“Langit tanpa Rajawali ibarat kebebasan tanpa sukma..”
Begitulah kurang lebih ‘Si Burung Merak’ mengumpamakannya. Kebebasan memang sebuah impian bagi orang-orang yang merasa terkekang sebagaimana kemerdekaan adalah cita-cita para kaum tertindas di dunia.
Patung Liberty yang menjulang kokoh di kota New York atau semboyan égalité, liberté, fraternité di Perancis menunjukkan betapa mereka ingin hidup bebas, lepas dari belenggu penindasan. Tapi apalah arti kebebasan itu jika ia tidak memiliki moral?
Definisi kata ‘kebebasan’ itu sendiri bisa dimanipulasi juga sebagai hak untuk melakukan apa yang diperbolehkan oleh hukum. Namun pada saat tertentu semua kebebasan akan berada di tangan hukum-hukum yang hanya melenyapkan dan menciptakan apa-apa yang dikehendaki oleh penguasa sesuai rencana mereka.
Dan, ketika ada salah satu pihak berhasil mendapatkan kebebasan, di satu sisi ia akan membungkam kebebasan pihak lain.
Tentunya semua bidang dan profesi mengharapkan kebebasan seutuhnya. Begitu pula dengan wartawan ataupun penggiat media massa yang senantiasa menggaungkan kebebasan pers. Meskipun kebebasan tersebut boleh dikatakan baru hanya sebatas ide, namun sebagian besar orang tidak tahu bagaimana melaksanakannya. Seperti halnya ide tentang kemerdekaan, ia tak mungkin terwujud jika tiada seorang pun yang tahu bagaimana menggunakannya dalam keterbatasan.
Sebagai profesi yang diakui dan diatur dalam UU No. 40/1999, pers menjadi salah satu pilar demokrasi di Indonesia yang bertugas menyampaikan berita-berita dengan pertanggungjawaban. Disebutkan pula bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Kode etik menjadi batasan dalam kerja-kerja jurnalistik, termasuk yang termuat dalam Pasal 6 ayat 5 UU Pers, bahwa tujuan pekerjaan pers adalah untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Terinspirasi Deklarasi Windhoek di Namibia, prinsip dasar kemerdekaan pers internasional telah disepakati untuk mempertahankan kebebasan media dari serangan atas independensi dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal dalam menjalankan tugasnya. Selanjutnya pada 1993 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan tanggal 3 Mei diperingati sebagai hari kebebasan pers sedunia (World Press Freedom Day).
Kegiatan tahunan tersebut diprakarsai UNESCO yang pada tahun ini (2017) telah digelar di Jakarta selama 4 hari (1-4 Mei), diikuti 800 delegasi dari sekitar 100 negara. Perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 di Jakarta mengangkat topik Critical Minds for Critical Times: Media’s Role In Advancing Peaceful, Just and Inclusive Societies (Berpikir Kritis di Masa Kritis: Peran Media Mempromosikan Kedamaian dengan Masyarakat yang Aktif dan Terbuka).
Ini merupakan peringatan ke-26 dan pertama kali dilaksanakan di Asia Tenggara setelah 15 tahun diadakan di negara-negara Eropa, Amerika, dan Afrika. Indonesia ditunjuk UNESCO sebagai tuan rumah dengan alasan negara majemuk yang beragam penduduk dan dianggap juga sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Pers Indonesia
Indonesia sendiri memiliki perbedaan dalam penentuan hari pers, karena kerap diperingati setiap 9 Februari, yaitu berkenaan dengan pembentukan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946. Adapun Keputusan Presiden No. 5/1985 yang menjadi landasan penetapan Hari Pers Nasional, hingga sekarang masih menjadi gugatan dari sebagian pihak.
Mereka menganggap tanggal tersebut bukan sebuah momentum murni dari perjuangan pers bangsa Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa sejarah pers Indonesia dimulai sejak jaman perjuangan melawan penjajah. Sayangnya surat kabar pertama Indonesia yang terbit pada 1776 telah diberangus pemerintah kolonial Belanda.
