Berjalan kaki juga menjadi salah satu kegiatan yang (dianggap) ajaib.
Saya baru saja melihat video pejalan kaki memperingatkan para pengguna motor ketika pengendara sepeda motor itu menggunakan trotoar sebagai jalanannya. Pengguna motor itu, seperti biasa, justru marah karena diperingatkan. Sampai-sampai, pejalan kaki tersebut dihampiri dan sepertinya dipukul oleh pengguna motor itu.
Ah, apalah arti pejalan kaki yang hanya meminjam trotoar untuk berjalan kaki dari para pengguna motor yang berkuasa?
Bisa saya bilang, kejadian seperti itu bukan menjadi hal baru di Indonesia. Jalanan yang sekiranya memiliki trotoar cukup untuk menampung para pengendara motor, sering kali menjadi alternatif pilihan jalanan terutama ketika sedang macet.
Saya ini pejalan kaki atau pengendara motor sampai saya perlu berbagai dengan para pengendara motor lainnya?
Di tempat saya tinggal, berjalan kaki juga menjadi salah satu kegiatan yang (dianggap) ajaib. Waktu pertama kali datang, lokasi tempat saya tinggal masih memiliki jarak cukup dekat dengan kampus saya. Kira-kira, dari tempat saya ke kampus, saya perlu berjalan sejauh 1 kilometer.
Hal ini dianggap “ajaib” karena bagi sebagian teman-teman saya, jarak ini cukup jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki.
Tidak hanya tanggapan takjub dari beberapa tempan saya, ketika saya berjalan kaki pun saya seperti sedang memiliki pertunjukan sendiri. Orang-orang sekitar, yang biasanya nongkrong-nongkrong dalam artian yang tidak harfiah, melihat saya seperti saya adalah barang langka. Mungkin mereka pikir, “Kasian jalan kaki, mungkin tidak mampu membeli motor.”
Tentu, beberapa teman saya pun juga terkejut dengan ketidakmampuan saya ini. Menurut saya, keterkejutan itu datang karena mereka tahu betul kenyataan dan fakta di Ibukota ini, bahwa tidak terdapat fasilitas cukup memadai untuk saya bepergian di Ibukota ini. Pada akhirnya, sering kali mereka mengatakan, “Kalau ingin pergi ke suatu tempat, bareng aja.”
Nah, ini dia salah satu hal yang justru menakjubkan bagi saya. Di sini, motor adalah Dewa kedua.
Salah satu percakapan yang sulit saya lupakan adalah percakapan dengan salah satu sopir sewaan yang pada saat itu mengantar saya dan teman-teman untuk mengunjungi tempat wisata di sini. Percakapan ini bermula karena ada pengendara motor yang tiba-tiba keluar dari gang, tanpa mengurangi kecepatannya sedikit pun. Saya pun berkata, “Di sini saya sering kaget karena banyak motor yang seperti itu.”
Kemudian, bapak tersebut membalas, “Memang, Mbak. Di sini harus siap dengan hal-hal seperti itu.” Lalu, bapak itu memulai pembicaraan dasar tentang kehidupan saya di sini. Sampai pada pernyataan saya, “Iya, Pak, saya tidak bisa menyetir motor. Kalau mobil, bisa.”
Bapak itu langsung terkejut, “Aduh, ga bisa bawa motor, Mbak? Terus bagaimana dong kalau pergi ke mana-mana?” Ya, tentu saja jawab, Gojek dan Grab memang menjadi armada utama saya di sini.
“Tapi, Mbak,” bapaknya melanjutkan, “Menurut saya motor merupakan salah satu kendaraan yang paling penting. Paling pentinglah untuk Mbak bisa.”
“Oh, begitu, Pak?” Saya bertanya agak heran awalnya, tetapi saya langsung memiliki pikiran, mungkin Bapak ini akan memberikan sudut pandang menarik yang belum pernah saya dengar.
“Iya, Mbak. Soalnya, di jalan sudah semakin banyak mobil, jadi motor lebih efektif. Apalagi kalau ada keadaan darurat.”
Ketika mendengar jawaban tersebut, saya hampir saja tertawa terlalu keras, untungnya berhasil saya tahan. Saya hanya merespon sekenanya, “Oh, iya ya, Pak.”
Salah satu kesulitan di sini, bukan datang dari food shock, perbedaan agama, atau hal-hal dasar lainnya, tetapi melainkan datang dari ketidakmampuan mengendarai motor. Apabila ingin mendatangi suatu acara yang memiliki jarak cukup jauh, saya perlu memperhitungkan kemungkinan saya untuk bisa kembali ke tempat saya. Sebab tidak jarang dengan jarak yang jauh tersebut, Gojek dan Grab tidak tersedia.
Pada akhirnya, saya menjadi melakukan perbandingan di antara kota satu dan kota lainnya yang pernah saya tinggali. Saya mengerti bahwa setiap kota–setiap tempat– memiliki kebiasaan dan/atau karakteristiknya masing-masing. Namun, melihat konsep/stigma yang telah berkembang tentang motor di sini, membuat saya cukup tersenyum miris.
Konsep yang saya maksud di sini adalah konsep “motor adalah solusi terbaik untuk masalah transportasi di sini”. Konsep ini kemudian bisa saja berkembang hingga “motor adalah satu-satunya kendaraan yang cocok dengan karakteristik Kota Denpasar”.
Mengapa saya begitu tidak setuju dengan konsep ini?
Saya bukannya ahli trasnportasi atau pengamat ahli perkotaan. Hanya saja saya tidak melihat motor adalah solusi utama nan efektif, tidak saja untuk Denpasar, tetapi juga berbagai kota lainnya. Kemacetan bukan lagi menjadi situasi yang perlu disinggung sebagai bahan perhatian, tetapi, menurut saya, memang perlu menjadi perhatian utama dalam pembahasan ini.
Bayangkan apabila terdapat transportasi, misalnya bus, yang sekali jalan dapat mengangkut beberapa orang sekaligus. Tidakkah hal ini bisa mengurangi kemacetan? Saya kira, apabila dilihat secara logis, transportasi bus tersebut memang bisa mengurangi kemacetan.
Namun, dari situ kemudian muncul “masalah” lainnya, fasilitas dan kualitas bus tidaklah memadai untuk dijadikan alat transportasi. Bus yang tidak tepat waktu dan selalu ngetem bisa jadi alasan utama mengapa bus tidak laku di Denpasar. Hal ini akhirnya membuat pilihan transportasi kembali hanya pada satu pilihan: motor.
Ah, mungkin pikiran ini sudah terlalu jauh.
Saya hanya berharap Denpasar tidak ikut-ikutan menjadi kota dengan para pengendara motor yang merasa perlu menggunakan trotoar sebagai alternatif jalan yang efektif.
Bahkan bule-bule pun telah mahir mengendarai motor. [b]