COVID-19 telah melumpuhkan berbagai lini kehidupan di masyarakat.
Kurang lebih delapan bulan masyarakat Indonesia telah menjalani kehidupan berbeda akibat pandemi yang mewabah di seluruh belahan dunia ini. Berbagai lini, mulai dari pendidikan, ekonomi, kesehatan dan budaya lumpuh dibuatnya. Korban-korban berjatuhan, termasuk beberapa tenaga kesehatan (nakes) yang menjadi garda terdepan dalam menangani wabah ini berguguran.
Banyak duka dan air mata yang hadir ketika menyadari banyak korban berjatuhan. Kehidupan benar-benar terasa berbeda dari tahun sebelumnya.
Berbagai penyesuaian kemudian diupayakan. Solidaritas antar warga terbentuk dengan erat. Pendidikan dilaksanakan secara daring. Begitu pula dengan orang-orang yang bekerja. -Semua dilakukan dari rumah. Kita semua diminta untuk meminimalisir kontak fisik demi mencegah penularan virus di ruang publik.
Namun, berita berbeda muncul dari ranah politik Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia mengumumkan bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan tetap dilaksanakan di penghujung tahun 2020. Pro-kontra tentu hadir, mengingat lonjakan kasus COVID-19 masih terjadi hingga hari ini. Beberapa lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), NU dan Muhammadiyah juga mendesak penundaan Pilkada karena alasan pandemi yang belum mereda. Sementara itu, beberapa negara seperti Selandia Baru, Hongkong, dan Bolivia menunda pelaksanaan pemilu di negaranya.
Demi Siapa?
Tentu, diselenggarakannya Pilkada di tengah pandemi ini meninggalkan pertanyaan bagi sebagian besar orang, apakah Pilkada ini dilaksanakan demi kepentingan rakyat?
Di Bali sendiri, enam kabupaten/kota sudah menetapkan pasangan calonnya. Di antara enam daerah tersebut, ada hal menarik yang dapat disoroti dari rangkaian Pilkada di Kabupaten Badung. Hanya ada satu calon yang akan maju pada Pilkada 2020 ini. Pasangan Giri Prasta-Ketut Suiasa menjadi kandidat satunya-satunya yang diusung oleh PDIP, Golkar dan Demokrat. Pasangan Giri Prasta-Ketut Suiasa ini akan melawan kotak kosong pada Pilkada serentak di bulan Desember nanti.
Fenomena ini menjadi sejarah pemilihan kepala daerah di Bali. Sebelumnya belum pernah ada Pilkada di Bali yang menghadirkan kotak kosong sebagai lawannya.
Setidaknya ada dua hal tugas berat bagi penyelenggara Pilkada tahun ini. Pertama, pemungutan suara dilaksanakan ketika pandemi sedang mewabah di seluruh dunia. Kedua, hanya ada satu calon yang akan bertarung pada Pilkada Desember nanti. Tugas penyelenggara Pilkada menjadi berat karena memastikan hak-hak rakyat harus terpenuhi. Hak itu menyangkut hak konstitusi dan kesehatan karena situasi pandemi yang sedang kita hadapi hari-hari ini.
Fenomena kotak kosong ini seolah membentuk pola sendiri jika dikaitkan pada Pilkada skala nasional. CNN Indonesia (2020) mencatat setidaknya terdapat 25 daerah di indonesia yang hanya memiliki satu pasangan calon pada Pilkada 9 Desember nanti. Hadirnya pasangan tunggal dalam Pilkada setidaknya mengindikasikan beberapa hal. Munculnya pasangan calon tunggal ini tidak terjadi lantaran calon tersebut yang paling cocok dan kompatibel untuk maju dalam Pilkada.
