MEN Coblong merasa girang, riang.
Bertumpuk perayaan keagamaan yang jatuh bulan Juni ini membuat liku-laku hidupnya menjadi terasa lebih “lurus” dan sedikit “mulus”. Apalagi di bulan Juni ini “umat” Indonesia juga akan memiliki sebuah perayaan “Pilkada”.
Semoga “perayaan” Pilkada seramah perayaan beragam agama yang numplek jatuh bulan Juni.
Membayangkan Lebaran yang kalau ditelisik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata lebaran diartikan sebagai hari raya umat Islam yang jatuh pada 1 Syawal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Pendapat berbeda juga terdengar lebih menarik dan erotik bagi Men Coblong. Sebagian orang Jawa mempunyai pendapat berbeda mengenai kata lebaran. Kata lebaran berasal dari bahasa Jawa yaitu kata “wis bar” yang berarti sudah selesai. Sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang dimaksud. “bar” sendiri adalah bentuk pendek dari kata “lebar” dalam bahasa jawa yang artinya selesai.
Saat ini, Pusat Bahasa hanya bisa memastikan bahwa kata “lebaran” merupakan sebuah kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata, yaitu le + ba + ran.
Sungguh sebuah kata pun bisa memiliki beragam tafsir. Tafsir-tafsir yang indah, tentu masih bisa diperdebatkan tentu dengan cara-cara yang lebih masuk akal, logis, dan tidak nyerempet ke sana ke mari sehingga memunculkan kebenaran “tunggal” ala sebuah suku, agama, atau kelompok tertentu.
Men Coblong sendiri lebih menyukai kata “Lebaran” karena kesannya lebih Indonesia. Lebih merakyat dan lebih mistis mendarat di hati, pikiran dan perasaan Men Coblong di tengah “amuk” beragam argumentasi tentang mempertanyakan kembali menjadi “umat” Indonesia.
Men Coblong teringat ketika masih kanak-kanak. Tumbuh dan besar di sebuah lingkungan yang tidak pernah mengajarinya arti “berbeda”. Lingkungan yang dulu jika orang menyebut daerah “Cijantung” tentu pikiran orang-orang akan identik dengan beragam hal-hal berbau “kekerasan”. Kesannya “seram” karena sebagai seorang anak perempuan yang tumbuh-besar di lingkungan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), kemudian lebih dikenal sebagai Kopassus, Men coblong tumbuh sederhana.
Ketika bulan puasa, Men coblong juga ikut berpuasa, sekali pun tidak harus sampai tuntas. Rasanya ikut girang jika saat berbuka tiba, Men coblong juga ikut berbuka. Minimal ikut menikmati kesegaran buah kurma yang rasanya manis dan lucu bagi Men Coblong. Apalagi kalau bisa ikut berbuka puasa bersama dengan keluarga muslim.
Nikmatnya kolak kolang-kaling masih terasa sampai hari ini mengapung di palung tenggorokan Men Coblong. Menimbulkan muncratan-muncratan kenangan yang begitu indah mengalir deras ke dalam hati dan pikiran Men Coblong. Ibarat hujan deras yang jatuh mengguyur seluruh tanaman yang menjelang mati di dalam tubuh Men Coblong.
Kenangan Lebaran semasa kanak-kanak itu menimbulkan juga gelombang getir yang menghantam pikiran dan tubuh Men Coblong masa kini. Dulu, ketika kanak-kanak Men coblong tidak pernah merasa ada “kasta-kasta” dalam tubuh anak-anak yang tumbuh di lingkungan militer di Jakarta Timur itu, sekali pun Men Coblong tahu, untuk masuk ke lingkungan perumahan di Cijantung III, harus melewati beragam pos-pos keamanan.
Waktu SD Men Coblong bersama keluarga tinggal di Jalan Pualaka, nama-nama jalan di komplek perumahan itu mengambil nama jalan yang identik dengan daerah di Timor-Timur.
Tidak ada sekat, tidak ada hal-hal yang mengerat anak-anak masa itu untuk untuk merasa berbeda satu sama lain. Bahkan urusan jender juga tidak diingat anak-anak masa itu. Kenapa? Karena sebagai anak tentara, anak-anak di lingkungan Men Coblong juga biasa bermain perang-perangan. Biasanya siapa pun bisa memimpin sebagai komandan pasukan.
Biasanya jika komandan pasukan itu anak lelaki, anak-anak lain memetik daun nangka yang dijahit dengan lidi menyerupai mahkota, yang menunjukkan anak lelaki itu berbeda dari anak lain, karena anak-anak lain sepakat: anak yang dipilih jadi komandan pasukan harus berbeda. Perbedaan itu dari “mahkota” daun nangka yang bertengger di atas kepala.
Jika yang jadi komandan pasukan anak perempuan, maka anak yang lain akan membuat rangkaian mahkota dari bunga-bunga rumput.
Untuk senjata, biasanya anak-anak itu membuatnya dari pelepah daun pisang. Pokoknya semua ikut berperang dan berang melawan kelompok berbeda. Setelah main perang-perangan usai, biasanya pasukan yang tadinya berperang kembali rukun dan mulailah petualangan baru, mencari buah-buahan yang bisa mereka makan.
Anak-anak itu sering naik ke pohon jambu klutuk, jambu air, pohon mangga, dan pohon rambutan yang banyak tumbuh di sekitar area di Cijantung. Tidak ada batas lelaki dan perempuan. Anak perempuan pun bebas bergelantungan seperti kera di atas pohon.
Masalah baru muncul, ketika para orang tua menganggap anak perempuan tidak pantas bergelantungan di pohon. Anak perempuan tidak pantas bermain perang-perangan. Anak perempuan cocoknya main boneka dan main masak-masakan.
Tak ada yang menatuhi aturan itu. Ketika itu anak-anak itu tumbuh-besar dengan cara mereka. Yang satu berpuasa yang lain juga ikut berpuasa. Kesadaran itu muncul karena “cinta-kasih ” yang menetes tanpa dipaksakan, juga tanpa teori rumit tentang “Indonesia”. Bahkan ketika yang muslim ikut merayakan hari raya Waisak, dan ikut makan di rumah teman beragama Budha, tidak ada larangan dari orang tua. Tidak ada pertanyaan apakah menu makanan berupa ayam guling itu dipotong oleh orang seiman?
Ah, masa kecil yang indah. Tak ada kecurigaan. Tak ada “kasta-kasta” yang mengunci mulut, hati, pikiran dan perasaan kanak-kanak ketika itu. Perayaan keagamaan adalah “pesta” hati untuk mencintai satu sama lain.
Selamat Lebaran, mohon maaf lahir dan batin. Semoga hati dan pikiran kita dibersihkan untuk kembali “sadar” menjadi manusia “Indonesia” dengan beragam bentuknya. Yang satu sama lain tidak sama! [b]