Indekos Saya Banjir dengan Air Coklat ketika Hujan
Denpasar nampaknya cukup sulit untuk memilih suatu tempat, yang jauh dari perumahan warga dan tempat umum, untuk dibangun Tempat Penampungan Sementara (TPS). Sebut saja TPS Monang Maning yang berada tepat di perumahan warga dan TPS Gunung Agung yang selain berada di sebelah perumahan warga juga berada tepat di depan SD Negeri 29 Pemecutan dan SMP Negeri 4 Denpasar.
TPS yang semulanya diatur hanya untuk menampung sampah sementara, kemudian tidak dapat dikatakan sementara lagi karena pada beberapa TPS tersebut, sampah bahkan didiamkan hingga berbulan-bulan. Ketika hujan tiba, sampah yang tidak dipilah dengan baik, mengeluarkan air lindi dan mencemari air tanah di sekitarnya, di perumahan warga atau di sekolah.
Adi, seorang perempuan paruh baya tinggal bersama suaminya di indekos yang berada tepat di belakang TPS Gunung Agung, Denpasar. Ketika musim hujan tiba dan sesekali hujan menjadi besar, Adi dan suaminya telah terbiasa melihat pemandangan air hujan yang berwarna coklat merembes masuk ke teras indekosnya dan menggenang di dapur indekos mereka.
“Nggih menek yeh e, men gede ujan nak menek di paon, nah ilang kanti kenen batis e (Ya, naik airnya, kalau hujan besar naik (airnya) di dapur, ya sampai segini,” ujar Adi sembari menunjuk mata kakinya.
TPS Gunung Agung semula adalah sebuah pasar loak, yang kemudian diubah menjadi TPS karena banyak warga yang protes imbas kemacetan yang terjadi di Jalan Gunung Agung karena truk pengangkut sampah. Pasar itupun diubah menjadi TPS dan para pedagang dipindahkan ke Pasar Kreneng lantai 4, di Jalan Kamboja, Denpasar.
Ketika baru beroperasi, TPS ini menumpuk sampah-sampah masyarakat hingga ke batas selatan pasar loak. Kini, sampah-sampah tersebut hanya mengambil kurang dari setengah luas pasar loak. Sampah tidak lagi menggunung hingga ke batas selatan. Tidak lagi bersebelahan langsung dengan kamar tidur Adi.
Adi masih ingat ketika sampah-sampah di TPS Gunung Agung masih menumpuk hingga ke batas selatan. Adi dan suaminya tidur bersebelahan dengan sampah yang menggunung. Beruntung ada tembok beton yang menghalangi sampah-sampah tersebut masuk ke kamar indekos mereka. Ketika hujan lebat tiba, air kecoklatan segera menggenangi dapur melalui teras indekos mereka. Ketika hujan reda dan terik matahari menggantinya, Adi dan sang suami segera terganggu lagi dengan bau sampah yang kian menyengat. Belum lagi lalat yang beterbangan di sekitar mereka.
Adi dan sang suami telah 8 tahun lamanya tinggal di indekos tersebut. Ia kembali mengingat ketika dahulu kondisinya jauh berbeda dari sekarang. Tidak ada bau sampah yang menyengat karena pasar masih beroperasi dengan baik dan warga hanya menitipkan sampah-sampah mereka di pinggir jalan untuk nantinya diangkut oleh truk pengangkut sampah.
“Pidan tyang di peken gen ngutang, tyang kan di peken pidan. Ngentung bedik, paling a kresek. Jani kan nak ngentung liu-liu (Dulu saya buang sampah di pasar, saya kan di pasar dulu (berjualan). Buang sampah cuma sedikit, hanya satu kresek. Sekarang kan orang-orang membuang sampahnya banyak),” ujar perempuan yang lebih akrab disebut Bu Adi karena anak pertamanya bernama demikian.
Adi dan sang suami terhimpit keadaan. Ia sebenarnya berencana untuk pindah dari indekos tersebut, namun terhalang mahalnya biaya indekos di Denpasar. Setidaknya, keadaan kini dapat dikatakan membaik. Mereka tidak lagi tidur bersebelahan dengan gunungan sampah dan hanya dibatasi satu helai tembok. Sampah kini telah bergeser jauh ke utara dan bagian selatan TPS kini dimanfaatkan oleh Kelurahan Pemecutan sebagai kebun, dengan harapan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh warga.
