Lantas, untuk siapa UU Omnibus Law ini dibentuk?
“Menarik investasi asing” selalu menjadi senjata pamungkas pemerintah dalam melancarkan RUU Omnibus Law (Cipta Kerja) hingga mencapai ketuk palu pada sidang paripurna DPR RI, Senin, 5 Oktober 2020. Meskipun mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat, baik itu buruh, mahasiswa, akademisi, maupun pemerhati lingkungan, pemerintah tetap melancarkan pemangkasan perizinan yang dirasa menghambat investasi, dengan pembelaan karena “aturan yang gemuk”.
Namun, berdasarkan hasil analisis Tim Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), UU ini justru berpotensi melahirkan hyper-regulated, karena akan ada sekitar 500 aturan turunan yang jauh lebih kompleks.
Upaya pemangkasan ini juga mengarah pada sistem perizinan yang tersentralisasi, dengan argumentasi “untuk memberikan fleksibilitas bagi Pemerintah Pusat dalam mengambil kebijakan mengikuti dinamika masyarakat dan global yang semakin cepat.” Nyatanya berdasarkan hasil penelusuran ICEL, tren investasi saat ini justru mengarah pada sektor sekunder dan tersier (jasa, transportasi, perdagangan). Namun, UU Cipta Kerja justru memprioritaskan kemudahan berusaha bagai usaha ekstraktif, seperti kehutanan, perkebunan, ataupun pertambangan.
Usaha yang mengancam lingkungan ini juga mendapat sorotan investor asing karena UU yang justru mengancam lingkungan. Tirto.id melansir sekitar 35 investor asset under management (AUM) membuat surat terbuka atas kekhawatiran untuk berinvestasi karena UU Cipta Kerja yang akan berdampak pada persoalan hak asasi manusia, ketenagakerjaan, dan lingkungan.
Negara Mendominasi
Lantas, untuk siapa UU Omnibus Law ini dibentuk?
Ketika tren investasi mengarah pada sektor sekunder dan tersier, tetapi Indonesia justru mempermudah izin bagi perusahaan-perusahaan yang berdampak buruk terhadap lingkungan. Misalnya pada analisis yang dilakukan ICEL terkait perubahan dalam UU 32/2009 pasal 24 yang menyebutkan bahwa Uji Kelayakan lingkungan hidup dilakukan oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat, sehingga kewenangan pemerintah daerah dikurangi.
Izin lingkungan juga dikurangi fungsi strategisnya. Termasuk menghilangkan unsur elemen masyarakat, menjadi hanya masyarakat terdampak di mana perusahaan akan dibangun. Padahal sebelumnya unsur elemen masyarakat yang melibatkan organisasi/pakar di bidang lingkungan menjadi penting dalam Amdal, sehingga perubahan tersebut semakin mempersempit ruang partisipasi masyarakat.
Selain itu, perubahan pada pasal 63 yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah memperkuat kewenangan pemerintah pusat. Segala upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan pemerintah daerah harus sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Padahal pemerintah daerah lah yang paling dekat untuk mengetahui aktivitas dan data dari pelaku usaha.
Setiap daerah memiliki masalah (sosial & budaya) yang berbeda dan mestinya ditangani dengan aturan berbeda, sesuai dengan daerah alami mereka. Terlebih lagi, dalam UU Cipta Kerja upaya mempertahankan kearifan lokal untuk menjaga lingkungan hidup dihapus. Menurut analisis Tim FH UGM, pemusatan perizinan ke presiden atau pemerintah pusat telah mengurangi kewenangan otonomi daerah yang dalam fungsinya sangat penting untuk memperoleh keputusan yang partisipatif dan demokratis.
Sentralisasi Mengancam Ekologi
Sentralisasi perizinan yang dimuat dalam UU Cipta Kerja ini pun mendapat perlawanan kuat dari berbagai elemen masyarakat, khususnya yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI). Gerakan ini melihat sentralisasi akan berdampak pada berkurangnya pelayanan publik dan menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat. Padahal aspirasi akan lebih baik diterima ketika suatu pemerintahan menggunakan sistem yang terdesentralisasi, melalui otonomi daerah.
Namun, jika melihat kondisi pemerintahan saat ini, terlebih semenjak munculnya UU Cipta Kerja. Upaya menerapkan sistem yang terdesentralisasi dan demokratis nampaknya semakin jauh. Sistem yang tersentralisasi ini dengan sengaja mengenyampingkan keberagaman dan kearifan lokal yang dipertahankan untuk kelestarian alam.
Sentralisasi perizinan lingkungan telah memperlihatkan bagaimana negara berusaha untuk mendominasi rakyatnya, sekaligus mengancam keberlangsungan ekologi. Permasalahan ini semakin memperkuat argumen Bookchin—pelopor gerakan lingkungan—yang mengatakan bahwa krisis lingkungan saat ini terjadi karena adanya dominasi manusia terhadap manusia, yang berdampak pada alam. Seperti UU Cipta Kerja yang sengaja disusun untuk menciptakan perizinan dan pengawasan yang tersentralisasi pada negara dan berpihak pada industri ekstraktif—pertambangan ataupun perkebunan monokultur. Kemudian menutup ruang partisipasi masyarakat dalam setiap keputusan yang berdampak pada ruang hidupnya sendiri.
Melalui sistem yang tersentralisasi, maka variasi lokal akan semakin tergerus akibat standarisasi terpusat yang dipaksakan. Hal ini akan mengancam keberagaman yang lahir untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan. Menurut Bookchin, kestabilan ekologi pada dasarnya, bukan dari homogenitas, melainkan kompleksitas dan variasi. Namun dengan adanya sistem yang tersentralisasi, kestabilan ekologi tidak akan tercapai, sebab segalanya diatur oleh sistem yang menampik keberagaman.
Maka dari itu, kekuasaan terpusat dari negara perlu dikembalikan ke dalam komunitas melalui sistem yang lebih terdesentralisasi. Dengan otonomi daerah, proses pengambilan keputusan yang partisipatif dan kooperatif dapat dicapai dan melahirkan kebijakan yang sesuai dengan daerah alami mereka. Keberagaman dan variasi pun akan bertahan untuk menjaga stabilitas ekologi. [b]
Sumber:
Riyanto, S dkk. (2020). Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Diakses pada 9 Oktober 2020.
Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). (2020). Berbagai Problematika dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam. Diakses pada 9 Oktober 2020.
Thomas, V. F. (2020). Mendalami Kekecewaan Invstor Asing terhadap UU Ciptaker. Diakses pada 9 Oktober 2020.
Fraksi Rakyat Indonesia (FRI). (nd). Omnibus Law RUU Cilaka: Aturan Berwatak Kolonial. Diakses pada 8 Oktober 2020.
Curran, G. (1999). Murray Bookchin and the domination of nature. Critical Review of International Social and Political Philosophy, 2:2, 59-94, DOI: 10.1080/13698239908403276
Bookchin, M. (1982). The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy. Palo Alto: Cheshire Books