Saya menyukai malam itu.
Pada Minggu, 30 Juli 2017 di malam yang membuat perih mata minus dan silinder saya karena temaramnya Bentara Budaya Bali. Hampir pukul 20.00 WITA.
Pemain Teater Kalangan makin bikin pekat karena berpakaian hitam-hitam. Pembawa cahaya lampu mondar mandir menyinari tubuh mereka. Puisi “Membaca Pagi” merasuki malam.
Lapis demi lapis suara anak-anak Kalangan ini menyamankan mata saya. Merehatkannya karena saya memilih menyiagakan telinga untuk 14 baris puisi dari Ni Luh Putu Wulan Dewi Saraswati, perempuan 23 tahun ini.
Kujumpai kau saat pagi merahasiakan rindunya
Di sudut kamar kita saling bertukar cerita
Tentang siapa yang paling setia
…….
Teater Kalangan ini sungguh berenergi merespon Membaca Pagi. Mereka menghormati semua benda yang ada di taman Bentara Budaya tanpa property tambahan. Berlari memeluk pohon-pohon, menyapu dahannya. Mendekap jendela-jendela kaca. Berjingkat di lantai tanah. Berlari mengejar pagi.
Tapi pagi tak akan hadir secepat itu. Api dari puisi-puisi Kadek Sonia Piscayanti menjilat-jilat malam. Api yang bergeming saja, tapi membakar habis mereka yang merasa pernah menyambak rambut perempuan untuk menunjukkan kekuasaaanya. Mereka yang menginginkan perempuan tak bersuara. Atau melenyapkan teriakannya.
Api di sini bukan sekadar kemarahan. Ia adalah elemen penting dalam daur hidup semesta. Api yang menghangatkan, mematangkan masakan, dan melunakkan badan kasar jadi jiwa-jiwa.
If not because of this face
He won’t marry me
If not because of this face I wouldn’t be “we”
Now I don’t need a face
To please you
So I burn it
To know whether or not you still love me
Without my face
I know that it hurts you
But it hurts me even more
To have no face
And no love
And not even a single piece of ‘fire’ within
(puisi berjudul Failed Face)
Tumpek Landep, Gayatri Mantram, berpadu dengan lidah api biru. Api yang paling dinanti agar masakan cepat terhidang. Tak bikin pantat panci gosong.
Semoga kepalamu tak gosong membaca ini. Begini 9 baris pertamanya.
If freedom is free
I will write freely
I will write a poem about Balinese women
A woman who knows prison better than prisoners
A woman who hangs herself and fail
A woman who cries everyday and stays strong
A woman who gets a blame and remains calm
A woman who raise family and get black magic
A woman who does everything and gets nothing
(puisi berjudul No Turning Back)
Sonia, dalam diskusi peluncuran bukunya menyebut usia 33 tahun ini adalah saat yang tepat menerbitkan buku kompilasi puisi sendiri dan dalam bahasa Inggris. “Emang gue banget, tak mungkin akan dibandingkan dengan Ole. Karena selalu akan ada yang membandingkan,” ia tertawa. Adnyana Ole adalah suaminya, wartawan dan penyair. Karena buku puisinya ini dalam bahasa Inggris maka Ole menurutnya nggak bisa masuk.
Dosen jurusan Sastra Inggris di Undiksha ini merasa lebih nyaman menulis puisi terutama Burning Hair ini dalam bahasa Inggris karena kata-kata yang diinginkan jadi lebih lugas dan irit. Menulis Cerpen yang lebih panjang dan naratif, barulah ia merasa mengalir dalam bahasa Indonesia.
Selain refleksi dalam hidup, buku ini juga kado untuk diri sendiri. “Gak dikasi kado Ole, bikin sendiri,” serunya girang.
Buku ini juga untuk mereka yang tak berani bersuara. “Saya bukan malaikat, mereka perlu didengar. My hair.. my hair, rambut tercerabut akarnya. Ini kisah nyata seorang laki menyeret istrinya di depan banyak orang, dan warga menyalahkan si perempuan,” tutur ibu dengan dua anak ini tentang puisi Burning Hair.
Saya pernah berharap mempublikasikan kembali artikelnya, energi yang sama seperti Burning Hair ini, yang dihapus karena protes warganet. Pembaca ini tidak senang dengan isinya. Sonia memilih mengalah dengan menyabut karyanya dari web Tatkala.co, media online yang dibuat Ole.
Sementara buku puisi Wulan bak air, yang tenang kadang bergejolak. Mengalir ke pancuran-pancuran kenangan dan mimpinya. Berakhir di kolam puitik berjudul Seribu Pagi Secangkir Cinta ini. “Sangat sederhana, sebuah perjalanan saya,” kata mantan mahasiswa Undiksha dan kini S2 di Unud. Ia misalnya mengenang laki-laki yang kadang bikin kesal, kadang bikin kangen.