Anak Saya Mengalami Batuk karena Bau TPS
Sementara itu, Eka sang pemilik indekos juga cukup terganggu dengan kehadiran TPS yang berada tepat di sebelah barat rumahnya. Alasan Eka tidak berbeda jauh dengan Adi: bau yang dihasilkan TPS sangatlah mengganggu. Eka masih ingat jelas ketika Oktober 2022, TPS Gunung Agung menumpuk banyak sampah, dan udara sedang bergerak ke arah timur, ke arah rumahnya.
Ketika itu, Eka dan sang istri telah memiliki seorang putri yang baru berusia 3 tahun. Akibat bau yang menyengat tersebut, putrinya selalu mengalami batuk dan pilek hingga pasangan suami istri tersebut rutin membawa putrinya ke THT setiap minggu, pada bulan Oktober tersebut.
“Udah itu (pergi berobat) selama satu bulan full, setiap hari minggu ke sana. Dokter sudah bilang, sih, kalau ini tuh faktornya cuma satu aja: udara,” ujar pemilik indekos tersebut.
Putri Eka kini telah berusia 4 tahun, hampir tepat satu tahun sejak Eka dan istrinya rutin membawa sang anak ke dokter. Akan tetapi, batuk yang dialami oleh putri Eka tidak kunjung berhenti hingga saat ini. Setiap pagi tiba, ketika sampah mulai diangkut untuk diberangkatkan ke TPA Suwung, putri Eka selalu mengalami batuk.
“Kalau orang ngeruk (mengangkut sampah), itu kan pasti aromanya keluar, itu pasti batuk dia. Udah hilang anginnya, mendingan dah dia, ngga dah dia batuk,” ujar sang ayah.
Sudah sejak tahun 2020 putri Eka mengalami batuk, namun Eka dan sang istri mulanya menganggap hal tersebut adalah hal yang biasa, hingga akhirnya ia pergi ke dokter. Hingga kini, sang anak masih kerap mengalami batuk, walau tidak sesering dahulu, terutama ketika pagi menjelang.
“Dibilang aman ya aman (membaik), cuman ya namanya kondisi anak terus kaya gitu kan juga cemas, kan takut sama jangka panjangnya,” ujar Eka menjelaskan upayanya hingga membeli alat Nebulizer untuk membantu meringankan batuk sang anak.
Eka kemudian belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Tepat ketika sang anak telah mengeluarkan gejala batuk, ia dan keluarga segera memindahkan anaknya ke rumah sang ibu di Banjar Pemedilan, berharap batuk tidak lagi mengganggu sang anak di rumah sang ibu.
“Kalau dia udah ada gejala batuk itu, saya pindahin dah, karena pasti dari udara dah itu. Saya nyari aman anak saya lah intinya,” tutup Eka.
Kondisi Warga di Dekat TPS Monang-Maning
Di sebelah utara TPS Monang Maning, di sebuah perkampungan, orang-orang nampak sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa dari mereka pergi ke TPS Monang Maning dan segera membawa karung berbahan dasar plastik di kepala mereka. Karung-karung berwarna putih tersebut cukup besar, mungkin panjangnya melebihi panjang sang pembawa karung. Beberapa dari mereka lebih memilih menggunakan alat beroda untuk mengangkut karung tersebut, sementara beberapa lainnya sibuk dengan urusannya memilih sampah dan memasukkan beberapa sampah ke beberapa keranjang berbeda.
Alhasil, perkampungan tersebut dipenuhi dengan karung-karung yang dipajang oleh para pembawanya. Layaknya mobil yang memiliki garasi, karung-karung ini juga memiliki garasinya sendiri. Di setiap rumah yang berdiri di perkampungan tersebut, pasti dipenuhi dengan karung-karung yang berisi satu jenis sampah di dalamnya, yang mereka dapatkan dari TPS Monang Maning.
“Nggak bisa (sehari langsung dijual). Satu bulan itu lek proses, nanti dipilah-pilah sendiri. Kalau barangnya satu hari nyari, dijual dapet apa?” ujar Tutik seorang perempuan yang bersama suaminya turut mengambil barang-barang bekas di TPS Monang Maning. Wajar saja perumahan tersebut memiliki tempat layaknya garasi untuk mengumpulkan barang-barang rongsok.
Sebagai pengumpul barang rongsok, Tutik tidak hanya mengandalkan TPS Monang Maning sebagai sumber penghasilannya, walaupun itu berarti ia harus melakukan perjalanan lebih jauh untuk memungut barang-barang bekas. Sebabnya, ia kerap berebut barang bekas dari petugas TPS. Maka dari itu, walaupun harus menempuh jalan yang lebih panjang, ia rela.
