Adalah hal lumrah untuk menyebut Bali sebagai surga dunia, tempat turis berlibur dan menghabiskan waktunya.
Bali kerap diidentikkan sebagai surga yang eksis di dunia. Orang-orang Jakarta yang lelah dengan pekerjaan sehari-harinya bahkan rela merogoh kocek dan berbondong-bondong mengistirahatkan badannya, kemudian berjemur di beach club ternama daerah Jimbaran atau menikmati matahari tenggelam di Kuta.
Dalam hal itu, Bali memang selalu dipenuhi pujian dan jadi tempat paling dirindukan oleh turis lokal maupun mancanegara. Namun, perkenalan singkat turis-turis tersebut akan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di beberapa kabupaten di Bali.
Sebagai orang asli Bali, awalnya saya sempat terbuai akan pujian-pujian di atas. Saya pikir saya memang hidup di tengah pulau yang serba berkecukupan, gemilang, dan jauh dari kata krisis. Belakangan saya mengerti, pola hidup dan sistem kapitalisme yang menyuplai pembangunan serta industri membuat begitu banyak hal berubah.
Imaji saya—atau bahkan kalian yang selama ini menikmati Bali mungkin akan terkaget-kaget ketika tahu bahwa Bali diprediksi—bahkan sedang dalam kondisi krisis air.
Yayasan IDEP Selaras Alam Bali yang fokus kepada pembangunan berkelanjutan di Bali memaparkan bahwa air tanah di wilayah Bali Selatan mengalami penurunan hingga lebih dari 50 meter dalam waktu kurang dari 10 tahun. Ditambah air permukaan, seperti danau dan sungai yang juga mengalami penurunan. Salah satunya adalah salah satu penyuplai air terbesar di Bali–Danau Buyan yang mengalami penurunan 3.5 meter hingga 5 meter dalam waktu kurang lebih tiga tahun.
IDEP juga menyebutkan sebesar 60 persen aliran air di Bali telah mengalami kekeringan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Bali sedang mengalami masalah serius yang jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka Bali akan terancam mengering.
Shiva dalam Water Wars (2002) menjelaskan bahwa penghancuran terhadap sumber daya air dan hutan juga termasuk ciri terorisme. Makam jika hal tersebut dikaitkan pada masalah pembangunan di Bali yang tak mengindahkan dampak ekologis, maka segala aspek akan saling berkelindan—mulai dari masalah kesehatan, sosial dan ekonomi yang bergantung dari keberlangsungan sumber airnya.
Dalam bukunya Water Wars: Privatization, Pollution and Profit (2002), Shiva menjelaskan bagiamana kondisi kepemilikan air di India berdampak pada masyarakat yang akhirnya tidak memiiki akses terhadap air. Menurutnya, air sudah secara tradisional diperlakukan sebagai natural right—maksudnya adalah sebuah hak yang lahir alamaiah dan disesuaikan dengan sifat manusia, kondisi sejarah, kebutuhan dasar, dan gagasan tentang keadilan.
Oleh karena itu, hak air sebagai hak natural atau alamiahnya tidak berasal dari negara melainkan ia berkembang melalui konteks ekologis tertentu dari keberadaan manusia. Sebagai hak alamiah, hak atas air adalah hak guna; itu berarti air dapat digunakan tetapi tidak dapat dimiliki atau dipantenkan melalui privatisasi atau pembangunan yang menghambat akses air secara universal.
Meski apa yang dialami India sedikit berbeda, tetapi benang merahnya terdapat pada bagaimana manajemen air dapat menyejahterakan masyarakatnya. Di Bali sendiri, salah satu penyebab terjadinya krisis air adalah maraknya pembangunan hotel yang kemudian menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dan distribusi air yang lebih banyak pada hotel-hotel (terlebih hotel berbintang) tersebut. Ini mencerminkan hal yang paradoks—bagaimana pembangunan dianggap kemewahan utamanya di bidang pariwasata. Sementara pembangunan perlahan-lahan membuat kita mengalami bunuh diri di rumah sendiri.
Untuk itu, Shiva dalam Water Wars: Privatization, Pollution and Profit (2002) memaparkan sembilan prinsip yang mendasari demokrasi dari air:
1. Water is nature’s gift: artinya kita menerima air melalui alam, oleh karenanya kita “berutang” pada alam atas dasar kebutuhan kita mendatang—maka tugas kita adalah membiarkannya tetap bersih dan memastikan bahwa kuantitasnya tetap terjaga. Sementara itu, hal-hal yang membuat aliran air gersang atau tergenang sebenarnya telah melanggar prinsip ekologi yang demokratis.
2. Water is essential to life: Shiva (2002) juga menjelaskan bahwa air adalah sumber dari segala kehidupan bagi spesies di bumi. Maka, semua spesies memiliki hak untuk berbagi air di planet ini. Hal tersebut berarti hak air yang mengalir harus dipastikan agar segala spesies mendapat akses atas air.
3. Life is interconnected through water: prinsip ini menegaskan bahwa air menghubungkan berbagai spesies melalui siklusnya, oleh sebab itu sudah menjadi tanggung jawab moral bagi kita untuk tidak melakukan hal yang membahayakan spesies lainnya.
4. Water must be free for sustenance needs: ini berarti air seharusnya tidak diprivatisasi atau memiiki keuntungan hanya untuk satu pihak dan mengabaikan kebutuhan masyarakat yang rentan.
5. Water is limited and can be exhausted: prinsip ini harus dipegang sebab air juga memiliki limitnya jika tidak digunakan secara (sustainable) berkelanjutan.
6. Water must be conserved: semua orang memiliki tugas untuk menjaga air dan menggunakan air secara berkelanjutan. Prinsip ini kemudian berkorelasi dengan apa yang terjadi di Bali, berbagai lini harusnya menjaga dan melindungi air demi keberlangsungan hidup kita ke depannya.
7. Water is a commons: air bukanlah penemuan manusia, maka ia tidak berhak “dimiliki’ atau dijual sebagai properti.
8. No one holds a right to destroy: Tidak ada yang berhak untuk menggunakan, menyalahgunakan, membuang, atau mencemari sistem air secara berlebihan—sebab itu melanggar prinsip penggunaan yang adil dan berkelanjutan.
9. Water cannot be substituted: air tidak dapat diganti dengan sumber daya lain maka ia tidak selayaknya dijadikan komoditi atau kepentingan lain atas nama pembangunan yang memantik timbulnya krisis air.
Pengalaman India sebagai negara dunia ketiga yang juga mengalami maraknya pembangunan patut kita pelajari. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya, sudah sepatutnya kita memanfaatkan air secara ramah lingkungan. Lalu, selain menumbuhkan perhatian pada isu air di Bali–apa yang dapat kita lakukan?
Mengutip Mongabay (2015) ada dua hal yang dapat dilakukan—pertama, menciptakan teknologi salinasi air tercampur air laut, kedua, membuat sumur penangkapan air hujan yang sudah mulai dilakukan oleh beberapa NGO di Bali. Selain mengandalkan dua alternatif tersebut, kita selaku masyarakat Bali juga harus tetap mendorong dan mengawasi regulasi pengontrolan kebutuhan air di Bali. [b]