Teks Ivy Sudjana, Foto Anton Muhajir
Terselip di antara kios dan lapak Pasar Badung, Klinik Rama Sesana menjadi oase kesehatan perempuan di pasar.
Pasar Badung, 14.30 WITA
Parkir tak terlalu penuh. Beberapa tukang suun tampak beristirahat. Mereka sumringah berharap saya belanja. Pedagang bunga, canang, sayur dan daging saling mencari posisi yang pas. Mungkin Feng Shui berlaku di sini.
Saat melangkah menaiki tangga, tampak sign board yang disponsori salah satu bank menunjukkan apa yang saya cari. KLINIK. Lantai 4.
Klinik
Wajah saya baru muncul di pintu waktu disambut beberapa wajah berbinar. “Mau berobat?”tanya salah satunya. Saya menggeleng sambil menjelaskan maksud kedatangan. Bertemu dr Upadisari, yang mengorganisir klinik ini. Tanpa menunggu lama, seraut wajah keibuan yang tak asing muncul. Rasa senang yang tak bisa disembunyikan menyeruak di antara kami. Ya…bagaimana tidak, hampir dua tahun kami tak bertemu.
Ketika mengungkapkan maksud kedatangan, dr Sari, demikian ia biasa dipanggil hanya mengingatkan waktu yang terbatas. Jadwal kuliah yang mendalami kesehatan reproduksi (Kespro) dan rentang waktu untuk praktek malam menunggunya untuk dipenuhi. Saya tak bisa berkata lain, karena kunjungan ini memang mendadak. Segera kami mulai berbincang.
Klinik di bawah Yayasan Rama Sesana ini berusia enam tahun. Namun total jumlah pasien dengan rata-rata kunjungan 500 orang tiap bulannya, sampai saat ini sudah mendekati angka 5000 orang. Wah, luar biasa untuk ukuran klinik di lokasi pasar. Apalagi kata menurut dr Sari, banyak dari mereka yang kunjungan return. Jadi bolak balik konsultasi dan memeriksakan diri.
Promosi menjadi pertanyaan saya selanjutnya. Dijawab dengan banyak turun ke lapangan atau outreach, mulai dari pembagian brosur, sampai pengumuman melalui speaker pasar tentang program klinik. Seperti halnya langkah awal mendirikan klinik. Isu pentingnya pemahaman kespro di kalangan wanita mengusik dr Sari untuk bertindak. Survei individual sampai survei dengan sampel besar dilakukannya sebagai dasar melakukan advokasi ke berbagai pihak. Lokasi pasar dipilih berdasarkan asumsi banyak wanita berkumpul.
Gayung bersambut. Kebetulan saat itu jajaran Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Denpasar cukup concern terhadap isu yang sama. Hingga akhirnya klinik dibuka. Dengan merekrut tenaga dokter, perawat, sarjana kesehatan masyarakat, klinik tidak hanya melayani para pedagang atau buruh pasar. Namun juga masyarakat umum lewat promosi mulut ke mulut. Program yang dicanangkan pun tidak hanya pemeriksaan atau pengobatan saja, tapi juga dengan edukasi. Sehingga, bermunculanlah tenaga peer educator dan forum diskusi kecil-kecilan.
Agar eksistensi klinik yang bersifat nirlaba ini tetap berjalan, sejauh ini donasi terus mengalir. Tak hanya uang, keperluan medis, keperluan kespro, meja kursi, maupun tenaga dan pikiran didukung oleh berbagai pihak. Dokter Sari yang saat saya kenal dulu masih menjalani profesi dosen, kini memilih untuk konsentrasi di klinik dan kelanjutan studinya. Menurutnya, masih banyak keawaman tentang kespro di masyarakat kita. Contoh ada isu alat KB yang dipasang di organ reproduksi bisa jalan-jalan di dalam tubuh dan keluar di mata. “Dari itu saya terpanggil untuk terus mengedukasi masyarakat tentang pengetahuan kespro yang benar,” jelasnya mengakhiri perbincangan kami.
