Banyak cara melestarikan lingkungan.
Tidak hanya dengan kegiatan langsung di alam yang berbau penanaman pohon, reboisasi, dan sejenisnya. Pernahkah Anda menyangka bahwa lingkungan juga bisa dilestarikan melalui bahasa yang kita gunakan dalam berkomunikasi?
Misi inilah yang sedang dijalankan oleh penggagas program Green Language Bali.
Apa itu Green Language Bali ?
I Kadek Sanjaya, koordinator pelaksana program ini menjelaskan bahwa Green Language Bali merupakan program pengajaran bahasa yang tercetus dari ide I Kadek Purnawan. Alumni Program Studi (Prodi) Sastra Inggris Universitas Udayana tersebut kini telah menamatkan gelar S2 di salah satu Universitas di Amerika Serikat.
“Saat ini masih ngajar Bahasa Inggris aja. Maunya sih Bahasa Bali dan Indonesia juga, tapi karena masih ada beberapa kendala, jadi kami mengajar Bahasa Inggris dulu. Sebab bahasa Inggris merupakan bahasa global,” jelas Sanjaya.
Berbeda dengan bimbel pada umunya, Green Language Bali hadir dengan membawa misi sosial di dalamnya. Kata Green itu identik dengan kelestarian lingkungan. Kita sebagai generasi muda, punya kewajiban untuk melestarikannya. Kali ini dengan literasi bahasa.
“Di Green Language Bali, kami mengajarkan bahasa Inggris yang berkaitan juga dengan lingkungan, misalnya mengenalkan kosa kata save water, conservation, dan lainnya,” tambah Sanjaya.
Pelaksanaan perdana program Green Language Bali berlangsung di Banjar Batu, Mengwi, tempat asal I Kadek Purnawan. Tak hanya Sanjaya, beberapa siswa SMA yang belajar di Kul Kul Connection juga bergabung untuk mengajar di Green Language Bali.
Dengan dibekali sarana belajar berupa materi, buku, dan alat tulis tanpa dipungut biaya, sebanyak 60 peserta yang terdiri dari siswa sekolah dasar aktif mengikuti pelajaran tiap minggunya.
Kelas pertama dimulai pukul 09.00 – 10.30 WITA untuk kelas 1, 2, dan 3, lalu pukul 10.30 – 12.00 WITA untuk kelas 4, 5, dan 6.
Program ini berlangsung selama 1 semester. Setelah 1 semester habis, Green Language Bali akan bergerak lagi dan melaksanakan pengajaran di daerah lain. Namun tidak menutup kemungkinan program di Banjar Batu akan diteruskan pula, sebab di sana adalah awal mulanya.
Meskipun kegiatan berlangsung di bale banjar, hal itu tidak menyurutkan semangat belajar anak-anak tersebut. Antusiasmenya sangat tinggi dan mereka pun aktif bertanya. Tidak jauh berbeda dengan sistem belajar di sekolah, program ini juga mengadakan midterm test yang dikemas dalam kuis yang menyenangkan.
Selama kurang lebih tiga bulan dari awal terlaksananya, program ini telah menunjukkan kemajuan yang dilihat dari meningkatnya kemampuan peserta belajar dalam bidang bahasa Inggris.
Tidak hanya pembelajaran secara langsung melalui tatap muka, Green Language Bali juga melebarkan jaringannya melalui fanpage, website, dan juga instagram.
Menariknya, pembelajaran melalui fanpage dilakukan dengan memposting foto dengan desain yang unik dengan menampilkan kosa kata dalam 3 bahasa (Inggris, Indonesia, dan Bali).
“Selain untuk konservasi lingkungan melalui literasi bahasa, juga untuk konservasi bahasa Bali. Karena kami pikir bahasa Bali semakin punah. Dengan anak TK sudah bisa bahasa Inggris dan terbiasa berbahasa Indonesisa. Mungkin karena pengaruh bawa gadget juga. Jadi, kasian bahasa Bali,” ujar Sanjaya.
Pengajaran bahasa yang ramah lingkungan ini diharapkan dapat membantu generasi muda dalam melestarikan bahasa di tengah kemajuan zaman dan tuntutan modernitas seperti sekarang. Belajar bahasa lain dan berkembang ke arah kemajuan tentu bukan hal yang salah, namun Bahasa Bali sebagai bahasa ibu jangan sampai punah. [b]