jing anjing anjing anjing kintamani
beli dari pulau bali
jing anjing anjing anjing kintamani
senyumnya manis sekali
Lagu Shaggy Dog berjudul Anjing Kintamani itu asyik sekali untuk didengarkan. Band dari Yogyakarta itu mengutip tentang anjing asal Bali yang dijadikan tema lagu ini. Mereka mengisyaratkan bahwa anjing Kintamani ini merupakan hewan yang ramah untuk dipelihara.
Ternyata kata “Bali” tidak hanya merujuk pada pantai pasir putihnya, tetapi juga hewan endemik berkaki empat yang setia.
Hubungan masyarakat Bali dengan hewan tidak hanya sebatas tuan dan majikan. Masyarakat Bali memiliki tradisi dan hari raya yang secara khusus sebagai bentuk penghormatan kepada para hewan. Hal ini tercermin dari perayaan hari raya Tumpek Kandang yang jatuh hari Sabtu Wuku Uye (Pawukon dalam kalender Bali) kemarin.
Pada hari Tumpek Kandang, masyarakat melakukan upacara untuk Dewa Siwa dalam wujud Rare Angon (seorang anak pengembala). Para peternak, yang memiliki hewan peliharaan, serta masyarakat Bali umumnya merayakan ritual ini setiap 210 hari sekali.
Nilai-nilai menyayangi dan saling menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan di dunia ini juga tertuang dalam filosofi Tri Hita Karana. Tiga hal penyebab kebahagiaan di dunia dengan hidup selaras. Selaras dengan alam beserta isinya salah satunya contohnya.
Bahkan, dalam cerita Mahabarata, sang Yudistira dalam perjalannya menuju Kahyangan ditemani seekor anjing yang setia. Hewan bukan hanya sebagai alat kesenangan penyalur hobi atau pembajak sawah, tetapi hewan sebagai “teman yang mendukung” manusia dalam kesehariannya.
Pesan moral ini juga terdapat dalam kebudayaan agama lain semisal The Seven Sleepers.
Manusia bukan sebagai subjek yang berdiri sendiri, tetapi berdampingan dan selaras dengan seluruh ciptaan Tuhan. Perlindungan-perlindungan tentang hewan beserta alam secara turun temurun terwarisi melalui cerita folklor kedaerahan. Dunia kekinian mengenalnya dengan sebutan animal welfare.
Animal atau hewan memiliki hak sama untuk hidup dengan layak di dunia sebagaimana kodratnya. Sekali lagi, sesuai sesuai kodratnya. Bukan memanjakanya secara berlebihan hingga menjadikannya lelucon ataupun menyiksa dan mengonsumsinya dengan brutal.
Kepedulian saat Nyepi
Kembali lagi pada budaya Bali tentang rasa menyayangi dan mengasihi para hewan. Tahun ini Tumpek Kandang jatuh pada Sabtu, 17 Maret 2019. Perlu adanya nostalgia kembali tentang relevansi nilai animal welfare cita rasa Bali ini. Perlu disadari, perayaan ini bukanlah sekadar seremonial tetapi juga bagaimana sekilas ingatan untuk selaras terhadap alam menjadi kesadaran bersama.
Pada rangkaian hari raya Nyepi pekan lalu, terdapat fenomena sosial yang dituangkan dalam beragam wujud ogoh-ogoh. Adanya ogoh-ogoh Save Dog Bali, ogoh-ogoh Himsa Karma yang dipersonifikasikan bagaimana manusia menyiksa binatang demi kepuasannya, dan yang paling menarik yakni ogoh-ogoh Sog? Manu Petaka.
Ogoh-ogoh Sog? Manu Pataka buah karya STT Acarya Perkasa Banjar Blungbang, Penarungan, Mengwi, Badung mengangkat tema tentang unsur kehidupan di alam. Konsep ogoh-ogoh ini mengambarkan ketika manusia menjadi malapetaka bagi alamnya sendiri. Rakus, tamak, dan terlalu sombong karena menganggap manusia berdiri sendiri.
Manusia dapat memunahkan makhluk lain dengan semena-menanya. Mungkin di Bali isu tentang pelanggaran animal welfare lebih mengarah kepada anjing Bali. Anjing yang dibiarkan liar tak terurus hingga mengidap virus rabies dan berujung pada eliminasi massal.
Tidak semua anjing mungkin berakhir mati dengan tenang, bisa saja singgah dulu di piring para penyantap. Untuk hal ini bukan hanya anjing liar, tetapi yang terpelihara dengan baik pun bisa menjadi target jika dibiarkan berkeliaran terlalu jauh dari rumahnya.
Sementara isu di luar Bali? Beraneka! Tentang plastik yang menjadi bagian jeroan ikan. Macan dan monyet yang diburu dan dipamerkan di media sosial. Penyimpangan orang utan yang “viral”. Gajah yang berontak dan balas dendam karena rumahnya digusur dan dibakar untuk lahan pertanian. Masih dan terlalu banyak untuk dijadikan contoh. Masih dan terus terjadi hingga hari ini.
Kebenarannya, bukan hanya Bali yang memiliki filosifi tentang menjaga alam, menyayangi hewan, dan hidup selara. Hampir di seluruh pelosok Indonesia, budaya dan tradisi tentang animal welfare dapat dirujuk dan menjadi panutan. Andai manusia di Indonesia “eling” dengan akar budaya dan jati dirinya. Mungkin memang perlu pematik tentang fenomena ini. Influencer dari negara barat misalnya. Karna bangsa ini masih menjadi pengikut arus deras budaya dan tren negri orang. Bukanlah hal negatif memang karena Indonesia masih “galau” tentang karakternya.
Menuju pada bagian penutup, bukan kesimpulan positif ataupun kritik yang perlu ditekankan dalam tulisan ini. Semoga ini menjadi nostalgia dan pengingat tentang budaya Indonesia serta relevansinya pada hari ini. Indonesia tetaplah bangsa yang besar meski masih banyak hal compang camping yang membalut kesehariannya. [b]