Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla nyaris melupakan etika demokrasi.
Mereka telah berhasil menggalang kekuatan di gedung dewan. Pertemuan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto menunjukan partai ini tak lagi menjadi oposan sejati.
Lobi-lobi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun sudah berbuah jelas dengan disingkirkannya Fahri Hamzah dari PKS. Partai ini pun menjadi oposan setengah hati atau oposan yang tidak berisik lagi.
Dengan begitu kuatnya partai pendukung pemerintahan di parlemen, apapun kehendak pemerintah akan berjalan mulus. Ini sudah terbukti sejak penetapan Kepala Polri (Kapolri). Dalam politik, kompromi adalah seninya. Dan kompromi dengan Partai Golkar sepertinya sudah jelas. Kisruh reda dan hak kursi ketua dewan tidak diganggu.
Tentu saja tidak bisa ditunjukkan bukti empiris ataupun hasil dari lembaga survei tentang persepsi masyarakat terhadap kembalinya seorang Setya Novanto pada kursi ketua dewan yang terhormat. Sebab, tidak ada pihak yang saat ini memiliki kepentingan terhadap jatah partai berlambang beringin tersebut.
Ketika parlemen tidak lagi memiliki oposan maka pilihannya hanya satu. Rakyat harus sejahtera dan nyaman. Kalau syarat itu gagal, maka rakyatlah yang akan menjadi oposisi. Sebuah peta pertarungan politik tidak lagi sehat. Karena jalanan akan menjadi tempat pelampiasan aspirasi. Dan sering memaksa alat pengamanan Negara mengayunkan popor senjata kepada rakyat, yang seharusnya mereka lindungi.
Skenario di atas adalah konsekuensi dari penerapan demokrasi seperti saat ini. Demokrasi liberal. Demokrasi dengan suara mayoritas. Rivalitas yang menuntut menang kalah. Demokrasi yang tercerabut dari akar budaya bangsa Indonesia.
Demokrasi bangsa ini jelas, demokrasi yang tertulis pada sila keempat Pancasila. Sebuah demokrasi yang mengedepankan musyawarah. Demokrasi tanpa ada yang harus tertunduk karena kalah. Para pendiri Negara ini menyadari bahwa demokrasi langsung tidaklah siap diterapkan di tengah jutaan rakyat yang belum sama tingkat hidup dan tingkat pendidikannya.
Demokrasi langsung ini telah melahirkan politik transaksional. Petualang politik memanfaatkan celah ini dengan sempurna. Mereka berhasil menghimpun kekuatan mayoritas untuk menguasai parlemen hingga pemerintahan.
Bermodalkan hitungan ekonomi mereka berani membayar suara rakyat agar bisa menempatkan orang-orangnya di semua lini yang mereka perlukan. Sehingga modal yang mereka keluarkan dapat segera kembali berlipat dengan keuntungannya.
Oposisi itu telah lahir di Bali!
Lihat saja bagaimana rakyat Bali dipaksa menjadi oposisi bagi penguasa. Penguasa itu kumpulan antara legislator yang buruk dan eksekutif yang juga buruk. Bagaimana proses lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 51 tahun 2014 menunjukan kepada rakyat Bali sebuah konspirasi pemodal dengan memainkan orang-orang yang sudah mereka susupkan melalui sistem demokrasi langsung ini untuk memuluskan rencana investasi mereka.
Niat pemerintah untuk melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan dan kenyamanan rakyat telah berganti menjadi niat membuka iklim yang ramah investasi dengan mengorbankan perasaan rakyatnya sendiri. Semua dengan dalih pertumbuhan lapangan kerja dan laju pertumbuhan ekonomi untuk kemajuan walaupun dengan mengorbankan rakyat yang mendiami wilayah sekitar rencana pembangunan itu.
Rencana reklamasi yang sudah jelas mendapatkan perlawanan rakyat di sepanjang wilayah yang akan direklamasi. Bahkan penolakan itu semakin meluas karena melukai rasa kesucian yang dimiliki dan dipelihara oleh masyarakat Bali. Kesucian terhadap muara sungai dan muntig yang telah mereka warisi sedari dulu.
Beredarnya undangan Rencana Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi IV DPR RI pada 28 November 2016 dengan agenda paparan mengenai program dan rencana kerja reklamasi Teluk Benoa maka sangat kecewalah hati rakyat Bali. Karena beredar pula dokumen yang menjadi materi acara tersebut.
Ada beberapa materi yang cukup meresahkan rakyat Bali.
Pertama, adanya perjanjian kerja sama PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) dengan sembilan desa adat di sekitar teluk tertanggal 28 November 2014. Padahal fakta terbaru di lapangan ada 40 desa adat yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa dengan kedok revitalisasi tersebut.
Kedua, adanya nota kesepahaman dengan sembilan kabupaten kota untuk penyerapan calon tenaga kerja pada proyek revitalisasi Teluk Benoa. Nota kesepahaman yang katanya ditandatangani pada 23 September 2016. Padahal Bupati Badung dan Walikota Denpasar yang terpilih dalam kampanyenya jelas menyatakan menolak reklamasi Teluk Benoa.
Kalau etika politik sudah ditinggalkan, maka hanya tersisa badut-badut politik! Pilihannya menjadi kembali ke jalanan. Seperti lirik lagu Bongkar, ”Di jalanan, kami sandarkan cita-cita. Karena di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya….”
Mengakhiri tulisan kekecewaan ini, saya hanya bisa berkata jangan sampai Jokowi-JK yang menang telak di Bali harus mengalami kekalahannya, juga, mulai dari Bali. Semoga persepsi saya akan ucapan beliau bahwa jangan sampai pariwisata merusak Bali dalam syukuran kemenangannya di Bali Agustus dua tahun lalu adalah dengan membatalkan reklamasi teluk Benoa.
Semoga. [b]