Tutik menjelaskan bahwa para petugas pengangkut sampah dari rumah warga telah terlebih dahulu mengambil barang-barang yang dapat memiliki nilai jual. Sehingga Tutik dan sang suami kerap kali hanya mendapatkan sampah, yang tidak banyak bisa mereka jual.
Tutik tinggal di perkampungan tersebut bersama dengan lebih dari 30 KK lainnya. Di indekos yang disesaki karung-karung plastik miliknya dan sang suami, Tutik harus menggelontorkan uang sekitar Rp1.3 juta setiap bulannya. Itupun belum termasuk listrik. Dana tersebut bukan hanya untuk tempat tidur Tutik dan sang suami, namun pula menjadi tempat ditaruhnya barang-barang jualan mereka.
Tutik dan sang suami cukup beruntung karena indekos mereka berada tepat di depan kamar mandi bersama. Di perkampungan tersebut, sekitar 15 hingga 20 KK masih menggunakan kamar mandi umum tersebut karena mayoritas rumah di perkampungan tersebut tidak memiliki kamar mandinya sendiri. Sumur bor untuk mengairi perkampungan tersebut dipasang jauh di barat perkampungan oleh sang pemilik, alhasil 3 kamar mandi dan beberapa wastafel dialiri air, walau beberapa kali air tidak mengalir.
Untuk air minum, Tutik dan sang suami lebih memilih membeli air minum bukan isi ulang. Sebabnya, ia pernah memiliki pengalaman buruk dengan air isi ulang yang mereka beli seharga lima ribu rupiah. Kini, jika air minumnya telah habis, ia memilih untuk mengambil air langsung dari keran untuk diminum.
“Dulu ya isi ulang beli lima ribu, ada ulet-uletnya,” ujar Tutik. Akhirnya ia merebus air keran.
Tutik tak risau karena ia tidak sendirian mengonsumsi air keran, ada beberapa warga lain yang mengonsumsi air tersebut, walau Tutik tidak menyebut nama mereka. Selain itu, ia telah terlebih dahulu merebus air keran tersebut untuk dapat ia katakan layak konsumsi. Bagi para pengepul barang rongsok yang pendapatannya tidak dapat diprediksi, mengeluarkan uang Rp18 ribu rupiah untuk membeli air galon bermerek cukup memberatkan.
Bagaimana Kondisi Pembuangan Sampah Bali?
Sebagian besar TPA di Indonesia masih menggunakan sistem open dumping–sebuah istilah dalam pengelolaan sampah yang membuang sampah begitu saja di tempat pembuangan– sehingga sampah menggunung dan tidak dipilah dengan maksimal. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan sistem open dumping memiliki beberapa dampak, seperti longsor, hingga mencemari lingkungan.
Penelitian oleh Arbain, Mardana, dan Sudana, dalam Jurnal Ecotrophic yang berjudul Pengaruh Air Lindi Tempat Pembuangan Sampah Akhir Suwung terhadap Kualitas Air Tanah Dangkal di Sekitarnya di Kelurahan Pedungan Kota Denpasar, misalnya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa air tanah dangkal masyarakat hingga jarak 1 km dari TPA Suwung masih tercemar oleh beberapa zat, seperti Klorin, Asam Sulfat, hingga Hidrogen Sulfida.
Penelitian lain yang dilakukan di TPA Suwung oleh Tia Surya Handriyani, Nur Habibah, dan Sri Dhyanaputri dalam Jurnal Sains dan Teknologi menemukan bahwasannya ada kandungan Timbal (Pb) dalam air sumur warga. Kandungan Timbalnya pun bervariasi, mulai dari 0,006 mg/L hingga 0,1023 mg/L yang berarti ada 0,1 miligram kandungan Timbal dalam satu liter air sumur warga. Dalam penelitian tersebut, para peneliti menjelaskan bahwa perbedaan kandungan Timbal dalam air sumur warga mungkin dipengaruhi oleh jarak sumur gali dengan TPA Suwung.
“Timbal merupakan salah satu logam berat yang memiliki toksisitas tertinggi. Toksisitas akut timbal jarang ditemukan terjadi di masyarakat luas, akan tetapi toksisitas kronik sangat mungkin terjadi tanpa disadari seiring dengan peningkatan sumber paparan timbal di lingkungan,” tulis mereka dalam jurnal tersebut, yang dikutip oleh BaleBengong pada Senin, (11/09).
