Bansos banjar baik berupa beras maupun uang hingga segala bentuk serangan fajar lainnya kerap terjadi jelang pemilihan. Beberapa cerita warga yang nyoblos pada Rabu, 14 Februari 2024 menyoroti bahwa hati nurani goyah juga karena serangan fajar.
Kegoyahan hati nurani dibarengi dengan pengetahuan warga yang minim terhadap rekam jejak para calon legislatif. Salah satunya dialami Anggi Aprilia (25). “Kalo legislatif awalnya bingung coblos siapa, tapi karena ada serangan fajar jadi memanfaatkan kesempatan itu,” ujar Anggi Aprilia (25). Saat ditanya bagaimana Ia memilih capres dan cawapres, Anggi menjawab seolah menyisipkan kode siapa pilihannya. “Gak pilih salah satu paslon karena dianggap gak ada etika dan saat debat tidak mendebatkan visi misi malah menyerang personal,” jelasnya.
Pemilih pemula dari Gianyar, Ketut Ayu (18) dilema akan kondisinya. Ia mengaku ada pilihan yang berdasarkan pribadi dan ada juga dari kolektivitas banjar. “Kalau kolektif karena serangan fajar, tapi inginnya pribadi sih,” ujar Ayu. Beberapa calon ada yang dipilihnya berdasarkan pilihan pribadi dengan melihat rekam jejak pasangan calon. Sedangkan calon yang dipilihnya secara kolektif, Ayu menambahkan “tapi yang kolektif biasanya untuk calon yang mempengaruhi kehidupan atau pekerjaan keluarga gitu.”
Posisinya sebagai pemilih pemula pada Pemilu 2024 ini membuat Ayu merasa deg-degan. “Deg-degan si takut salah pilih, tapi yah point of view (sudut pandang) orang beda-beda ada yang ngerasa udah milih benar tapi menurut orang lain pilihannya salah,” ungkapnya. Surat suara berukuran separuh tinggi badan Ayu, sekitar 80 sentimeter setelah dilipat bagi Ayu tak muat di kotak suara. “Lembarannya gede banget gitu sedangkan kotak suaranya gak muat untuk kertas yang ada berapa partai kaden,” jelasnya.
Masih dari salah satu Tempat Pemungutan suara di Gianyar, Komang Ari (50) mengungkapkan tidak ada yang dipilihnya dari hati nurani karena serangan fajar, kecuali capres dan cawapresnya. “Kalau tidak ada serangan fajar kemungkinan saya golput atau ngawur, karena selama ini jeg dari pemerintah rasanya susah sajan dapat kemudahan,” ungkap Ari. Ia merasa lega karena telah memilih calon wakil rakyat.
Dewa Mahendra, pemilih dari Denpasar mengaku memilih dengan hati nurani. “Kalau saya hati nurani. Ya. Hati nurani saya.” Bagi Dewa alasannya memilih pribadi bukan kolektif karena jika diarahkan tak sesuai dengan hati nuraninya. “Ya itu kan tergantung daripada pilihan sendiri. ‘Kenapa?’ Karena kalau diarahkan kolektif kan nggak sesuai dengan hati nurani saya, ya kan?,” ungkap Dewa
Masih dari TPS di Denpasar Roja (54) juga merasa deg-degan. “Waktu baru mau masuk ke TPS udah getar-getar, apalagi waktu pertama ngeliat kertas suara (kebesaran) sempat salah dan akhirnya ngulang lagi ngelipat,” ungkap Roja. Ia mengapresiasi pelayanan petugas KPPS yang ramah. “Pelayanan dari KPPS juga lumayan ramah dan pengertian. Hati nurani sudah saya pilih, mudah-mudahan menang untuk memimpin.” ucap Roja.
Wulandari (25) berada di TPS yang sama dengan Roja mengaku ada beberapa nama yang tidak diketahuinya sehingga takut salah. Meskipun begitu, ia tetap memilih sesuai isi hatinya. “Pemilihan ini sesuai dengan isi hati, jika kita salah memilih bukan hanya untuk kita tapi untuk negara juga,” ujarnya. Selama di TPS, tak ada keluhan terhadap kondisi maupun pelayanannya. “Kemudian untuk keluhan sih gak ada ya, cuma kurang ayang aja,” ungkapnya sembari bercanda.
Bagaimana kisah para warga di TPS-mu? Sudahkah memilih dengan hati nurani?