Dengan malu-malu Ni Ketut Ariani menganyam lidi-lidi di tangannya.
Perempuan berusia 55 tahun itu membuat lingkaran dari lidi kering yang lentur pada Minggu, 25 Oktober lalu. Dia menyelipkan tumpukan lidi di atas tumpukan lain. Dalam waktu sekitar 10 menit, anyaman itu pun mewujud jadi sebuah piring.
Dalam bahasa Bali, piring dari bahan lidi itu disebut ingka. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat makanan dan jajan, tetapi juga sarana sembahyang. Ingka menjadi bagian dari budaya dan identitas Bali.
Namun, tak banyak orang tahu bagaimana proses pembuatan ingka. Bahkan mereka yang tinggal satu desa dengan pembuatnya sekalipun.
Anak Agung Bagus Susrama, termasuk salah satunya. Meski tinggal satu desa dengan Ni Ketut Ariani, dia belum pernah melihat dengan dekat bagaimana pembuatan ingka. Apalagi mengetahui informasi lebih lengkap mengenai piring khas Bali ini.
Minggu pagi itu, remaja Banjar Moding Kaja, Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Jembrana itu bersama teman-temannya merekam Ni Ketut Ariani membuat ingka di rumahnya. Layaknya jurnalis profesional, Bagus juga ikut bertanya kepada Ariani.
“Bagaimana ingka yang bagus itu, Bu?” tanya Bagus sambil tetap merekam dengan ponsel.
“Ingka bagus itu yang kalau lidinya sudah kering. Ndak longgar-longgar,” Ariani menjawab dengan menunjukkan ingka yang dibuatnya.
Bagus tak bertanya sendiri. Ada lima teman lain yang ikut mewawancarai Ariani. I Ketut Widi Darmawan, teman satu kelompoknya, juga merekam semua kegiatan Ariani mulai dari memotong pelepah kelapa, memotong daunnya menjadi lidi, menjemur lidi, sampai menganyamnya menjadi sebuah ingka.
Hasil kerja tim bernama Tarik, Sis ini kemudian dibuat menjadi video sepanjang 3 menit 32 detik. Selain itu, ada pula artikel tentang topik sama yang ditulis Dewi Retno Wulan. “Saya juga baru tahu cerita lengkap tentang ingka setelah ikut liputan tadi,” kata Bagus.
Menggali Potensi
Pengalaman Bagus hanya salah satu cerita dari Kelas Jurnalisme Warga (KJW) BaleBengong pada akhir Oktober 2020 lalu di Jembrana. Pengalaman serupa terjadi pula pada sebagian besar dari 15 peserta KJW selama dua hari di banjar berjarak sekitar 105 km dari Denpasar itu. Pada umumnya mereka menemukan pengalaman pertama menggali potensi tentang desanya.
Itulah yang selama ini kami lakukan dalam KJW di desa-desa, mengajak warga setempat untuk tahu cerita-cerita menarik dari desa sendiri. Lalu, menggunakan pengetahuan dan kemampuan yang mereka pelajari selama pelatihan, mereka bisa menyebarluaskan cerita-cerita menarik itu kepada publik lebih luas.
KJW biasanya kami adakan dua hari. Hari pertama untuk belajar tentang teori dasar jurnalistik dan videografi. Misalnya membedakan fakta dan fiksi, menentukan nilai berita, menggali informasi, hingga merangkai berita. Materi tentang videografi menjadi penting karena pengguna Internet dan pembaca media di Indonesia makin menyukai visual, terutama anak-anak muda, target utama kelas jurnalisme warga yang kami adakan.
Berbekal pengetahuan dan keterampilan baru, para peserta KJW kemudian mencari cerita-cerita menarik untuk mereka liput. Pada hari kedua, mereka melakukannya. Di Desa Candikusuma, misalnya, 15 peserta kami bagi tiga kelompok dengan tema liputan berbeda-beda yaitu pembuatan ingka, pembuatan pot bunga, dan pembuatan cokelat.
Kelian Banjar Moding Kaja Kadek Dwi Antara turut memberikan informasi perihal topik-topik menarik tersebut. Kadek Dwi sendiri secara intensif mengikuti pelatihan selama dua hari. Tak hanya ikut lesehan di balai banjar, tetapi juga praktik bersama para peserta.
“Manfaat pelatihan jurnalisme warga ini, anak-anak muda bisa membuat konten di media sosial tentang potensi di desa kami. Paling tidak mereka jadi punya keahlian di dalam jurnalisme. Siapa tahu mereka bahkan bisa bekerja di media besar,” kata Dwi.
Hasil Kelas
Harapan Dwi mungkin terlalu tinggi, tetapi tidak ada salahnya juga. Sejak 2010, kami sudah melaksanakan kelas jurnalisme warga ke berbagai komunitas dan desa-desa di Bali. Pesertanya sebagian besar anak-anak muda.
Dari sekitar 50 kali pelatihan itu, ada beberapa peserta yang masih rajin menulis sampai saat ini, baik di BaleBengong maupun di media mereka masing-masing. Beberapa alumni bahkan jadi jurnalis profesional, termasuk untuk media ternama di Indonesia.
Berdasarkan hampir 20 tahun bekerja sebagai jurnalis, saya tahu susahnya menemukan pelatihan untuk jurnalis secara profesional terutama di daerah-daerah. Di sisi lain, seiring kian bebasnya media di Indonesia, media-media lokal juga terus bermunculan, termasuk di Bali.
Kelas jurnalisme warga tidak bermaksud mengisi kekosongan pelatihan jurnalistik untuk jurnalis profesional tersebut, tetapi lebih untuk mengajak dan mendidik warga agar mereka bisa membuat karya jurnalistik menurut standar jurnalisme yang baik. Tentu saja ini tidak mudah, tetapi tetap terus dilakukan.
Sejak Juli hingga Oktober tahun ini, dengan dukungan SpendeDirekt, kami mengadakan kelas-kelas jurnalisme warga itu di tiga desa. Lokasinya menyebar di Bali bagian tengah yaitu Gianyar dan Klungkung serta Bali bagian barat yaitu Jembrana. Kami memang menyasar warga-warga desa agar media tak hanya berisi informasi tentang apa yang terjadi di kota ataupun kelas menengah ke atas.
November ini kami berencana mengadakan di Bali bagian timur, Karangasem. Untuk pertama kali juga kami akan mengadakannya di luar Bali, Jawa Timur.
Ini pekerjaan tidak mudah karena bagaimanapun proses belajar dan kemampuan orang berbeda-beda. Ada peserta yang antusias belajar dan kemudian rajin menerapkan kemampuan baru mereka. Namun, lebih banyak lagi peserta yang selesai ikut kelas ya lupa begitu saja. Kami memakluminya. Kami tak bisa memaksa dan tak punya otoritas untuk melakukannya pada peserta.
Toh, dengan segala suka duka citanya, kami tetap meyakini bahwa kelas-kelas jurnalisme warga semacam ini tetap harus terus dilakukan. Karena kami yakin tidak ada yang percuma, sekecil apapun usaha kita. [b]