Nyatanya, aturan tentang TPS sendiri juga tidak mengatur tentang jarak minimal pendirian TPS. Dalam Permen Pekerjaan Umum Nomor 03 Tahun 2013 hanya mengatur tentang jarak minimal pendirian TPS 3R dan TPST. Sementara peraturan mengenai TPS, di peraturan yang sama, hanya mengatur lokasi pendirian TPS haruslah mudah diakses.
TPS kemudian menjadi tempat yang juga memiliki risiko besar untuk mencemari lingkungan dengan sistem open dumping yang juga diterapkan di sana–walaupun dalam Permen PU Nomor 03 Tahun 2013 dijelaskan bahwa TPS harus mengelompokkan sampah menjadi minimal 5 jenis sampah. Pasalnya, TPS yang semula didirikan untuk menampung sampah warga secara sementara–sebelum dipindahkan ke TPA–kini tidak lagi dapat dikatakan sementara. TPS Gunung Agung misalnya, sampah yang tertimbun di sana lamanya mencapai satu bulan.
Tim BaleBengong pergi ke dua TPS di Denpasar, yakni TPS Gunung Agung dan TPS Monang Maning guna melakukan pengecekan terhadap air sumur warga yang berada tepat di sebelah TPS tersebut. Pemilihan TPS tersebut didasarkan pada lokasi TPS yang berada tepat di perumahan warga.
Pengecekan di TPS Gunung Agung dilakukan pada 3 lokasi berbeda, yakni sumur yang berlokasi tepat di sebelah barat TPS, sumur yang terletak di ujung barat perumahan, dan sumur yang terletak di belakang TPS, yang kini telah menjadi kebun. Sementara itu, standar baku mutu yang digunakan dalam tes ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 02 Tahun 2023 untuk air sanitasi dan higiene.
Dari hasil tersebut didapatkan beberapa kandungan logam berat dalam air sumur warga, seperti Besi (Fe), Mangan (Mn), Raksa atau Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), hingga Timbal (Pb). Kabar baiknya, semua kandungan logam berat yang terkandung dalam air sumur warga berada di bawah baku mutu yang diatur dalam Permenkes Nomor 02 Tahun 2023.
Sementara itu, di TPS Monang Maning, kondisinya tidak berbeda. Kandungan Arsen, Raksa atau Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), dan Timbal (Pb) masih di bawah baku mutu standar yang diatur dalam Permenkes RI. Nomor 32 Tahun 2017.
Utami Dwipa, dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana menjelaskan bahwa kandungan logam berat yang masih di bawah baku mutu standar, tidaklah berbahaya, bahkan untuk dikonsumsi. Akan tetapi, ia turut mewanti-wanti cemaran logam berat yang mencemari sumber lain, seperti udara atau makanan warga.
“Logam beratnya sih kalau saya lihat masih aman ya, kalau masih ngikutin standar, itu standar yang masih diperbolehkan, terlepas dari misalnya ada intake logam berat dari konsumsi yang lain ya, dari udara, dari makanan, dari ikan, kita gatau. Tapi kalau ikuti peraturan, itu masih di bawah ambang yang diperbolehkan. Masih aman untuk dikonsumsi, dengan syarat harus diolah sampai memenuhi parameter-parameter yang tadi tidak memenuhi,” ujar perempuan tersebut menjelaskan beberapa kandungan yang melebihi baku mutu standar di TPS Gunung Agung, seperti bakteri dan kandungan zat terlarut.
Perempuan yang akrab disapa Yanti itu juga menjelaskan bahwa tidak mungkin untuk menihilkan standar baku mutu kandungan logam berat dalam Permenkes. Hal itu didasarkan pada beberapa kandungan logam berat memang secara alamiah ada di alam, sehingga cukup tidak mungkin untuk menihilkan kandungan-kandungan tersebut.
“Kenapa logam berat nggak di 0 kan aja? Kita juga perlu bukti ilmiah. Nah kita pakai riset-riset yang diujicobakan pada binatang, jadi kalau kita kasih sekian, muncul nggak gangguan kesehatan? Nah akhirnya ketahuan, konsentrasi yang paling tinggi yang tidak menimbulkan gejala kesehatan, itu yang dipake batasan, gitu,” ujar Yanti menjelaskan teknis perumusan baku mutu standar.