Riak Riuh Pasar
Penasaran dengan makna klinik di mata pedagang pasar, saya berkeliling kios. Baru turun satu lantai, ada respon berbeda. Satu pedagang mencurigai keberadaan saya. Namun, kios di sebelahnya malah banyak berpromosi tentang klinik ini. ”Bagus sekali, Mbak. Nggak hanya urusan perempuan, pusing-pusing, badan menggigil juga dilayanin,” tutur sang ibu diantara kerlip perhiasan imitasi yang dijualnya.
Turun ke los bumbu dapur, jawaban hampir seragam. Seorang penjual dupa menjawab sekenanya. Tahu keberadaan klinik yang serupa Puskesmas dari brosur ataupun didatangi staf klinik.
Pedagang bumbu yang pertama dijumpai malah detail menjelaskan.”Bisa pap smear, lho.. Berguna sekali. Dokter sama stafnya suka keliling buat bagiin informasi. Kemarin ini mereka juga adakan cek tensi darah, gratis!”
Sementara temannya sesama pedagang bumbu menimpali seadanya, ”Ya… Klinik di lantai atas, di pojokan. Buat macem-macem penyakit. Nanti malam baru buka lagi.” Sambil berkata terlihat tatap matanya seperti mau menelanjangi. Mungkin saya terlihat mencurigakan.
Sementara seorang ibu pedagang alat sembahyang dengan bangga menjelaskan bahwa dirinya baru pap smear tadi pagi. Ekor mata saya sempat menangkap ada brosur klinik di atas barang dagangannya. Seperti sebuah pengakuan keberadaan.
Belum puas dengan jawaban pedagang di kios, saya beranjak turun. Ibu pedagang bokor di dekat tangga malah mau mengantarkan saya kalau tidak tahu letak klinik. Sebuah tawaran bagus namun tidak untuk saat ini. Pedagang di pelataran pasar yang pertama ditemui rupanya baru kali ini berjualan bunga di situ. Jadi kalau ia menatap saya keheranan saat ditanya keberadaan klinik, saya tak heran lagi.
Namun ibu penjual jajan khas Bali yang berdekatan dengannya mampu menjelaskan keberadaan klinik di lantai 4 dan lantai dasar setiap hari Jumat. Temannya, seorang pedagang pisang malah mengaku punya kartu berobat, hafal jadwal buka klinik setiap harinya dan mengungkapkan betapa keberadaan klinik bisa membuatnya tetap memeriksakan kesehatan termasuk kespro di saat ia juga harus berjualan memenuhi tuntutan hidup.
Tiba-tiba seorang tukang suun mencegat saya. Waktu saya mengalihkan tawaran membawakan barang dengan mewawancarainya, ibu bergigi coklat ini dengan spontan mengaku berobat hanya penyakit biasa saja, seperti sakit maag. Tidak berani periksa dalam menjadi salah satu ketakutannya untuk menerima pelayanan kespro. Tukang suun lain yang ikut menghampiri kebalikannya, merasa banyak terbantu dengan pelayanan kespro yang diberikan terutama pelayanan keluarga berencana.
Melangkah lebih jauh lagi menuju jalan Kartini, saya kembali menemui jawaban berbeda. Ada yang tidak tahu sama sekali keberadaan klinik karena kebanyakan berdagang di trotoar jalan Gajah Mada. Sementara dua ibu pemasok sayur yang sedang sibuk menghitung dan menurunkan barang dagangannya dengan sigap menjelaskan keberadaan klinik di pasar.”Sering diumumin, terutama Jumat malam kalau ada pemeriksaan, atau apa saja program klinik. Jadinya kami tahu. Bagus ada klinik di tengah-tengah pasar begini. Ada yang kenapa-napa, nggak harus jauh-jauh.”
Jawaban itu mengakhiri pemuasan keingintahuan saya akan keberadaan klinik Rama Sesana di Pasar Badung. Apapun respon para perempuan yang bersliweran di pasar ini tiap harinya, ternyata keberadaan klinik bak oase pelepas dahaga akan kebutuhan informasi dan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan dekat dengan publik.
Bravo dr Sari dan seluruh staf Rama Sesana! [b]
foto pasarnya bagus… bening… warnanya tajam..