Bob Dylan dinyatakan sebagai penerima Nobel Sastra 2016.
Banyak yang terperanjat ketika Swedish Academy mengumumkan penghargaan tersebut. Sebab, publik lebih mengenal Dylan sebagai musisi, pelantun lagu Blowin’ in the wind yang melegenda, bukan sebagai sastrawan.
Di sisi lain panitia nobel melihat karya-karya Dylan tidak sebatas bunyi; tetapi juga kuat, mendalam, dan puitis secara lirik. Seperti diumumkan dalam situs resmi nobelprize.org, Nobel Sastra diberikan kepada Dylan atas kontribusinya “for having created new poetic expressions within the great American song tradition”.
Penobatan ini membuat Dylan (Amerika Serikat) layak disandingkan dengan peraih nobel lain seperti Svetlana Alexievich (Belarusia), Mo Yan (Tiongkok), Alice Munro (Kanada) – bahkan dengan filsuf eksistensialis cum sastrawan Jean-Paul Sartre.
Tulisan ini tidak dalam rangka membahas sastra atau sastra-dalam-musik. Anggap saja pembuka di atas semacam selebrasi untuk turut merayakan pengumuman Dylan sebagai penerima Nobel. Lagi pula, saya menikmati lagu-lagu Dylan baru ketika kuliah. Beberapa lagunya menemani saya saat-saat mengerjakan skripsi. Saya tidak mungkin membahas Dylan mengingat tidak mengikuti perjalanan kariernya dari awal.
Tulisan ini justru mencoba melihat perkembangan musik pop Bali, jauh dari keriuhan Nobel. Lebih spesifik lagi, musik pop Bali yang saya maksud adalah lagu yang menggunakan bahasa Bali tetapi dikemas secara populer. Berbeda dengan lagu tradisi seperti sekar rare, sekar alit, sekar madya, ataupun sekar agung.
Saya masih ingat, di penghujung 1990-an hingga 2000-an awal, musik pop Bali sangat semarak dan digemari masyarakat. Semacam puncak kejayaan bagi musik pop Bali. Penggemarnya pun berasal dari berbagai kalangan, dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.
Anak Bali 90-an tentu tidak asing mendengar nama-nama seperti Yong Sagita, Widi Widiana, Panji Kuning, Sri Dianawati, Bayu KW, Eka Jaya, Agung Wirasuta, dan sebagainya. Mereka adalah pelantun tembang pop Bali yang sempat digandrungi. Tidak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota di Bali.
Tema yang diangkat dalam lagu-lagu pop Bali pada masa tersebut lebih banyak bicara seputar cinta; baik kebahagiaan maupun kegetirannya. Lagu Dokar Tresna (Delman Cinta) yang dipopulerkan Widi Widiana dan Sri Diana misalnya mengisahkan tentang pasangan kekasih yang memiliki kenangan naik dokar, transportasi tradisional yang sudah mulai susah kita temukan belakangan ini.
“…Ulian numpang dokar/ tresnane dadi tumbuh/ Beli merasa bagia teken pedewekan/ Dadi kenangan kayang buin pidan…” (“…Berkat naik dokar/ cinta kita tumbuh/ Aku merasa bahagia dengan diri sendiri/ Akan jadi kenangan sampai kapanpun…”
(Dokar Tresna, dipopulerkan oleh Widi Widiana & Sri Diana)
Potret Sosial
Meskipun pilihan kata dalam lagu tersebut tergolong sederhana, setidaknya lagu pop Bali juga menunjukkan potret sosial di Bali. Seperti kutipan lagu Dokar Tresna di atas, kita dapat melihat bagaimana generasi pada masa itu menjalin tali kasih dengan pasangan mereka. Pasangan kekasih dalam lagu tersebut dikisahkan sedang dilanda cinta berkat naik dokar.
Bila kita bandingkan dengan sekarang, tentu banyak hal sudah berubah. Selain dokar sudah kian sulit kita temukan, anak muda Bali saat ini sepertinya sudah jarang yang pacaran sembari naik dokar.
Bayu Kasta Warsa (Bayu Kw) beda lagi. Penyanyi berambut gondrong ini dikenal dengan karya-karyanya yang identik dengan kata sarinem. Kehadiran Bayu Kw pada awal 2000-an cukup memberikan warna baru karena lagu-lagu populernya berkisah tentang cinta laki-laki Bali dengan Mbakyu di pulau seberang; Banyuwangi.
Lagu Sarinem Neha Nehi misalnya. Dengan gaya menyanyinya yang khas, mengibas-ngibas rambut gondrong di atas kapal feri, lagu ini sebenarnya lagu patah hati, tetapi dibalut dengan nada yang nyerempet jenaka.
