Teks Bodrek Arsana, Foto Surya Majapahit
Belakangan ini perhatian warga tersita oleh kasus pencurian pratima di berbagai kabupaten/kota di Bali.
Setelah sekian lama belum terungkap siapa pelaku dan dalangnya, aparat keamanan akhirnya bisa menangkap para pelaku, termasuk penadah dan gudang penyimpanan hasil kejahatan. Sebagaimana diberitakan media massa di Bali, sejauh ini baru ada enam tersangka pelaku dan 1 orang penadah yang tertangkap. Sementara seorang penadah lagi diberitakan telah kabur sebelum bisa ditangkap aparat kepolisian.
Namun tugas berat masih membebani aparat kepolisian di Bali karena baru sekitar 10 persen kasus pencurian pratima yang berhasil terungkap. Sisanya sekitar 90 persen belum ada tersangkanya (NusaBali, Senin 18 Oktober 2010).
Kita masih harus menunggu kinerja aparat kepolisian di Bali untuk mengungkap kasus pencurian pratima yang menghebohkan masyarakat Bali. Besarnya perhatian publik akan kasus ini di Bali membuat Kapolda Bali, Irjen Hadiatmoko bahkan menjanjikan hadiah bagi siapa saja yang bisa memberikan informasi tentang pelaku dan penadah pencurian pratima. Sementara tokoh adat, agama di Bali berteriak lantang menyebut kasus pencurian pratima ini sebagai pelecehan terhadap agama Hindu dan adat budaya Bali.
Di balik ingar bingar perbincangan akan kasus pencurian pratima ini, ada beberapa catatan tercecer. Catatan ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Renungan untuk melihat kedalam (nyeliksik bulu). Catatan ini bisa menjadi untuk mengingat atau dilupakan begitu saja. Juga bisa jadi masukan merenungkan ulang berbagai persoalan sosial, ekonomi, agama yang sedang membelit Bali saat ini.
Dalam konteks lebih luas (walau agak ambisius) meredefinisi ulang kebudayan Bali agar dinamis mengarungi abad yang semakin berlari tunggang langgang.
Pertama, selama ini diakui atau tidak ada stereotype yang berkembang dan direprodusir di kalangan masyarakat Bali. Stereotip tersevut menyebutkan bahwa “orang luar” yang selalu membikin keonaran di Bali. Digambarkan bahwa “orang luar” adalah pelaku keonaran sementara “orang dalam” adalah korban.
Sebutan “orang luar” ini merujuk kepada Orang Jawa dan Orang Lombok, dua etnis dan pulau yang mengapit Bali, sementara “orang dalam” adalah Orang Bali. Istilah “Orang Luar” dan “Orang Dalam” ini semakin bergema suaranya pascakejatuhan rezim Orde Baru yang mengusung slogan refomasi dengan produk turunannya otonomi daerah.
Secara taken for granted media massa terutama di daerah mereprodusir kedua istilah tersebut dengan menyebutnya sebagai “masyarakat asli” dan “masyarakat pendatang”. Untuk di Bali istilah yang sering digunakan adalah orang lokal dan pendatang. Operasi yustisi yg menyusur pemukiman “pendatang” (dalam istilah media massa), pemeriksaan KTP di pelabuhan Gilimanuk dan Padangbai yang lucunya alpa dilakukan juga di bandara Ngurah Rai, sekadar menyebut contoh.
Sejauh ini, tertangkapnya pelaku pencurian pratima sejumlah enam orang yang semuanya “Orang Dalam”, Orang Lokal (Bali) (atau sebutan lain Sameton Bali) dan satu penadah mengonfirmasi biasnya stereotype hanya “Orang Luar” yang menjadi biang kerok keonaran di Bali. Walau pahit, stereotype pejorative “Orang Luar”, “Pendatang” sebagai pelaku keonaran harus dipertanyakan kembali.
Dalam konteks Indonesia yang sedang karut-marut didera menguatnya sentimen etnis dan sentimen agama, sikap kritis dan toleran dalam melihat hubungan antaretnis dan agama di Bali tentu (walau kecil) menyumbang agar kapal yang bernama Indonesia tidak pecah dihantam ombak konflik etnis dan agama.
Kedua, keluhan Bupati Gianyar yang mempertanyakan apakah pencurinya tidak takut Hukum Karmaphala mengindikasikan “ada sesuatu” yang berubah pada diri pelaku (yang adalah Orang Bali) atau bahkan mungkin (masyarakat Bali?) dalam memandang arti hukum Karmaphala bahkan (agama Hindu?) dalam arti lebih luas. Rentetan pertanyaan kemudian bisa diajukan, apakah artinya ingar bingar upacara-upacara yang sering berlangsung? Apakah artinya pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah? Apakah artinya ceramah-ceramah agama oleh para pendeta Hindu? Apabila ternyata pragmatisme ekonomi mengalahkan semuanya! Alasan pelaku mencuri pratima akan sangat gampang ditebak, yaitu himpitan ekonomi.
Ketiga, keluhan masyarakat yang puranya kemalingan pratima akan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membuat pratima baru dan melakukan upacara Guru Piduka. Kesulitan ekonomi yang melanda masyarakat dunia, Indonesia dan Bali rupanya tidak mengurangi ingar bingar upacara-upacara adat dan keagamaan di Bali. Masyarakat Bali khususnya masyarakat yang puranya kemalingan pratima mengalami dilemma etis dan religius antara Yadnya tanpa reserve dan kemampuannya untuk melakukan Yadnya tersebut. Sementara disisi lain atas alasan ekonomi, pelaku mencuri pratima, sebuah lingkaran yang kontradiktif.
Keempat, para tokoh agama dan adat di Bali dengan lantang menyebutkan bahwa pencurian pratima telah melecehkan agama Hindu. Sikap ini tentu didukung seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali. Akan lebih paripurna bila kegeraman akan pencurian pratima itu semakin meneguhkan bakti dan kepercayaan masyarakat Bali. Artinya pencurian pratima ini tidak akan meruntuhkan religiusitas masyarakat Bali. Asumsi berpikirnya bahwa yang namanya kepercayaan tentu tidak bisa diambil atau dicuri.
Kelima, keterlibatan penadah Roberto Gamba asal Italia menandaskan sisi lain pariwisata di Bali yang tidak hanya membawa berkah tetapi juga masalah. Walau tidak bisa dipungkiri gemerincing dolar pariwisata telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang di dan pada masyarakat Bali, berbagai masalah turut menyertai yang perlu terus dikritisi dan diantisipasi serta ditemukan pemecahannya.
Banyak sekali pekerjaan rumah yang terus menumpuk terkait pariwisata di Bali. Masalah pada bagaimana membuat pemerataan kue pariwisata antara pemerintah pusat (Jakarta) dengan Pemerintah Bali dan Kabupaten/Kota di Bali maupun antarkabupaten/kota di Bali yang selama ini timpang. Masalah kemacetan, sampah, upah tenaga kerja, izin pembangunan akomodasi pariwisata, berlanjut pada narkoba, pedofiilia, HIV dan AIDS, sekarang ditambah persoalan pencurian pratima melibatkan wisatawan mancanegara.
Artinya masyarakat Bali tidak hanya disuruh belajar tersenyum dan ramah. Jangan terbawa mimpi ke alam Pulau Dewata yang membuai tetapi gemerincing dolar pariwisata harus juga digunakan untuk menjamin setiap anak di Bali bisa bersekolah sehingga nantinya bisa belajar berpikir dan bersikap kritis menyikapi pariwisata. [b]
Foto dari Surya Majapahit.
nyakcak pak bodrek 🙂