Embun perlahan menetes di permukaan kaca mobil.
Sembari menikmati perjalanan, mata tertuju pada hamparan bunga gemitir di dataran tinggi Kintamani. Sontak rombongan kami membuka jendela, kiri kanan depan belakang. Sungguh pagi yang menyenangkan.
Hari itu kami meninggalkan Denpasar menuju Bali utara. Berniat mencari inspirasi, barang-barang tradisional pengganti plastik. Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Rumah Intaran, Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Rabu (28/2).
Tim PlastikDetox Bali disambut oleh Bora, Ponpon dan Kuda, penjaga gerbang di garda depan. Mereka merupakan anjing-anjing yang dipelihara di Rumah Intaran. Tak lama kemudian, datang Gede Kresna yang seakan menghipnotis para anjing. Mereka mulai kalem, kami pun ke dalam menuju lokasi workshop.
Adapun rombongan yang ikut saya saat itu yaitu Wulan, Saras, Deasy dan Wahyu. Mereka relawan PlastikDetox yang senang diajak berkegiatan lingkungan. Langkah kami tertuju pada tangga kayu yang menghubungkan halaman depan ke tempat pembuatan kerajinan tangan. Ada tiga orang yang duduk menyebit bambu, seorang nenek berkebaya hilir mudik menyiapkan jajanan dan lainnya sibuk mempersiapkan tungku api.
Tiba-tiba rekan saya berteriak. “Wah sudah lama banget aku gak lihat ini,” ungkap Wulan Romianingsih sumringah. Seketika ia melangkahkan kakinya menuju perapian. Maklum saja, terakhir ia memasak pakai tungku api bersama neneknya 12 tahun lalu.
Menurut Gede Kresna, pemilik Rumah Intaran, tungku api yang dipakai memasak itu ternyata mengandung nilai kehidupan. Ia mengatakan ketika memasak menggunakan tungku api, maka abu sisa perapian bisa dipakai untuk menyuburkan tanah. Dapur juga dipercaya sebagai tempat penetral energi.
“Dapur itu tempat penyembuhan terbaik. Kalau ibu-ibu itu memasak di dapur dengan posisi jongkok dan bangun, maka itu sebagai yoga. Ini sangat bermanfaat terutama ibu hamil,” ungkapnya.
Daun Intaran
Gede Kresna lalu mengarahkan kami menempati kursi panjang dengan meja kayu. Ia meminta rekannya memetik daun intaran yang tumbuh tinggi di halaman rumahnya. “Daun Intaran ini banyak khasiatnya, orang di pesisir biasa menggunakan daun ini untuk memohon air suci,” ungkapnya. Selain religi, daun intaran juga dikenal dunia sebagai pengganti pasta gigi. Begitupula untuk kesehatan dan kecantikan.
Setelah itu, kami diarahkan untuk membuat rajutan bambu untuk botol. Hmm, jujur saja, caranya saya lupa. Setengah jam berlalu, saya menyerah. Mata saya tertuju pada hasil kerajinan tangan lainnya yang digantung di halaman pondok workshop. Saya memilih memotret dan bertanya-tanya kepada pengrajin di sana tentang produk mereka.
Jenis kerajinan tangan yang dipamerkan yaitu genjreng, paluk, tampung, gelas bambu, keranjang, tikar, tas, sedotan bambu dan berbagi macam kerajinan tangan lainnya. Ini bisa dipakai sebagai produk ramah lingkungan pengganti berbagai macam produk plastik yang dipakai sehari-hari. Bentuknya unik-unik, bahkan ada yang tak bernama karena disesuaikan dengan kreasi mereka.
Menurut Gede Kresna, saat kita membuat produk dari bahan alami, maka pengrajin menjaga sumber daya alam, dengan itu alam akan menjaga kita. “Misalnya kita bikin gula merah dari pohon aren, maka kita juga menjaga pohon aren untuk menghindari tanah longsor. Pohon aren kan hidup di tebing-tebing,” tuturnya.
Ia juga menyampaikan bahwa kerajinan tangan yang dibuat itu disesuaikan dengan sumber daya alam di daerah setempat. “Ya kita harus melihat potensi lokal. Itu demi menjaga keberlangsungan sumber daya alam di sana,” ungkapnya.
Dua jam kemudian, Wulan sahabat saya berhasil merajut bambu yang menghiasi botol itu. Selamat ya, Lan. Rajutan bambu yang membalut botol itu biasanya dibeli oleh penggiat usaha oleh-oleh. Pada saat kami datang, itu bertepatan dengan hari jadi Rumah Intaran yang ke-6. Selain kami, juga banyak rombongan lain yang datang mengikuti workshop itu.
Mengolah Makanan Tradisional
Matahari berada di atas ubun-ubun, kami beristirahat sambil minum santai di meja kayu. Wah, ayam bumbu siap dipanggang tuh! Jujur saja, perut kami lapar. Oh ya, di sana kami disuguhkan minuman asam dan segar. Juga jajanan pasar yang dibungkus daun pisang dengan apik. Tentu saja, di sana tak ada kemasan plastik.
Kami disuguhkan makanan tradisional yang bernilai gizi tinggi. Kenapa? Ya, mereka menyajikan nasi beras merah, sayur urab, ikan, ayam panggang dan telur ayam kampung, tempe, perkedel kentang dan jagung. Semua itu diolah dan dimasak menggunakan cara dan bahan lokal, minyak kelapa bukan sawit dan tentu saja tanpa penyedap rasa tambahan.
Gede Kresna mempersilahkan kami makan duluan karena kami harus segera pulang. Kami pun mengambil ingka beralaskan daun pisang lalu mulai mengambil posisi berbaris. Yummy! Kami melahapnya dengan nikmat. Setelah itu kami pamitan pulang. SMP banget nih alias Setelah Makan Pulang.
Gede Kresna berpesan bahwa untuk hidup ramah lingkungan, maka harus fokus ke diri sendiri dulu, mulai dari membentuk hal-hal sederhana dari desa untuk Indonesia. “Kita mulai mengajak orang, bukan memberitahu orang. Karena ketika kita sudah melakukan, maka mereka mulai mengikuti,” imbuhnya.
Kemudian pertanyaan muncul, bagaimana konsep ini diterapkan ke masyarakat urban? Gede Kresna mengatakan ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu ruang, sisi dan waktu. “Kita bisa memposisikan ini sesuai dengan keinginan. Semuanya balik ke diri masing-masing,” jelasnya singkat.
Pelajaran yang sangat berharga ketika kita bisa menginjakkan kaki di Rumah Intaran. Menjalani hidup ramah lingkungan bisa disesuaikan dengan kemampuan. Kita perlu belajar tentang masa lalu sebagai bahan pelajaran di masa depan.
Sayangnya, kami harus segera pulang karena hari itu bertepatan dengan upacara agama. Namun, karena dalam perjalanan kami melihat banyak pohon durian, maka kami berhenti sejenak membeli dan menikmati durian di salah satu warung pinggiran. Wah asiknya bertamasya di desa! [b]
Reuse/reduce/recycle + work of art = wealth. Tradisi tempo doeloe + nostalgia = move on. All the best!6