“Kondisinya agak impossible karena bahan-bahan itu memang ada di alam, apalagi memang digunakan dari aktivitas kita. Mau tidak mau dia ada di alam. Cuma akhirnya, semampunya kita hanya membuat masyarakat ketika menggunakan atau mengonsumsi air ataupun udara, ataupun makanan itu, tidak sampai menimbulkan dampak kesehatan, sampai seumur hidupnya, gitu ya,” tambahnya.
Akan tetapi, Yanti tetap mewanti-wanti dampak cemaran logam berat yang mungkin saja terjadi dari berbagai sumber, seperti air, udara, hingga makanan.
“Logam berat itu efeknya sangat berat sama genetis sel, terutama sel-sel reproduktif. Jadi dia merusak sperma, atau merusak sel telur, akhirnya nanti keluar anaknya nggak normal. Itu yang bikin susahnya logam berat itu,” ujar Yanti.
Yanti juga menjelaskan bahwa anak-anak, ibu hamil, dan janin yang sedang dikandung lebih berpotensi besar terdampak logam berat. Gangguan logam berat justru lebih kecil terjadi pada orang dewasa. Yanti mengambil contoh kasus di Teluk Jakarta.
“Mengkonsumsi seafood dari teluk Jakarta itu telah banyak temuan bahwa mereka cenderung melahirkan anak dengan kondisi tidak normal. Jadi ketika untuk si ibu dihitung 30 tahun lagi, dia gapapa. Tapi untuk janin yang 9 bulan di perutnya, itu besar banget pengaruhnya karena mungkin mereka lagi pada fase pertumbuhan sel, pembentukan organ-organ,” tungkas Yanti.
“Jadi ketika sel-sel yang sedang tumbuh itu diganggu logam berat, itu lebih sensitif, kalau kita dewasa kan sel-sel sudah terbentuk, jadi tidak banyak sel yang harus membuat organ baru, jadi gangguannya lebih kecil pada orang dewasa,” tutupnya.
Bagaimana Pandangan Pemerintah?
Putu Trisnajaya (42) Kepala Desa Tegal Kertha yang turut bertanggung jawab atas keberadaan TPS Monang Maning angkat suara terkait hal ini. Ia berharap TPS yang didirikan hampir bersamaan dengan kehadiran Perumnas Monang Maning ini segera ditutup karena selain berpotensi mencemari lingkungan, ia juga berharap TPST di Denpasar juga segera dijalankan secara efektif.
“TPS di Monang Maning ini, rencananya kalau sudah ini (TPST) beroperasi, ini (TPS Monang Maning) ditutup. Nanti kalau TPS ini tidak ditutup dalam jangka waktu yang lama, kita bisa mengajukan,” ujarnya.
TPS Monang Maning sendiri menerapkan sistem karcis bagi warga Desa Tegal Kertha. Akan tetapi, Trisnajaya tidak menampik adanya warga di luar desa yang membuang sampah ke TPS tersebut.
“TPS ini menggunakan sistem karcis. Kita ada petugas jaga yang bekerja dari pagi sampai 11 malam, nah di atas jam 11 itu kita nggak bisa mengawasi, mungkin membuangnya di atas jam 11 itu,” jelas Trisnajaya.
Sementara itu, Lurah Pemecutan Upawana Manuaba yang bertanggung jawab atas kehadiran TPS Gunung Agung, turut memberikan pendapatnya terkait logam berat yang terdeteksi di sumur warga dan kebun di belakang TPS Gunung Agung.
“Kalau memang ada ide seperti ini coba tyang (saya) komunikasikan, karena tyang (saya) ga paham juga pengalihannya itu, betul tidak untuk bangun sumur lindi,” ujarnya ketika ditemui di kantor Kelurahan Pemecutan.
Terkait sampah yang berbulan-bulan menghuni TPS Gunung Agung, Upawana mengatakan bahwa kesulitan terbesar masalah sampah di kelurahannya adalah kesadaran warga. Ia berkata bahwa kelurahan telah beberapa kali mengakomodir kebutuhan warga untuk pemilahan sampah, seperti kompos bag, pemilahan sampah di sekolah, dan bank sampah.
“Kesadaran warga untuk memilah, mengolah. Sosialisasi DLHK juga sudah sering, PKK kita kumpulkan, kita kasih kompos bag juga, karena ngalih elah ngalih aluh (mencari mudah), lah. Di sekolah juga sudah, pengomposan sudah, kita sudah buka-kan bank sampah. Betul-betul kesadaran warga,” ujarnya.
Komitmen Pimpinan Daerah?
