Teks Luh De Suriyani Foto Anton Muhajir
I Nengah Mantra, sebut saja demikian, seorang tukang pijat di Denpasar mengaku sangat mudah melakukan transaksi seks saat ini. “Cukup lewat handphone, saya bayar Rp 150 ribu ceweknya sudah bokingin hotel,” ujarnya tertawa.
Ia hafal lokasi-lokasi pusat transaksi seks di Denpasar dan siapa pekerjanya. Namun Mantra mengatakan pekerja seks di Denpasar kini lebih banyak bekerja tidak langsung di lokalisasi tapi menerima pesanan lewat telepon.
Menurutnya ini lebih mudah, aman dari penangkapan Satpol PP dan tak perlu membayar mucikari. Mantra mengaku sebagian hasil pendapatannya dari memijat habis untuk petualangan seksnya. Sayangnya pemuda lajang ini mengaku tak tahu infeksi menular seksual, terlebih resiko terinfeksi HIV.
I Made Sendra, seorang pengurus banjar adat di daerah Pemogan, Denpasar Selatan pun mengaku menghadapi simalakama. Ia tak menyangka izin-izin pendirian cafe yang diberikan di daerahnya dicurigai menjadi pusat-pusat transaksi seks terselubung. “Banyak warga lokal di sini yang sudah menjadi pelanggan tetap dan kecanduan ke sana. Kami jadi agak sulit menertibkannya,” ujarnya.
“Saya kaget, ada warga saya dibilang ada yang kena HIV. Ketika meninggal, warga tidak berani memandikan jenazahnya. Kami belum siap menghadapi ini,” kata Sendra sembari minta bantuan penyuluhan HIV di daerahnya.
Kondisi ini sudah diramalkan sejumlah peneliti dan pegiat penanggulangan HIV/AIDS di Bali, sejak awal 2000. Ketika itu prevalensi kasus HIV positif pada pekerja seks di Bali meningkat 100 persen, dari di bawah 1 persen pada 1999 menjadi hampir 2 persen pada 2000. Lalu, lima tahun kemudian, prevalensi menjadi 12 persen, dan melonjak lagi menjadi 23 persen pada 2009.
Sayangnya, perilaku pelanggan seks tak berbanding lurus dengan cepatnya penyebaran HIV di jalur penularan heteroseksual ini. Program penggunaan kondom 100 persen di lokalisasi berjalan tertatih-tatih. “Penggunaan kondom rata-rata hanya 40 persen dari jam kerja seorang pekerja seks. Sisanya karena pelanggan menolak memakai,” ujar Yahya Anshori, Pengelola Program PMTS Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali. Tak heran, sejumlah LSM dan KPA Bali menemukan kasus infeksi menular seksual (IMS) masih cukup tinggi, terlebih HIV.
Pada 2009, KPA Bali menyimpulkan ada perubahan perilaku pekerja seks dan pelanggan yang menyulitkan penjangkauan di lapangan. “Dari estimasi 8000 jumlah pekerja seks, jumlah pekerja seks tak langsung kini sama banyaknya dengan pekerja seks di lokalisasi,” kata Yahya. Pekerja seks tak langsung ini yang sulit diintervensi dalam penggunaan kondom atau pemeriksaan IMS.
KPA Bali memperkirakan gelombang baru epidemi HIV tengah terjadi di Bali. Data Dinas Kesehatan Bali memperlihatkan lonjakan kasus HIV dan AIDS. Pada awal 2009, jumlah pengidapnya sebanyak 2610, dan sepuluh bulan kemudian sampai November 2009 menjadi 3181. Bertambah 571 orang atau sekitar 20 persen. Rata-rata pengidap baru yang berhasil dijangkau saja 57 orang per bulan.
Penularan diidentifikasikan dari hubungan heteroseksual sebanyak 2142 orang (67 persen), kemudian injecting drug users/IDU’s 730 orang (23 persen). Lima tahun lalu, gelombang epidemi HIV terjadi pada kelompok IDU’s dan kini berbalik.
Karena itu KPA Bali memfasilitasi para mucikari dalam kelompok kerja khusus yang bertugas melakukan intervensi perilaku pekerja dan pelanggan seks di wilayahnya. Ada 13 pokja di sejumlah lokalisasi di Bali. Mereka terdiri dari para germo, pemilik tempat dan penampung pekerja seks yang tersebar di Denpasar, Buleleng, Tabanan, dan Badung.
Pokja ini bertugas memantau penggunaan kondom di lokasinya, memberikan waktu-waktu khusus pekerja seks untuk memeriksakan kesehatan, dan promosi penggunaan kondom pada pelanggan seks. “Peran germo masih terbatas karena mereka motivasinya bisnis. KPA Bali berharap semua banjar mulai melakukan pendataan jumlah tempat hiburan dan pekerja di wilayahnya,” kata Yahya. [b]
Versi Bahasa Inggris dimuat di http://www.thejakartapost.com/news/2010/03/01/bali-faces-higher-hivaids-prevalence.html
Itu untuk hetero dan pengguna narkoba saja??
Apakah di Bali, kasus homosexual belum terlalu mengakibatkan HIV/AIDS?
wow prevalensinya mencapai 23% ya? yah HIV memang menjadi fenomena gunung es di banyak daerah. stigma masyarakat terhadap penderita ikut memperburuk kondisi.
di kenya juga stigma masyarakat terhadap ampath (rumah sakit khusus menangani untuk membantu pasien hiv) tidak terlalu bagus (buruk).