Virginia Helzainka berjudul Cocktail, Waves and Archer. Suara-suara perlawanan menjejak padat bak tanah. Seperti perbicangan, yang kadang serius campur satir. “Kebanyakan soal hubungan anak dan ibu,” urainya. Kalau ibunya membaca karyanya ia bisa dijewer.
Gaya puisinya yang seperti bahasa lisan seperti ngobrol ini seturut dengan kesukaannya pada slam poetry. Sebuah genre pembacaan puisi yang dibawakan biasanya tanpa teks oleh slamer atau penyaji di panggung. Apa yang disampaikan tak harus persis sama dengan teks, bisa lebih berimprovisasi. Mereka terlihat seperti testimoni. Pertunjukkan poetry slam kerap dikompetisikan, dinilai juri dan penonton.
“Saya ketemu slam poetry di youtube, dapat jiwanya di sini. Ini slam poetry yang dibukukan. Bahasa nyablak, to the point. Emotional reading poetry, jadi tak bertele-tele seperti metafora. Refleksi diri sendiri dan teman-teman,” urai Virginia.
Ia juga mengaku lebih bisa mengekspresikan kata-kata dalam bahasa Inggris karena sejak kecil lebih banyak baca buku berbahasa Inggris. “Baru join Komunitas Mahima kenal bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris lebih percaya diri,” lanjut mahasiswa S2 Undiksha ini.
Tiga buku puisi yang diterbitkan oleh Mahima Institute Indonesia (Singaraja), didirikan Ole dan Sonia ini menjadi temu alumni dua pegiatnya, Wulan dan Virginia. Anak muda Mahima juga mewarnai perayaan ini dengan pementasan musikalisasi dan pembacaan puisi. Anak perempuan Sonia, Putik Padi juga ikut membacakan petikan karya ibunya.
Pembahas buku adalah Arif B. Prasetyo, lebih dikenal sebagai kurator lukisan. Ia mengulas panjang puisi-puisi yang dibahasnya. Misalnya pemberontakan perempuan terhadap kuasa patriarkhi pada karya Sonia. Virginia juga menampilkan pesan feminis namun lebih puitik misalnya protes soal politik tubuh. Sementara Wulan gelisah pada norma, nilai, dan komunitas.
Profil Penulis
Kadek Sonia Pisacayanti lahir di Singaraja, 4 Maret 1984, merupakan Dosen Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Ganesha. Ia mengajar bidang sastra seperti puisi, prosa, dan drama. Ia pernah diundang sebagai pembicara pada Ubud Writers and Readers Festival (2012-2013), Creative Writing Program, Griffith University, Gold Coast, Australia (2011-2012), serta pada ajang OzAsia Festival, Adelaide Australia (2013).
Ia menulis sekaligus menyutradarai naskah “Layonsari“ di Belanda dan Prancis pada acara Culture Grant dari Direktorat Pendidikan Tinggi Indonesia (2014). Ia juga telah menerbitkan beberapa buku di antaranya, “Karena Saya Ingin Berlari Saya Ingin Berlari“ (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2007), Buku Sastra “Literature is Fun“ (Pustaka Ekspresi, 2012), “The Story of A Tree“ (Mahima Institute Indonesia, 2014), The Art of Drama, The Art of Life (Graha Ilmu, 2014), A Woman Without A Name“ (Mahima Institute Indonesia, 2015).
Ni Luh Putu Wulan Dewi Saraswati, lahir di Denpasar, 10 Juli 1994, S1 di Undiksha, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, mendalami linguistik di Pascasarjana Universitas Udayana.Kini menjadi guru bahasa Indonesia untuk penutur asing di Yayasan Cinta Bahasa, bergabung di Komunitas Mahima dan Teater Kalangan. Terpilih sebagai mahasiswa berprestasi Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha 2014 dan 2015, serta mengikuti pertukaran budaya, Muhibah Seni Undiksha di Belanda dan Prancis 2014.
Menjadi sutradara fragmentasi cerpen Penumpang karya Iwan Simatupang, Mega-Mega karya Arifin C. Noor; monolog Bahaya karya Putu Wijaya. Karyanya terhimpun dalam antologi Singa Ambara Raja dan Burung-burung Utara, Ginanti Tanah Bali, Kaung Bedolot, Di Ujung Benang, Klungkung: Tanah Tua Tanah Cinta, dan Lingga. Puisi dan cerpennya kerap dimuat dalam Koran Bali Post Minggu. Antologi puisinya bertajuk Seribu Pagi Secangkir Cinta telah terbit pada tahun 2017.
Virginia Helzainka, merupakan mahasiswi S-2 di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Ia pernah menulis naskah sekaligus menyutradai lakon “Trageditrisakti“ (2011), sebagai sutradara pada lakon “A Marriage Proposal“ oleh Anton Chekov (2015), sebagai perwakilan Jakarta Timur dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (2011). [b]