Dini Trisyanti, Co-Founder Sustainable Waste Indonesia menekankan bahwa masalah utama pengelolaan sampah di Indonesia adalah komitmen pemerintah daerah. Dini juga memberikan beberapa contoh daerah di Indonesia yang cukup ia apresiasi dalam pengelolaan limbah masyarakat, seperti Surabaya, Jakarta, dan Cilacap.
“Yang bener-bener sampahnya diproses, sampai skala kota, diproses pakai teknologi macem-macem, yang skalanya 100 ton per hari atau lebih, itu baru ada di 3 tempat di Indonesia,” ujarnya.
Di Surabaya, sampah sebanyak 1.500 ton per hari di TPA Benowo berhasil diproses menjadi listrik bertenaga 12 Megawatt. Di Cilacap, sampah sebanyak 160 ton per hari berhasil diubah menjadi bahan bakar alternatif pembuatan semen pengganti batubara. Bahkan, bahan bakar ini dapat menggantikan 5 hingga 6 persen kebutuhan batubara untuk proses produksi pabrik di Cilacap. Di Jakarta sendiri, tidak jauh berbeda dengan Cilacap, yakni dapat memproses sampah menjadi bahan bakar pembuatan semen, namun dengan jumlah yang lebih banyak, yakni 1000 ton per hari untuk sampah lama dan 100 ton per hari untuk sampah baru (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221011144238-20-859077/anies-buat-fasilitas-daur-ulang-sampah-jadi-bahan-bakar-pabrik-semen).
“Yang pertama di Surabaya, itu yang paling bagus, dia diproses pakai teknologi yang memang bener mengolah. Jadi sampahnya yang tadinya tidak terolah jadi terolah, bisa jadi listrik malah. Kapasitasnya sudah 1000an ton,” ujar Dini.
“Kedua di Cilacap, diproses jadi bahan baku semen. Tapi kapasitasnya masih 100 ton (per hari), ya lumayan lah. Yang terbaru ya Jakarta, tapi juga kita masih lihat ya, seberapa jauh berhasilnya, soalnya kan baru mulai,” tambah perempuan tersebut.
Ketika ditanya apa tantangan terberat bagi kota-kota lain di Indonesia untuk menerapkan hal serupa, Dini melihat komitmen pimpinan daerah menjadi hal yang sentral dalam penanganan sampah.
“Tipping fee itu dari awal sekitar Rp150 ribu, sekarang mungkin sudah Rp200 ribu per ton. Ya memang nggak murah kalau diolah secara bener,” ujarnya menjelaskan bahwa TPA di Surabaya, Cilacap, dan Jakarta, rata-rata menggunakan pihak ketiga untuk mengolah sampah mereka, sehingga bayarannya pun menjadi meningkat.
Bahkan, dalam laporan Kompas pada Mei 2022, alokasi anggaran guna penanganan sampah di Indonesia baru mencapai 0.51 persen dari total APBD Provinsi, Kota, dan Kabupaten. Alokasi APBD provinsi sekitar 0.1 persen dan APBD kota dan kabupaten sebesar 0.64 persen (https://www.kompas.id/baca/desk/2022/05/19/anggaran-rendah-sampah-melimpah).
Walau begitu, Dini tidak serta merta menampik pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Akan tetapi, Dini tetap berusaha menggarisbawahi posisi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
“Masyarakat itu bukan penanggung jawab. Penanggung jawab utama dalam undang-undang ya Pemda. Masyarakat itu cuma ngebantuin aja. Sekarang suka terbalik, kok kayaknya dibebankan ke masyarakat ya? Itu yang saya suka prihatin aja, kok jadi wacananya masyarakat terus yang ditekan?” tutupnya.
Adi Wiguna, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLH Kota Denpasar menjelaskan bahwa guna mengurusi TPST yang sedang dibangun di Denpasar, pemerintah menggunakan pihak ketiga sebagai pengelolanya, yakni PT. Bali CMPP. Namun perkembangan TPST di Denpasar beberapa kali molor (https://www.balipost.com/news/2023/07/09/349324/Target-Pengoperasian-TPST-di-Denpasar…html).
“Perkembangannya masih dalam uji coba lagi, kemarin kan ada bau. Mangkin bisa dilihat TPST itu sudah diuji coba dan astungkara mengurangi bau. Kemarin disana operasional, di sana nggak ada bau,” ujar Adi.
