Para pemimpin negara G20 harus serius melakukan transisi energi terbarukan dan berkeadilan. “Berbagai bencana ekologi akibat krisis iklim yang melanda Bali jelang G20 harus menjadi peringatan bagi pemimpin negara-negara G20 untuk menghentikan solusi palsu terkait krisis iklim,” ujar Financial Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko.
Menurut catatan dari BMKG, hujan ekstrem terjadi pada 22 titik penakar hujan di Provinsi Bali dengan nilai berkisar antara 105 mm/hari hingga 344 mm/hari. Rekor baru curah hujan harian tertinggi tercapai pada 17 Oktober 2022 di beberapa titik pos hujan seperti Palasari, Nusasari, Yehembang Kangin, Jatiluwih, Payangan, Besakih, dan Abang. Sementara itu, kejadian hujan yang merupakan perulangan dari kejadian ekstrem pada tahun-tahun sebelumnya terjadi di 14 pos hujan lainnya.
“Penggunaan energi fosil sebagai penyebab krisis iklim harus segera dihentikan, jika kita ingin bencana-bencana akibat krisis iklim ini tidak semakin meluas,” ujarnya, “Apalagi di KTT G20 dengan jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya.”
Sayangnya, lanjut Suriadi Darmoko, dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. “Saat ini justru ada informasi bahwa mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP) untuk Indonesia akan diluncurkan di KTT G20,” jelasnya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah JETP ini nantinya akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati, atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.
Salah satu kekhawatiran yang mendasar dari skema JETP dan juga skema pendanaan transisi energi lainnya, lanjut Suriadi Darmoko, adalah transparansi. “Ketiadaan transparansi dalam proses JETP untuk Indonesia itu membuat minimnya keterlibatan masyarakat,” tegasnya. ”Tanpa keterlibatan masyarakat, JETP berpotensi akan memasukan solusi-solusi palsu yang selain tidak ramah lingkungan hidup juga tidak berkeadilan.”
Pemerintah Indonesia sendiri sebagai tuan rumah KTT G20, lanjutnya, tidak begitu serius melakukan transisi energi terbarukan yang berkeadilan. “Kementerian ESDM misalnya, justru mewacanakan penggunaan energi yang mereka bikin label hijau, tapi masih berbasiskan batu bara dan energi fosil lainnya,“ jelasnya, “Padahal itu hanya sekedar upaya untuk mempertahankan penggunaan energi fosil yang selain sudah hampir habis juga merusak alam.”
Sementara itu, menurut Indonesia Team Lead 350, Firdaus Cahyadi, kita semua berharap, mekanisme pendanaan apapun termasuk JETP, yang rencananya akan diluncurkan di KTT G20, tidak akan mengakomodasi solusi palsu. “Apapun skema pendanaannya, harus benar-benar mampu mengakhiri penggunaan energi fosil, berkeadilan bagi masyarakat rentan dan transparan,” tegasnya.
Hal ini sejalan dengan desakan koalisi masyarakat sipil di mana 350 juga tergabung di dalamnya. “Proses perencanaan dan implementasi transisi energi untuk mitigasi krisis iklim harus menekankan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatkan masyarakat terdampak” Firdaus Cahyadi menegaskan kembali. Selengkapnya rumusan prinsip-prinsip tersebut dapat dibaca di sini.