MEN COBLONG menarik napasnya dalam-dalam.
Ketika hendak berangkat ke kantor dan membuka pintu garasinya, mobil Men Coblong tidak bisa keluar. Tetangga di depan rumah memarkir mobil di depan garasi rumahnya. Otomatis mobil Men Coblong pun tidak bisa keluar.
Belakangan ini banyak sekali orang-orang aneh yang benar-benar tidak memiliki hati. Men Coblong tidak habis pikir, kok bisa beli mobil tidak membuat garasi di dalam rumah sehingga seluruh kendaraan harus diparkir di pinggir jalan. Jalan di perumahan kan bukan untuk dia saja, tetapi untuk seluruh warga.
Masak harus ditegur dulu? Masak harus dibuatkan aturan dulu yang harus bekerja sama dengan dealer mobil. Mungkin, kira-kira begini bunyi aturan itu, “… dilarang membeli mobil-motor, jika tidak memiliki garasi di rumah. Anda harus menyiapkan garasi mobil-motor Anda sertakan dengan bukti foto garasi Anda. Bukti bisa dikirim via WA, Line, FB. Jika tidak ada bukti gambar garasi Anda tidak bisa membeli kendaraan!”
Andaikata, andaika itu bisa terjadi tentu hidup di perumahan yang cukup dilaluli dua mobil akan terasa indah. Jika masuk ke rumah masing-masing kita tidak harus turun dulu, lalu mengetuk pintu rumah tetangga untuk menyingkirkan kendaraan mereka sepersekian menit agar kendaraan lainnya bisa masuk dengan nyaman.
“Mungkin tetangga di perumahanmu ingin pamer bahwa sekarang bisnisnya sudah maju. Tetanggamu itu ingin diapresiasi. Minimal dia ingin dianggap “ada”. Eksis gitu lo, kalau pinjam kata anak muda.
Eh, salah. Orang-orang tua yang sudah eksis juga sekarang suka eksis, eh salah, p a m e r untuk menunjukkan mereka ada. Minimal kehadiran mereka berbedalah dengan orang lain.”
Men Coblong terdiam? Eksis? Ingin dilihat? Pamer untuk eksis?
Jadi teringat petinggi negeri ini yang muncul dengan gayanya yang bak model dengan beragam mobil mewah, dan hidupnya yang seolah tidak pernah kekurangan. Lihat saja merek-merek mobilnya: Bentley, Hummer, Land Rover, Mercedes, dan Toyota Alphard. Total nilai harta kekayaan petinggi itu termasuk nilai lima mobil itu disebutkan Rp 24,1 miliar ditambah US$ 20 ribu.
Dia juga mengaku dengan santai bahwa mobil mewah itu kerap digunakannya bertugas ke Senayan. “Saya pakai karena saya ingin tampil apa adanya. Saya kan pengusaha sebelum di DPR. Gaya perlente saya sebagai pengusaha masih terbawa,” kata dia dengan santai. “Kalau memang sudah kaya terlebih dahulu, apa harus pura-pura miskin?”
Tidak hanya soal mobil mewah, pekan lalu, topik soal jet pribadi juga turut ditanyakan kepada petinggi itu yang juga biasa disapa Bamsoet. “Sebelumnya saya kan orang bebas, sebebas-bebasnya-lah. Gua punya ini, ya, gua tampilin aja-lah. Kan enggak perlu jadi orang lain,” kata Bamsoet.
“Kenapa kamu harus marah dengan ulah tetangga yang hanya memiliki mobil bekas tetapi ingin eksis? Belajarlah sedikit toleransi, Men Coblong,” seorang teman di kantor berkata serius ketika Men Coblong mengeluh soal-soal keseharian yang tentu tidak penting.
“Hari ini zamannya pamer. Kalau tidak pamer, kamu tidak akan bisa eksis. Atau, kalau ingin kalimat lebih sederhana, dilirik oranglah. Sebelum akhirnya dilihat orang. Lalu meningkat menjadi diikuti orang. Siapa tahu tetanggamu itu terinspirasi dengan petinggi negeri kita itu.”
“Kamu bayangin saja. Petinggi negeri yang pasti akan dilihat saja ingin lebih kelihatan lagi. Minimal ingin menunjukkan bahwa dia berhasil hidup sejahtera dan gemah ripah di tengah kesibukannya yang berjibun.” Teman Men Coblong berkata serius sambil memasukkan satu sendok nasi ke mulutnya.
Men Coblong ikut membuka kotak makan siangnya: nasi putih sekepal, rebusan brokoli, tempe goreng, tahu goreng dan sambal kecap.
“Kamu mau pamer apa di Instagram? Apanya yang indah di IG-mu? Menu masakan cuma tahu-tempe? Rebusan daun-daun. Tidak “now”, tidak kekinian. Makanya followersmu cuma 441. Bandingkan dengan followers petinggi itu, hampir 24 ribu.”
Men Coblong terdiam.
Ya, ya. Mungkin Men Coblong harus mulai berpikir ulang untuk menganalisis ulah tetangga di depan rumah yang hobinya memanaskan mobil dan sering sekali mencuci mobil di pinggir jalan, sehingga membuat para tetangga sebal, mau menegur juga tidak enak hati.
Bukannya Men Coblong sok kaya, masak harus masuk — keluar harus mengetuk pintu tetangga menyuruhnya meminggirkan sebentar mobilnya itu?
Orang bilang tahun 2018 tahun politik, Men Coblong bilang tahun miris, karena aslinya rakyat tidak memiliki “guru” yang wajib ditiru dan digugu dan menjadi contoh untuk mengelola hidup. Minimal yang memiliki hati dan rasa. Bukankah dimensi mengelola hidup itu harus memiliki olah hati, olah pikir, olah rasa dan olah raga.
Men Coblong terdiam. Memasukkan satu suap brokoli ke mulutnya dengan cepat. Minimal bisa menenangkan perutnya. [b]
Di Jepang orang kaya raya selalu hidup sesederhana mungkin (minimal).
Jadi hati tenang, tak dirampok orang atau anak istri diculik, rumah jadi target kriminal.
Di Indonesia kita lebih menjunjung tinggi gengsi dari pada isi.
Jadi pegawai negeri lebih keren walau income terbatas dari pada tukang bakso yang uangnya tak ada batas.
Makanya kalau kaya, tinggi posisi, banyak koneksi, terkenal, perlu dipamerkan.
Agar semua tahu siapa dia dan bagaimana hebatnya beliau.
Dan semua ini memberi kepuasan yang tak terbayang nikmatnya.
Mengapa begitu?
Hanya mereka yang tahu!
Hai Men Coblong salam kenal ya, saya Wayan dari Denpasar 🙂