Teks dan Foto Ilustrasi Anton Muhajir
“Dulu kami berjuang bersama melawan penjajah Belanda untuk merebut tanah air. Sekarang, setelah 65 tahun merdeka, tanah airnya dijual pada investor. Kami malah diusir dari tanah kami sendiri,” kata Pak Mai lantang. Suara keras. Kalimatnya pendek-pendek, mirip orang orasi dibanding presentasi.
Kamis siang itu Pak Mai, umurnya sekitar 80 tahun, menjadi salah satu narasumber di diskusi tentang sengketa agraria di Bali. Pak Mai warga Desa Sendang Pasir, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Selain dia, diskusi yang dipandu aktivis Bali Ngurah Karyadi itu juga menghadirkan dua warga lain korban sengketa agraria dari Desa Sumber Klampok, Buleleng dan Desa Selasih, Gianyar. Dua pembicara lain dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Indonesia.
Diskusi diadakan koalisi beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali yaitu Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali, Yayasan Manikaya Kauci (YMK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, serta Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Bali.
Mai, pria berkaca mata dengan gigi ompong, rambut memutih, dan kulit keriput itu salah satu korban sengketa agraria di Bali. Siang itu dia bercerita tentang sengketa agraria di desanya, Sendangpasir.
Singkatnya begini. Sejak tahun 1917, berarti itu masih zaman penjajahan Belanda, tanah di Desa Sendangpasir digunakan sebagai perkebunan negara. Untuk mengolah kebun tersebut, Belanda mengajak orang-orang dari luar desa sebagai pekerja di kebun tersebut. Tanamannya kelapa pada saat itu.
Setelah Indonesia merdeka, tanah seluas sekitar 280 hektar tersebut dikelola oleh Yayasan Kebaktian Pejuang (YKP). Namun, menurut Mai, ketika Partai Komunias Indonesia (PKI) berkuasa sekitar tahun 1965, tanah tersebut diklaim oleh orang-orang PKI.
Pascaperistiwa G 30 S, di mana PKI menjadi kambing hitam kemudian diikuti pembubaran partai ini bahkan pembunuhan massal terhadap anggota maupun simpatisannya, tanah tersebut diambil lagi oleh YKP. Pengambil alihan itu dilakukan bersama warga dengan iming-iming warga akan mendapat bagian tanah. Iming-iming ini memang terbukti. Setelah tanah tersebut diambil alih dari orang-orang PKI, warga setempat mulai mengolah lahan tersebut meski tanpa hak milik, hanya hak guna usaha.
Namun, hak pengelolaan oleh warga tersebut hilang setelah hak guna usaha tanah dialihkan dari YKP pada PT Margarana pada tahun 1980. Meskipun masih menjadikan kawasan itu sebagai perkebunan, PT Margarana tak lagi menggunakan warga setempat sebagai tenaga kerja. Warga dulu diajak untuk membabat hutan belantara untuk menjadi laha perkebunan pada zaman Belanda tersebut malah diusir. “Alasannya untuk peremajaan tenaga kerja,” kata Mai.
Dari sinilah konflik tanah itu bermula. Konflik terbuka antara warga penggarap dengan PT Margarana pun terjadi berlarut-larut. Taufik Hidayat, aktivis Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), menulis di website HMI Denpasar tentang salah satu konflik terbuka tersebut. Taufik, mengutip tulisan-tulisan dari media lokal seperti Bali Post dan Nusa, menuliskan peristiwa itu agak panjang.
Insiden terjadi pada tanggal 17 September 1993. Terjadi pemukulan dan penendangan oleh oknum dari Koramil terhadap Rasyid, salah satu warga, karena menyangkal tuduhan bahwa warga dusun Sendangpasir adalah gembong PKI.
Pada tanggal 23 Oktober 1993 intimidasi langsung diterima warga. Pengelola perkebunan mendatangkan buldozer yang dikawal 40 tentara berpakaian militer. Mereka mengarahkan pada salah satu rumah warga bernama Hariyadi. Ketika Hariyadi mencoba menghentikan buldozer tersebut, dia ditarik dua orang aparat. Dia dipukuli.
Buk Mo, warga desa lainnya, tak tahan melihat insiden tersebut. Dia pingsan lalu diseret dua aparat lainnya, tetapi kemudian dilepaskan karena diketahui 400-an warga setempat. Pasukan dari Yonif 741 Singaraja bersama Hansip Pemuteran datang dan memukuli warga. Danramil sempat mengeluarkan pistol dan siap menembak dua orang warga yang sempat mengejarnya. Warga desa lainnya panik karena dipukuli, dilempari bom asap serta ditusuk dengan bayonet.
Bentrokan warga dengan aparat dikenang sebagai Tragedi 23 Oktober 1993. Bentrokan itupun menjadi salah satu catatan kelam dalam sengketa agraria di Bali.