“…Oh sarinem neha nehi/ janjin adine tusing mebukti/ oh sarinem neha nehi/ tresnan beline kelem di Selat Bali…” (“…Oh sarinem neha nehi/ janjimu tidak terbukti/ oh sarinem neha nehi/ cintaku tenggelam di Selat Bali…”)
(Sarinem Neha Nehi, dipopulerkan oleh Bayu Kw.)
Revolusi
Di masa kejayaan itu, perkembangan lagu pop Bali tiba-tiba mengalami semacam revolusi, meskipun tidak sampai menghancurkan ‘status quo’ yang sebelumnya. Sekitar tahun 2003, Lolot Band tampil menggebrak sebagai band rock alternatif berbahasa Bali pertama.
Kehadirannya mendapat sambutan positif dari masyarakat dan para pencinta lagu Bali. Album perdananya, Gumine Mangkin, konon laris di pasaran. Pada masa awal kemunculannya, beberapa lagu seperti Artha Utama (Harta Utama), Luh Sari, dan Dagang Kopi Jegeg (Dagang Kopi Cantik) menjadi hits di album ini.
Lolot Band mengusung genere Bali Rock Alternative dan menjunjung logo bola-delapan yang ikonik. Kehadirannya dalam blantika musik pop Bali seolah membuat kemunculan beberapa kelompok musik dengan warna baru. Sebut saja Triple X, Bintang, So Band, dan sebagainya.
Dalam periode berikutnya, muncul beberapa seleb lagu pop Bali seperti Nanoe Biroe, AA. Raka Sidan, boyband Trio Januadi, hingga trio dangdut berbahasa Bali 3G.
Kalau ditilik ke belakang, beberapa penciptaan lagu pop Bali sebenarnya turut dalam rangka merespon isu-isu nasional. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof. I Nyoman Darma Putra, menulis makalah berjudul “Politik Lagu Pop Bali” yang termuat dalam buku Bali dalam Kuasa Politik (Buku Arti, 2008). Makalah tersebut menyoroti tema-tema politik yang diangkat dalam lagu pop Bali.
Tahun 1960-an muncul lagu Merah Putih yang diciptakan Gde Darna. Menurut makalah itu, tema-tema politik tidak begitu dieksplorasi pada masa Orde Baru karena kebijakannya yang sentralistik.
Barulah ketika Orde Baru tumbang, tema-tema politik mulai masuk, bahkan cukup semarak. Yong Sagita misalnya tahun 1998 muncul dengan lagu Kala Kali Zaman Orba yang mengkritik pemerintahan Orde Baru sekaligus secara terang-terangan menjadi garda pendukung Megawati.
Lalu, Lolot Band dengan lagu Bangsat-nya (2003), juga Bintang Band dengan lagu Nusuk-nya (2004) turut menyoroti politik kekuasaan yang sarat dengan KKN.
Satu yang kita pelajari adalah musik pop Bali telah memotret realitas sosial-politik-kultur masyarakat Bali dari waktu ke waktu. Lagu, dengan demikian, bisa saja menjadi pendamping teks sejarah untuk memahami Bali secara utuh.
Begitulah musik pop Bali pernah berjaya, dinikmati masyarakat, diputar di tempat-tempat umum, dan anak-anak mudanya bersahaja untuk sing along. Saat ini mungkin masih. Tapi tidak sesemarak dulu; kecuali salah satu musisi Bali diumumkan sebagai pemenang Nobel. [b]
karena tidak ada dukungan terhadap musisi bali dari luar bali… padahal komunitas bali di luar sana banyak terutama yg di kota2 besar ahanya sanggup menampilkan musisi bali di area komunitas saja seperti pura dan area komunitas … jarang hingga di luar publik … jika bicara masalah uang maka musisi dari negara miskin pun bisa terkenal karena memang dukungan dari komunitasnya di rantauan emang niat mempromosikan untuk non komunitas coba liat die antwoord dari afsel yg didukung oleh pembuat film chappie yg berdarah asli AFSEL tapi sukses di perfilman holywood ….. banyak orang kita yg berkutat dengan film nasional apa lagi pengusaha yg sanggup mempromokan karya asli musisi bali yg bukan berlabel nasional …. saya yg kalangan bawah pernah mempromokan nanoe biroe di salah satu stasiun radio bekasi di tahun 2007 yg saat ini sudah tutup walaupun dlu tidak di acc karena radio tersebut mengeluarkan syarat yg tidak bisa saya penuhi sebagai warga biasa yg bukan orang produksi label nanoe biroe juga ….. saya harap komunitas bali di luar sana terutama yg di kota besar dan di ibu kota turut konsisten mempromokan budaya modern bali bukan hanya tradisionalnya ….. terutama mereka yg memang memiliki kompeten di bidangnya ….. jangan hanya berkutat di lingkaran komunitas saja 🙂 salam pisss