Anugerah Jurnalisme Warga Tahun 2024 telah berjalan pada Sabtu, 29 Juni 2024. Kami bersama warga kembali mengulik kejadian-kejadian yang dialami oleh tim peliput saat terjun ke lapangan. Sesuai dengan tulisan dan video yang telah diunggah pada situs Bale Bengong, mereka menemukan adanya ketidaknyamanan sarana dan prasarana di Bali. Selain itu, ternyata ada beberapa warga yang telah berupaya menyelamatkan Bali dengan langkah kecil. Apa saja sih permasalahan tersebut? Dan bagaimana tanggapan mereka?
Malam Puncak AJW 2024 menyediakan ruang diskusi Citizen Science bersama lima tim liputan AJW 2024. Mereka telah berperan untuk Bali yang lebih baik, anak-anak muda yang berani berpendapat dan mencari kebenaran akan masalah yang terjadi. Mereka tidak menghakimi satu atau dua belah pihak, tapi berupaya menemukan solusi dan merealisasikannya. Sebelum itu, kita harus tahu bahwa penilaian puluhan proposal solusi dilakukan dengan ketat. Tim Bale Bengong berusaha menemukan solusi yang relevan dengan masalah dan tema yang diangkat oleh AJW 2024, yaitu Citizen Science: Solusi dari Warga. Dengan ini penerima beasiswa akan menjadi penggerak perubahan yang lebih baik untuk kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan di Bali.
Momen diskusi terkait hasil liputan. Foto oleh: Kresnanta
Dengan dukungan dari berbagai pihak sebagai mentor untuk penajaman ide, yakni Warmadewa Research Center dan Kota Kita sebagai mentor Tim Dampak Pelanggaran Tata Ruang, World Resources Institute Indonesia sebagai mentor Tim Akses Pejalan Kaki, Yayasan Idep Selaras Alam sebagai mentor Tim Pertanian dan Energi Terbarukan, dan Yayasan Bambu Lestari sebagai mentor Tim Sumber Air dan Kerusakan Hutan.
Inilah penerima AJW 2024:
Dampak Pelanggaran Tata Ruang
Bardha Gemilang
Ni Kadek Putri Santiadi
Wiranto Prasetyo
I Gusti Ayu Putri Indrawati
Akses Pejalan Kaki
Lily Darmayanti
Desimawaty Natalia Hutabarat
Pertanian dan Energi Terbarukan
Teja Wijaya
Made Krisna Mahendra
Sumber Air dan Kerusakan Hutan
Tulisan
Ni Gusti Putu Dinda Mahadewi
Ufiya Amirah
Fenny Sulistya
Video Dokumenter
Desak Gde Yurika Kurnia Dewi
I Komang Sutirta Yasa
Made Suarbawa
Dalam perjalanan peliputan tersebut, mereka menemukan banyak hal yang mengejutkan dan adanya beberapa kesulitan, salah satunya akses jalan menuju ke tempat tujuan yang tidak memadai. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyusun tulisan dan video dokumenter. Ada harapan-harapan yang terbesit dalam tulisan mereka untuk Bali kedepannya.
“Ketika wawancara tidak banyak yang kami masukan dalam video karena narasumber tidak mau, terutama ketika isu terkait pilkada sebelumnya, adanya isu berusaha untuk masyarakat itu dijanjikan suatu saat hutan itu bisa menjadi hak milik. Memang dulunya di luar hutan itu, kalau cerita orang tua-tua, orang di Tukad Daya itu datang untuk nyuwang alas istilahnya. Jadi hutan itu dulunya yang punya warga lokal, membuka hutan, dan itu bisa menjadi tempat mencari makan, itu dulu,” ucap Made Suarbawa dari Tim Kerusakan Hutan.