Mengapa demikian? Kandidat tunggal mengindikasikan dua kemungkinan. Pertama, kuatnya modal dari pasangan calon tersebut. Kedua sistem koalisi partai yang tidak menyediakan kesempatan bagi calon-calon alternatif untuk maju dalam kontestasi ini. Meskipun demikian, kedua indikasi tersebut sebenarnya berakar dari sistem koalisi kita yang mana partai politik dengan jumlah kursi terbesar memiliki keuntungan lebih banyak. Parpol lain yang jumlah kursinya lebih sedikit akan gugur karena suaranya tidak kuat untuk mengusung calon kepala daerah.
Dari pola tersebut, dapat disimpulkan kemudian bahwa terjadi ironi dalam iklim demokrasi Indonesia hari ini. Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana juga menjelaskan bahwa salah satu penyebab munculnya calon tunggal adalah sifat pragmatis dari partai itu sendiri. Dalam pesta demokrasi yang mana rakyat adalah akar serta tujuannya dan partai adalah salah satu pilar keberhasilan demokrasi justru menggunakan “jalan pintas” untuk kemudian mengusung nama calon dari partai yang memiliki elektabilitas lebih tinggi dan dinilai akan menang.
Politik Uang
Argumen tersebut kemudian diperkuat dengan data bahwa dalam Pilkada 2020 ini partai-partai besar banyak mengusung calon tunggal. Di urutan pertama ada partai Golkar, kemudian PDIP, PKS, PPP, dan Hanura. Artinya, partai-partai lain mengambil jalan untuk memperkecil biaya politik dengan mengusung calon lain dari partai yang lebih memungkinkan untuk memenangkan Pilkada. Dalam hal ini, partai politik seolah tidak memiliki perbedaan, karena yang dicari hanya “kemenangan”.
Aspinal & Sukmajati (2015) dalam buku Politik Uang di Indonesia juga menyebutkan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan dalam pembilahan partai kanan-kiri. Padahal di banyak negara perbedaan ideologi atau program terlihat sangat jelas. Abu-abunya tindakan parpol menjadi isyarat meredupnya demokrasi, sebab pertarungan ide dan gagasan tidak muncul untuk menghasilkan pemimpin yang kompatibel.
Dalam Pilkada serentak ini, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi harusnya disuguhkan dengan berbagai usulan program yang strategis, mengingat kondisi pandemi yang kita alami saat ini telah menggempur sektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan di negeri ini. Program strategis ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat bertahan di tengah pandemi. Apalagi dalam konteks Bali dengan kondisi yang serba sepi. Kegiatan ekonomi yang bergantung pada pariwisata semestinya bisa diganti dengan program lain yang lebih berkelanjutan.
Pandemi telah membawa kita masuk ke dalam berbagai permasalahan yang kompleks. Hadirnya Pilkada tentu membawa harapan yang besar agar pemimpin kita ke depannya mampu memikirkan program yang tidak hanya berkutat pada bantuan sehari jadi, sebab hal tersebut ditakutkan akan bertahan sementara. Melalui Pilkada ini pertarungan argumen dan suguhan program seharusnya menjadi sajian menarik bagi masyarakat.
Sayangnya, hal tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Di tengah pandemi dan sistem Pilkada yang banyak menghadirkan calon tunggal, rakyat seolah diberi sedikit pilihan. Hadirnya fenomena kotak kosong juga membawa sinyal bahwa sistem yang ada saat ini menyuburkan kultur politik yang berkutat pada elite saja, sehingga alternatif lain sudah tersingkir terlebih dahulu.
Dari sedikitnya pilihan tersebut, apa yang akan diperoleh rakyat? Apakah calon-calon tunggal yang maju mampu mengalahkan kotak kosong ini? Jika kotak kosong kemudian bersuara dan mengalahkan pasangan calon, apa yang akan terjadi dalam kultur politik kita selanjutnya? Jika dapat ditarik satu pertanyaan besar tentang situasi yang tengah kita alami bersama, apakah muluk-muluk jika kita mengajukan satu pertanyaan: Pilkada ini untuk siapa? [b]