Adi juga menjelaskan, bahwa setidaknya TPST Kertalangu telah berhasil mengelola sampah sebanyak 40 ton per hari, sementara TPST Padang Sambian hanya berhasil mengolah 20 ton per harinya, namun ia tidak menjelaskan kapasitas TPST Tahura Bali. Sementara itu, produksi sampah di Denpasar pada tahun 2021 bahkan mencapai 349,5 ribu ton per tahunnya, yang berarti ada sekitar 957 ton sampah dihasilkan per harinya di Denpasar (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/22/ini-wilayah-penghasil-sampah-terbanyak-di-bali).
Dilansir dari laman resmi Kementerian PUPR, TPST Kertalangu ditargetkan dapat mengelola sampah sebanyak 450 ton per harinya, begitu pula dengan TPST Tahura, dan hanya 120 ton per hari bagi TPST Padang Sambian. Total sampah yang akan diproses oleh ketiga TPST ini sebesar 1020 ton per harinya (https://pu.go.id/kanal-gallery/1609).
Pasalnya, Adi menambahkan, jika TPST ini telah rampung dikerjakan dan beroperasi secara maksimal, TPS-TPS di Denpasar akan ditutup.
“Kuncinya begini, TPST ketiga lokasi yang ada di Kota Denpasar sudah beroperasional dan sudah mampu mengelola sampahnya, itu kayaknya TPS-TPS ke depannya akan ditutup,” ujarnya.
Adi mengatakan bahwa setidaknya pada tahun 2024 TPST dapat berjalan dengan lancar, “Karena di dalam regulasi Perda, tyang (saya) kan sudah merevisi Perda nika (tersebut), rencana 2024 niki (ini) kayanya astungkara dilancarkan, nggak ada masalah.”
Akan tetapi, 2024 masih satu tahun lagi. Apa solusi jangka pendek dari TPS yang diprotes oleh warga?
“Jangka pendeknya kita angkut. Kita angkut setiap harinya, kalau memang di TPA tidak ada masalah, ya tiap hari kita angkut. Harus kita angkut,”
“Terlambatnya itu karena di TPA. Kuncinya ada di hilir karena kita butuh TPA. Kalau besok TPST tiga lokasi beroperasional, langsung kita bawa ke masing-masing TPST terdekat,” ujarnya membayangkan kehadiran TPST di Denpasar. Lalu bagaimana jika TPST belum kunjung beroperasi maksimal? Apa yang dapat dilakukan DLH Kota Denpasar sebagai bentuk solusi jangka pendek?
“Kita tetap mengadakan koordinasi, sehingga biar cepat penanganannya, mungkin dari sisi peralatan, sehingga sampah-sampah yang ada di Denpasar bisa diterima di TPA,” tutupnya menggantung.
Jika mengandalkan TPS 3R, ada 22 TPS 3R yang beroperasi di Denpasar dan 6 di antaranya dikelola oleh DLH Kota Denpasar. Dari 22 TPS 3R yang beroperasi di Denpasar, hanya ada 100 ton sampah per hari yang masuk.
“Kalau dari data yang masuk sih, 100 ton per hari,” ujar Viktor Andika, Kepala UPTD Pengelolaan Sampah, menjelaskan ada 100 ton sampah per hari yang masuk ke 22 TPS 3R. Sementara, hanya ada kurang lebih 30 ton sampah per hari yang masuk ke 6 TPS 3R di bawah kewenangan DLHK.
Jika 100 ton sampah per hari berarti hanya 10% dari total sampah yang ada di Denpasar. Rupanya Denpasar sangat berharap pada keberhasilan TPST yang dapat mengelola hampir seluruh sampah di Denpasar.
Viktor juga melanjutkan bahwasannya DLH Kota Denpasar harus membayar sebesar Rp100 ribu rupiah per ton sampah yang masuk di TPST kepada PT. Bali CMPP dengan kenaikan 3% setiap tahunnya. Hal itu berarti DLH Kota Denpasar harus membayar sebesar Rp102 juta setiap harinya atau 36,7 milliar rupiah setiap tahunnya. Akan tetapi, TPST masih tidak berjalan hingga sekarang.
“Sebenarnya kita punya target karena di kontrak itu, kalau anda (PT. Bali CMPP) nggak bisa, kita kenakan sanksi denda ke mereka. Kemarin seharusnya di bulan Juli itu mereka harusnya sudah operate,” tutupnya.