Perjuangan warga untuk mendapatkan lahan garapan itu mendapat dukungan dari aktivis LSM maupun mahasiswa di Bali seperti Sekretariat Kerja Mahasiswa Bali (Skema B), LBH Bali, dan lain-lain. Ngurah Karyadi, mantan Direktur LBH Bali, mengatakan warga juga ada yang masuk penjara setelah kasus tersebut. Ada delapan orang masuk penjara dengan masa hukuman antara enam bulan hingga satu tahun.
Sengketa agraria di Sendangpasir hanya salah satu contoh sengketa agraria di Bali. Di diskusi setengah hari yang diadakan KPA itu juga ada testimoni dari korban sengketa lahan di Desa Sumberklampok yang juga berada satu kawasan dengan Desa Sendangpasir dan dari Desa Selasih, Gianyar.
Made Sudiantara, warga Desa Selasih yang hadir siang itu, mengatakan sengketa agraria di desanya bermula ketika ada investor yang ingin membangun lapangan golf di desanya. Usaha ini terhalang karena tidak ada titik temu antara investor dengan warga. Namun, warga justru mendapat tekanan dari investor maupun tentara.
Ada persamaan antara sengketa agraria di Sendangpasir, Sumberklampok, maupun Selasih. Sengketa terjadi ketika tanah tersebut sudah dijual ataupun disewakan pada investor lalu para penggarap pun diusir untuk kepentingan investor. “Itu bukti bahwa pemerintah lebih memihak investor daripada rakyat kecil,” kata Ngurah Karyadi.
Sengketa di tiga tempat itu hanya sebagian contoh sengketa agraria di Bali. Contoh sengketa lainnya adalah antara warga Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan dengan PT Bali Turtle Island Development (BTID), petani di Pecatu dengan PT Bali Pecatu Graha, dan lain-lain.
Perwakilan BPN Bali memberikan contoh-contoh lain sengketa agraria di Bali ini. Menurutnya, sengketa agraria di Bali sering terjadi antara individu dengan individu, individu dengan banjar, individu dengan investor, atau bahkan antar-kabupaten. Dia mencontohkan sengketa batas antara Kabupaten Badung dengan Kota Denpasar.
Menurut Sekretaris Jenderal KPA Nasional, Idham Arsyad, saat ini terjadi antara 1750 hingga 2000 kasus sengketa agraria di Indonesia. Idham mengatakan terjadinya sengketa agraria berpangkal dari ketimpangan pemilikan, penguasaan, dan pengolahan sumber-sumber agraria antara investor dengan rakyat kecil. Bagi investor, sumber agraria seperti air dan tanah hanya menjadi komoditi. Sumber agraria itu hanya berfungsi sebagai modal ekonomi.
“Padahal sumber agraria juga mempunyai fungsi lain seperti sosial, budaya, bahkan politik,” kata Idham.
Pemerintah Indonesia sendiri, lanjut Idham, tak ada bedanya dengan zaman kolonial. Mereka menguasai sumber agraria tersebut untuk kepentingan ekonomi semata. Hal ini akibat sistem pemerintahan yang terlalu berorientasi pada pembangunan ekonomi sehingga abai pada hal lain seperti sosial, budaya, dan politik. Dengan sistem pembangunan seperti itu maka semua sumber agraria pun dianggap sebagai kapital atau komoditi.
Konsekuensinya, tambah Idham, tanah dan air pun dijual pada investor daripada digunakan oleh rakyat kecil. “Sengketa agraria terjadi bukan karena soal teknis tapi karena paradigma pembangunan yang salah,” ujarnya.
Idham menawarkan salah satu pilihan menyelesaikan sengketa-sengketa agraria di Indonesia. Kebijakan ekonomi saat ini harus diarahkan pada pro poor atau menyelesaikan kemiskinan. Harus ada redistribusi tanah untuk rakyat kecil sehingga mereka punya alat produksi. Dengan demikian tanah akan dikelola banyak orang, bukan hanya investor yang dimiliki satu orang. “Kalau ada alat produksi, maka rakyat bisa menghasilkan sesuatu dan mendorong terjadinya transaksi. Dengan demikian akan ada pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Redistribusi ini pula yang diinginkan oleh Pak Mai. Menurutnya, masalah agraria bisa selesai kalau tanah dibagikan pada buruh dan tani. “Tanpa buruh dan tani, negara ini tidak ada apa-apanya,” ujarnya. [b]
Papan Nama YMK
no coment dah
Proposal Diskusi Parpol Aja Om
Rakyat kecil tetap menjerit… tetapi jangan berkecil hati. Sabar dan Berdoa..
Semoga ada Satrio piningit yang turun dari langit.