh. Ada kalender lontar, telur hias, kerajinan ata, dan kain geringsing.
Oleh-oleh khas Tenganan ini dijual mulai dari pintu masuk hingga rumah-rumah penduduk. Di tempat parkir di luar desa, misalnya, berderet-deret belasan toko suvenir ini. Toko di luar ini menjual anyaman khas Tenganan yang terbuat dari pohon ata. Anyaman ini umumnya berupa alat-alat rumah tangga atau aksesoris.
Di antara toko-toko ini ada pula yang menjual benda-benda kecil semacam patung perunggu bernilai ratusan ribu. Patung ini, menurutu penjualnya, tidak khas Tenganan. “Saya beli dari Jawa. Peminatnya rata-rata turis dari Eropa,” kata Nyoman Ardana, salah satu penjual.
Seperti halnya pemilik toko oleh-oleh lain di Tenganan, Ardana juga menjual dua suvenir khas Tenganan, kalender dan kain geringsing, selain suvenir lain seperti patung dan kerajinan dari pohon ata tersebut.
Tapi, akan lebih baik kalau membeli oleh-oleh khas ini di dalam desa, bukan di toko di tempat parkir.
Struktur Desa Tenganan berbentuk benteng yang dikelilingi bukit di sisi timur, utara, dan barat. Hanya ada satu pintu masuk ke desa ini di sisi selatan. Di sini ada pos masuk desa. Tidak ada karcis. Tapi, warga desa meletakkan buku tamu dan kotak sumbangan untuk turis yang datang.
Melewati pintu ini, turis akan bertemu jalan lebar di tengah desa yang berundak naik dari sisi selatan ke utara. Di tepi jalan ini, beberapa warga, sebagian besar laki-laki membuat dan menjual kalender lontar khas Tenganan.
Kalender Tenganan ini terbuat dari daun lontar. Tiap lembar daun lontar itu disusun secara vertikal dan terhubung dengan benang. Di tiap ujungnya, atas dan bawah, ada bilahan bambu untuk menguatkan kalender tersebut. Kalau dilipat, kalender ini lebih mirip bilahan bambu dari luar namun di dalamnya berisi kalender.
Sebenarnya, kalender ini tak hanya berisi gambar urutan waktu khas Bali dengan huruf-huruf Bali atau Jawa kuno. Ada juga lontar yang berisi cerita pewayangan, seperti Ramayana dan Mahabarata. Namun, penjualnya tetap menyebut suvenir itu sebagai kalender.
Harga kalender Bali ini tergantung dari kualitas, antara Rp 100.000 hingga Rp 500.000 per biji. Kalau mau yang paling murah, ada pembatas buku berupa selembar daun lontar bergambar pulau Bali atau cerita wayang. Harganya Rp 50.000.
Selain bisa menawar, pengunjung juga bisa melihat proses pembuatan kalender tersebut. Para penjualnya sekaligus pembuat kalender itu. Made Karta, salah satunya. Sambil menunggu para pembeli, dia juga membuat kalender.
Pembuat kalender itu membuat gambarnya dengan pena khusus, mirip belati, yang disebut pengrupakan. Setelah gambarnya jadi, mereka lalu menghitamkan kalender itu dengan buah kemiri (tingkih) yang sudah dibakar. Dan, eng ing eng, jadilah gambar yang semula cuma garis-garis tak jelas di lontar tersebut.
Pembuatan satu kalender bisa berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. “Tergantung jenis gambar dan pewarnaannya,” kata Karta. Makin lama dan bagus kalendernya, tentu saja makin mahal harganya.
Tapi, harga kalender yang ratusan ribu itu masih kalah dibanding harga kain geringsing. Satu lembar kain ini ada yang sampai Rp 15 juta!
Pembuatan kain geringsing dilakukan di dalam rumah-rumah warga yang selain jadi tempat tinggal juga jadi tempat jualan. Turis bebas keluar masuk ke rumah tersebut meski sebaiknya tetap bilang permisi atau mengucap salam.
Kain-kain geringsing dan suvenir lain dipamerkan di dalam rumah tersebut. Ibu-ibu pemilik rumah membuat geringsing tersebut sambil melayani pembeli. Mereka dengan ramah akan melayani tiap pembeli atau orang yang sekadar berkunjung. Begitu pula dengan Putu Darmi, salah satu pembuat kain geringsing tersebut.
Dia duduk lesehan sambil membuat kain geringsing. Ada dua jenis kain geringsing di sini, yaitu ikat tunggal (single) dan ganda (double). Jenis ini mengacu pada proses pembuatannya. Kurang lebih, kalau single berarti tenunannya hanya satu arah. Kalau double berarti dua arah, vertikal dan horisontal. Jenis ikat ganda lebih mahal.
Kain ini dibuat dari bahan alami untuk mewarnainya. Warna hitam dari daun taum (indigo). Warna kuning dari biji kemiri. Sedangkan warna merah dari kayu sunti dan kepundung. Secara sederhana, pembuatannya kurang lebih direndam, dijemur, lalu disimpan.
Pewarnaan kain ini yang perlu waktu lama. Ada yang 3 bulan, namun ada pula yang hingga 7 tahun. Makin lama prosesnya, makin bagus kualitas warnanya. Dan, tentu saja, lebih mahal harganya. Tapi, nyatanya kain geringsing ini tetap laris manis. Tentu saja untuk mereka yang punya banyak uang dan ingin mengenang Tenganan. [b]