“Kemudian di persoalan air, memang ada terutama untuk subak yang dibawah lalu masalahnya adalah hutannya habis dan kami tidak dapat air. Ya ini karena pipa yang terlalu banyak dan sumber airnya sudah dibendung untuk sumber-sumber air lainnya, itulah yang menjadi kayak masing-masing punya cara untuk ini bukan salah saya,” lanjutnya
Mereka juga mengatakan bahwa permasalahan ini membutuhkan pendampingan yang lebih berdampak karena warga sekitar tidak paham jenis tumbuhan yang harus ditanam untuk mendapatkan air. Bahkan perlu adanya inovasi dari pemerintah desa dan peningkatan kesadaran warga sekitar bahwa air yang mereka peroleh itu berasal dari hutan bukan kebun.
Kemudian beralih ke permasalahan pejalan kaki dan pengguna transportasi publik. “Yang menjadi standar yang awalnya kita tahu bahwa di trotoar-trotoar sekarang itu banyak yang tidak rata dan berlubang. Kemudian kami bertanya-tanya gitu, seberapa sih standar ideal dari trotoar itu dan apakah ada buku atau pedoman yang dijadikan standar? Akhirnya, kami mendapatkan klarifikasi bahwa ada buku dan pedoman yang dijadikan standar. Tetapi ketika diberikan titik-titik yang dibilang ini loh bagus. Trus waktu kami kesana dan simulasi, itu ada di pantai Kuta dan Puputan. Kenapa itu dikatakan layak? Karena bahan dasar dan anggaran yang digunakan itu memang besar gitu, tetapi ketika kami simulasi ternyata itu tidak ramah karena bahan dasarnya licin,” ucap Lily Darmayanti dari Tim Akses Pejalan Kaki.
Mereka juga mengatakan tempat-tempat yang telah dikunjungi memiliki keindahan atau aesthetic. Namun hal ini bukan untuk teman-teman difabel, seperti pengguna kursi roda dan pengguna tongkat. Trotoar ini dianggap akan membahayakan bagi mereka karena bahan yang licin. Mereka juga sempat menemukan ada yang tergelincir. Bahkan ada teman-teman difabel yang terperosok ke dalam lubang trotoar akibat trotoar yang rusak. Begitu juga dengan transportasi publik, Desimawaty Natalia bercerita temuannya di lapangan. “Ketika kami berbicara dengan warga. Yang membuat kami syok, bus itu ternyata ngambil ruas jalan dan menyebabkan kemacetan. Sebenarnya kalau dipikir-pikir justru adanya bus itu sebagai alternatif kita untuk mengurangi kemacetan tapi bagi hampir semua pengunjung khususnya masyarakat Bali, seperti daerah pariwisata Ubud dan Sanur, mereka justru malah menganggap itu mengambil kesempatan kerja mereka dan menambah kemacetan,” ujarnya.
Selain itu, mereka juga menemukan kursi bus yang tidak memadai untuk teman-teman difabel bahkan ada beberapa kursi yang sudah patah. Namun beberapa sopir yang diwawancara mengatakan bahwa bus tersebut sudah bagus dari fasilitas. Hal ini menyimpan rasa kecewa untuk tim Akses Pejalan Kaki karena bagi mereka sopir-sopir tersebut terlihat menutup mata atas kenyataan dan tidak berani mengkritik pemerintah.
Ternyata hal serupa juga dialami oleh Tim Dampak Pelanggaran Tata Ruang, mereka memusatkan liputan pada Pecatu dan Canggu karena masifnya pembangunan pariwisata di daerah tersebut yang menyebabkan kemacetan. “Kami telah mengunjungi beberapa pantai di Pecatu yang jalannya cukup terjal, pantai Nyang-Nyang dan pantai Bingin. Setelah kami kesana, banyak adanya cafe atau akomodasi pariwisata tapi ini membuat kabel dan pipa itu semrawut disepanjang jalan menuju pantai dan sampah-sampah juga begitu saja terbuang di pantai atau laut,” ucap Putri Santiadi.
