Teks dan Foto Anton Muhajir
Tak hanya jadi tempat pamer kreativitas, Bali Creative Festival (BCF) juga tempat belajar dari orang-orang hebat.
Salah satunya dari Singgih Kartono, penemu radio dari kayu. Dia berbicara pada talkshow tentang green creation and lifestyle bersama Paula dari Ecolabel di tenda talkshow BCF, Minggu (5/12) kemarin.
Singgih berbicara tentang hal, yang terlihat, sederhana: radio dengan bungkus kayu. Tapi, di balik produk itu dia berbicara tentang perlunya upaya terus merawat mimpi, menghormati alam yang kian dieksploitasi, membalik ketergantungan desa pada kota, serta bekerja dengan hati.
Produk Singgih berupa radio berbungkus kayu. Merknya Magno. Dia mulai memproduksi secara massal dari desa kelahirannya di Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah sejak tahun 2005 meski telah merintisnya sejak 1995.
Dari desa di kaki gunung Sundoro itu produk Singgih diekspor hingga Amerika Serikat (AS), Jepang, Jerman, Taiwan, Brazil, dan belahan dunia lain. Radio tanpa petunjuk gelombang itu pernah dipublikasikan Time dan O, majalah milik ratu talkshow Oprah Winfrey, serta media-media ternama lain di dunia.
Dia juga memenangkan penghargaan desain di Seattle, AS, Jepang, dan Hongkong. Untuk penghargaan di Hongkong itu, dia dimenangkan bersama iPhone, produk Apple yang tersohor itu.
Radio kayu (wooden radio) ini lebih tepat sebagai benda koleksi. Karena itu, kata Singgih, dijual agak mahal. Di Indonesia harga satuannya antara Rp 1,1 juta hingga Rp 1,3 juta. Di AS sekitar US$ 50. Di Brazil, menurutnya, produk ini menjadi barang termahal di antara negara-negara lain. Harganya sampai sekitar Rp 6 juta.
Singkatnya, dari jangkauan distribusi, publikasi, dan penghargaan prestisius itu, Singgih dan Magno adalah produk yang sudah diakui kehebatannya.
Namun, Singgih terlihat sesederhana produknya. Dia bicara tak berlebihan. Membicarakan jangkauan distribusi, publikasi, serta penghargaan luar biasa itu tanpa intonasi meninggikan dirinya. Ekspresinya juga datar.
Bagi saya, Singgih hebat karena dia tak menyanjung-nyanjung dirinya sendiri sebagai orang yang sudah berhasil. Dia sangat rendah hati. “Saya tidak bisa membuat konsep. Saya jalani saja apa adanya. Saya juga bukan tipe orang yang teratur saat bekerja,” akunya.
Padahal, dia harus jatuh bangun untuk mencapai situasinya saat ini. Dia memulai dari ruang tamu pinjam tetangganya pada tahun 2005. Komputer untuk bekerja hasil dari jualan cincin kawin. Dia juga pernah bolak-balik ditolak pembeli karena radio desainnya dianggap tak layak dipasarkan.
Dia terus memupuk mimpi bahwa produknya layak dibeli dan bisa menjadi sesuatu berbeda. Hingga setelah jatuh bangun, produk itu kemudian mendapat sambutan dari Panasonic, salah satu produsen alat elektronik di Indonesia. Menurut Singgih, itu salah satu momentum bagi Magno untuk dikenal dan dipasarkan ke berbagai penjuru dunia.
Karena menggunakan bahan baku kayu, maka Singgih juga harus menanamnya. Apalagi kayu yang dia pakai, sonokeling, umurnya mencapai sekitar 50 tahun untuk bisa dipakai. Maka, dia menanam lebih banyak dibanding menggunakannya.
Dalam setahun, menurutnya, perusahaannya hanya memotong maksimal 80 batang pohon sonokeling. Tapi, dia menanam 10 ribu pohon lain tiap tahun. “Prinsip saya: less wood, more works,” katanya.
Bagi Singgih, kayu itu sederhana. Dia punya batas sendiri sampai titik mana bisa digunakan dalam produk. Maka, kayu juga mewakili bagaimana alam sebaiknya digunakan. Seharusnya, kata Singgih, bukan alam yang menuruti manusia tapi sebaliknya, manusia yang mengikuti alam.
Melalui Magno, Singgih juga memperjuangkan mimpi yang lain: mengembalikan kekuatan ke desa.
sebab, menurutnya, dalam paradigma pembangunan Indonesia saat ini, desa selalu mendapat yang less, last, and worse ketika kota justru mendapat sebaliknya, more, first, and best. Maka, desa tak akan pernah maju.
Karena itu, Singgih memilih kembali ke desa setelah lulus Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah berhasil dengan Magno dia kini melanjutkan mimpi yang lain: membangun desa melalui pertanian organik. [b]