Belajar dari Desa untuk Masalah Dunia
Di Banjar Cemenggaon, Sukawati, masyarakat kini telah terbiasa memilah sampah mereka. Telah ada 350 KK yang melakukan hal ini dan angka tersebut adalah jumlah keseluruhan KK di Cemenggaon. Wayan Balik Mastiana adalah penggerak di belakang sistem pengolahan sampah di Cemenggaon. Dengan konsep teba modern, ia berusaha mengajak warga untuk turut serta memilah sampah secara mandiri.
Teba adalah suatu lokasi di belakang rumah masyarakat Bali yang biasanya digunakan untuk membuang segala sampah rumah tangga masyarakat. Dalam Basa Bali Wiki, dijelaskan bahwa Teba adalah pekarangan bagian belakang rumah yang bersemak. Kini, Mastiana berusaha mengangkat kembali konsepsi teba yang mungkin tidak lagi populer di masyarakat era sekarang.
“Teba modern ini saya angkat ini adalah kearifan lokal, yang memang betul bisa kita lakukan, tidak di komposnya saja,” ujar Wayan.
Mastiana juga memikirkan beberapa hal ketika membangun konsep teba modern ini. Ia bahkan memperhatikan aspek-aspek mikroorganisme yang akan membantu proses pengomposan tersebut.
“Ini kan kita memanfaatkan panas bumi, kalau proses mengompos itu kan panas, dia akan mengeluarkan uap, dia akan melembabkan sampah organik kita. Dia perlu panas tapi tidak terpapar matahari karena bakteri yang mengurai sampah itu dia perlu panas, tapi tidak terpapar sinar matahari, akan mati,” jelasnya.
Di teba modern itulah masyarakat Cemenggaon mengomposkan sampah-sampah organik mereka. Hanya diperlukan dana sekitar Rp440 ribu rupiah untuk warga dapat membangun satu lubang teba modern. Mastiana menyarankan warga Cemenggaon untuk dapat membuat dua buah lubang sebagai teba modern mereka.
Pasalnya, setiap lubang dengan kedalaman 2 meter tersebut hanya dipenuhi oleh sampah-sampah organik. Setidaknya, butuh waktu sekitar 9 hingga 10 bulan bagi setiap lubang untuk dapat penuh dan terurai. Maka, ketika pada 8 bulan pertama lubang pertama telah penuh, warga kemudian berpindah untuk mulai mengisi lubang teba modern kedua.
“Bilamana dia penuh satu, pindah ke lubang yang lain. Secara alami nanti dia akan menjadi kompos,” ujar pria tersebut.
“Justru kita, sampah organik saya sekian tahun bisa saya tangani tanpa bawa ke mana-mana lagi. Toh nanti satu tahun ke depan, kita mendapatkan kompos. Itulah bonusnya bagi kita,” tambahnya.
Dalam satu kali panen, satu lubang teba modern dapat menghasilkan 4 hingga 5 karung kompos. Bagi beberapa petani di banjar tersebut, kompos gratis hasil pemilihan mereka menjadi amat berguna bagi lahan yang sedang mereka garap. Akan tetapi, Mastiana tidak menampik bahwa ada orang-orang yang tidak memanfaatkan kompos tersebut, dan itu bukan masalah bagi dirinya.
“Jadi, secara otomatis, keluar air lindi, sudah diserap, sekaligus menyuburkan tanah di sana, dan dimakan oleh mikroba,” ujarnya.
Mastiana tidak dapat membayangkan betapa tingginya tumpukan sampah di Pulau Bali jika masyarakatnya tidak berusaha mengelola sampah yang masih bisa mereka kelola, bahkan memberikan manfaat bagi mereka.
“Di sini kan 350 KK, anggap deh 50 KK tidak taat, hanya ada 300 KK, saya asumsikan setiap rumah di sini punya 4 kg sampah, dikali 300, jadi 1.2 ton. Di Bali ada berapa banjar? Jadi ada 42 ton sampah setiap bulan, per banjar. Kalau itu kita masih tetep tidak mau membersihkan desa kita masing-masing, Bali akan tertutup dengan sampah,” tegasnya.
“Kalau organik terurai dia mengeluarkan gas metana dan air lindi, kalau anorganik terurai, dia akan mengeluarkan mikro plastik. Bilamana ia bersatu dan mengeluarkan air lindi, itulah bau. Bilamana gas metana itu bertumpuk sampahnya lama dan tercampur, mikroplastik campur organik akan menghasilkan gas beracun, bukan menghasilkan bau aja,” tutup Mastiana.
*Liputan ini merupakan beasiswa dari AJI Jakarta yang didukung penuh oleh Internews EJN