Pertama kali datang ke lokasi, mereka tidak menyangka adanya bangunan yang menjulang tinggi di wilayah pantai Bingin. Jalannya juga tidak aman dilalui dan jarak pantai dengan bangunan begitu dekat bahkan tidak sesuai dengan aturan. Hal serupa terjadi di Canggu, alih fungsi lahan pertanian masif terjadi. “Hal yang membuat saya terkejut dengan Canggu pasti kemacetan. Kenapa? Karena pembangunan yang terus menerus sehingga membuat sesak. Padahal Canggu sudah dibuatkan shortcut namun hal tersebut tidak menjadi solusi, malah membuat pembangunan semakin bertambah,” ucap Wiranto Prasetyo (29/06). Keadaan ini semakin diperparah dengan adanya debu pembangunan yang menutupi kendaraan mereka saat parkir di sekitaran cafe.
Beralih dari kemacetan, Dinda Mahadewi menyoroti adanya krisis air di wilayah Kuta Selatan yang memicu keresahan warga sekitar, “adanya narasumber yang mengatakan bahwa peralihan air dari rumahnya dialihkan ke WWF. Sebenarnya kami agak terkejut sih, kita sudah berekspektasi dengan adanya event-event Internasional ini, air-air itu akan dialihkan ke event-event itu sehingga yang ada di kawasan sekitarnya itu krisis air dan kesusahan dalam mengakses air,” ujarnya.
Lalu bagaimana dengan tim Pertanian dan Energi Terbarukan? Apa saja sih yang mereka peroleh? “Penemuan kami adalah kami awalnya melakukan penelitian itu pada energi terbarukan kayak proyek-proyek besar yang dilakukan pemerintah. Salah satunya kami berkunjung ke Pembangkit Listrik Tenaga Mikro yang ada di Jatiluwih, Tabanan. Informasi yang kami dapatkan itu masih aktif, ternyata sampai sana sudah tidak aktif. Itukan proyek besar yang bekerjasama dengan pemerintah, elit, mangkrak lagi. Kami mencari juga energi terbarukan seperti Biomassa di Buleleng ternyata mangkrak. Trus di Gianyar, Biogas ternyata mangkrak juga. Akhirnya kami mengambil dua energi terbarukan dari petani di Bedugul dan di Bangli,” ujar Teja Wijaya (29/06)
Petani di Bedugul ini menampung dan memanfaatkan air hujan sebagai alternatif untuk menyiram tanamannya. Mereka tidak membeli air lagi karena telah menciptakan alat penampung air hujan. Berbeda dengan pertanian di Bangli, mereka mempunyai konsumsi gas LPG 3 kg yang banyak. “Ternyata dengan adanya proyek biogas, dia dapat mengolah kotoran ternaknya menjadi biogas. Ternyata dia bisa menghemat atau istilahnya investasi. Selain itu, dia menjadikan kotoran tersebut sebagai pupuk tanaman. Dia mengatakan bisa menghemat 10 juta per tahun,” lanjutnya.
Dari hal ini, kita tahu bahwa benda yang sebenarnya terlihat tidak berguna akan bermakna ketika diproses dengan baik. Maka dari itu, setiap tim ingin warga berpartisipasi aktif dalam pembangunan sarana dan prasarana di Bali, bahkan mengawal setiap kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah.
Penyampaian solusi dari tim Sumber Air dan Kerusakan Hutan. Foto dari Bandem
“Kami berpikir bahwa solusi yang bisa dilakukan itu community based participation. Jadi lebih melibatkan masyarakat dalam pembentukan kebijakan, dan pembentukan sarana dan prasarana,” ujar Dinda Mahadewi.
Kemudian dilanjutkan oleh tim Kerusakan Hutan, “saya berharap ada teman-teman yang mungkin punya kapasitas yang lebih baik membantu saudara-saudara kami untuk pemulihan hutan itu, karena ada satu statement yang mereka merasa sudah beberapa tahun ini penghijauan di situ lambat. Akibat keterbatasan sumber daya,” ujar Made Suarbawa.
Setelah acara ini berakhir, apa selanjutnya yang dilakukan? Tentu kita perlu mendorong warga untuk bergabung menjaga Bali agar tetap selaras dengan alam dan mendorong pemikiran generasi muda melalui kegiatan-kegiatan yang bermakna. Mari mengawal Bali yang aman dan nyaman.