Tiga tahun lalu PBB mengesahkan dokumen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Sustainable Development Goals (SDGs) tersebut tepatnya disahkan pada 25-27 September 2015. Pengesahan agenda bertema Transforming our world : The 2030 the Agenda for Sustainable Development itu dihadiri 193 negara anggota PBB, termasuk Indonesia.
SDGs ini merupakan kelanjutan dari ambisi global sebelumnya yaitu Tujuan Pembangunan Milenium atau Milineum Development Goals (MDGs) yang ditetapkan pada tahun 2000. Agenda utamanya adalah agar semua negara anggota PBB bekerja sama untuk memerangi kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
Dari sebelumnya 9 target MDGs yang ingin dicapai, target SDGs diperluas lagi menjadi 17. Target tersebut di antaranya adalah dunia tanpa kemiskinan, tidak ada kelaparan, kesehatan dan kesejahteraan warga, kesetaraan gender, mengurangi kesenjangan, dan kemitraan untuk mencapai tujuan. Target dan Tujuan SDGs pada intinya memiliki lima pondasi utama yakni (1) Manusia, (2) Planet, (3) Kesejahteraan, (4) Perdamaian dan (5) Kemitraan untuk mencapai tujuan mulia di tahun 2030: mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan dan kesejahteraan lingkungan.
Tiga tahun setelah pengesahan, saat ini sejumlah target SDGS masih jauh dengan apa yang diharapkan. Padahal, waktu terus berjalan. Target SDGs hanya tinggal 12 tahun utuk mencapai target pada 2030 nanti.
Salah satu penyebabnya adalah karena model pembangunan yang berorientasi perdagangan bebas (free trade). Kebijakan perdagangan ini hanya menekankan penumpukan laba di atas segalanya. Akibatnya kemudian melahirkan kesenjangan antar kelompok masyarakat kaya dan miskin. Mereka yang kaya kian kaya ketika yang miskin kian terpuruk.
Menjawab Tantangan, Mewujudkan Harapan
Berangkat dari situasi tersebut, para pelaku perdagangan berkeadilan (fair trade) seluruh dunia yang terhimpun dalam organisasi payung World Fair Trade Organitation (WFTO) sepakat meluncurkan Piagam Perdagangan Berkeadilan Internasional atau Internasional Fair Trade Charter. WFTO beranggotakan 300 organisasi di 70 negara di mana Mitra Bali adalah salah satu dari dua organisasi anggotanya di Bali.
International Fair Trade Charter menyuguhkan rangkuman 10 prinsip Fair Trade yang menjadi acuan dalam praktik nyata untuk memerangi kemiskinan dan mengurangi eksploitasi manusia maupun lingkungan, sebagaimana yang tertuang dalam tujuan SDGs. Adapun 10 prinsip tersebut adalah memerangi kemiskinan dan pemiskinan; transparansi & bertanggung jawab; berorientasi kesejahteraan; pembayaran cepat, tepat dan layak; tidak menggunakan tenaga kerja anak dan tenaga kerja paksa; tidak membedakan tenaga kerja laki-laki dan perempuan; lingkungan kerja sehat, aman dan nyaman; mengembangkan kemampuan pekerja; mempraktikkan prinsip Fair Trade; dan peduli lingkungan.
Apa yang sudah dan sedang dipraktikkan para pelaku Fair Trade hasilnya terbukti dan nyata mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Begitu pula dengan Mitra Bali sebagai salah satu fair trader yang sejak 1993 aktif mempraktikkan Fair Trade di Indonesia. Mitra Bali merupakan anggota Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) dan WFTO.
Agung Alit, Pendiri dan Direktur Mitra Bali Fair Trade mengatakan, praktik Fair Trade yang dilakukan Mitra Bali sudah terbukti mampu menjawab tantangan sekaligus mewujudkan harapan sebagaimana diinginkan secara global melalui target SDGs. Agung Alit memberikan contoh target untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan, kesetaraan gender, pelestarian lingkungan, serta membangun kemitraan.
Di Bali, menurut Alit, Mitra Bali menerapkan Fair Trade dalam bentuk pembayaran yang adil kepada perajin-perajin ketika sebagian besar perajin di Bali masih sering dieksploitasi oleh para tengkulak (middle man). Mitra Bali juga memberikan tempat untuk perajin-perajin perempuan sehingga mereka tidak hanya bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup, tetapi juga mandiri sebagai perempuan maupun ibu rumah tangga.
Dalam tradisi Bali yang sangat patriarki, Fair Trade telah terbukti mendukung perempuan-perempuan agar mandiri secara finansial dan kemudian setara dalam kehidupan ekonomi sosial.
“Dalam tradisi Bali yang sangat patriarki, Fair Trade telah terbukti mendukung perempuan-perempuan agar mandiri secara finansial dan kemudian setara dalam kehidupan ekonomi sosial. Itulah pentingnya Fair Trade untuk menjawab target SDGs ataupun masalah sosial kultural,” tegas Alit.
Contoh lain, Alit melanjutkan, adalah tidak adanya tenaga kerja anak dalam Fair Trade untuk memerangi eksploitasi anak (child labour) dan penggunaan kayu dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memastikan agar Fair Trade menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pengelolaan sampah dan limbah kerajinan juga harus jelas sebagai bagian dari komitmen pada lingkungan.
“Melalui peluncuran International Fair Trade Charter ini, kami menyampaikan pesan bahwa Fair Trade adalah alat tepat untuk mewujudkan cita-cita pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan, baik untuk kesejahteraan rakyat maupun lingkungan di mana saja. Another wonderful World is possible!” ujar Agung Alit. [b]