Setelah itu, banyak tokoh wartawan Indonesia yang berjasa pada era 1800-an. Di antaranya Abdul Rivai, Rd. Bakrie Soeraatmadja, R.M. Bintarti, Danudirja Setiabudhi, R. Darmosoegito, R.M. Tirtohadisoerjo, Djamaludin Adinegoro, Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie, R.M. Soedarjo Tjokrosisworo, Soetopo Wonobojo, dan Rd. Taher Tjindarboemi. Mereka telah dinobatkan sebagai Perintis Pers Indonesia oleh Dewan Pers Indonesia.
Selain itu terdapat pula beberapa media cetak yang beredar pada masa pergerakan Budi Utomo (1908-1942). Di antaranya Harian Sedio Tomo di Yogyakarta, Harian Darmo Kondo yang dipimpin oleh Sudarya Cokrosisworo di Solo, Harian Utusan Hindia yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto di Surabaya, Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta pimpinan H. Agus Salim, Majalah mingguan Pikiran Rakyat di Bandung dipimpin oleh Ir. Soekarno, dan Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin oleh Moch. Hatta dan Sutan Syahrir. Nama-nama tersebut sebagian besar pernah mendekam dalam sel tahanan.
Beberapa tahun setelah kongres Sumpah Pemuda 1928, Belanda lebih ketat memberlakukan pembredelan surat kabar dengan melibatkan pasukan sekutu Inggris yang sempat juga meledakkan beberapa percetakan. Sejumlah wartawan serta penulis ditahan dan diasingkan karena kebanyakan dari mereka adalah aktivis-aktivis pergerakan yang disinyalir berbahaya.
Tak ketinggalan, pergerakan pers di Bali mulai bangkit pada era 1920-an sampai 1950-an. Para intelektual dari Buleleng menerbitkan berbagai jurnal kebudayaan seperti Shanti Adnyana, Bali Adnyana, Surya Kanta, Bhawanagara, Djatajoe, dan Bhakti.
Pada 13 Desember 1937 semangat kemerdekaan nasional bergejolak. Para pemuda seperti A.M. Sipahoetar, Mr. Soemanang, Adam Malik dan Pandoe Kartawigoena mendirikan Naamloze Vennootschap (NV) atau Kantor Berita Antara sebagai bentuk perlawanan terhadap Kantor Berita Belanda (Aneta) yang telah menyebarkan pemberitaan tentang kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia di Eropa. Pada detik-detik proklamasi, slogan ‘sekali di udara tetap di udara’ berkumandang. Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) menjadi salah satu corong perjuangan yang gencar menyuarakan kemerdekaan sehingga ia dinilai sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang independen, netral dan mandiri.
Setelah masa kemerdekaan, beberapa tokoh jurnalis, penulis, dan sastrawan bermunculan seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Anantaour, dan Sitor Situmorang. Mereka hidup pada dua zaman: Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba), juga dikenal sering keluar masuk penjara gara-gara dianggap menentang pemerintahan. Pada pemerintahan Orla khususnya tahun 50-an, di Indonesia terdapat 105 surat kabar harian dengan jumlah oplah 697.000 lembar yang kemudian mengalami penurunan menjadi 94 surat kabar, tetapi dengan total oplah mencapai 1.036.500 lembar.
Bersamaan dengan itu pula razia pers mulai dilancarkan, di antaranya adalah surat kabar Indonesia Raya, bahkan Kantor Berita Antara dan Persbiro Indonesia (PIA) pun terkena pemberangusan. Sejumlah wartawan juga dinyatakan tewas. Kebebasan pers Indonesia kembali mengalami pencekalan semenjak peristiwa Malari (15 Januari 1974) sampai runtuhnya kekuasaan Orba. Beberapa media seperti Detik, Tempo, Editor pun terkena imbasnya pada 1994.
Menjelang dan setelah era reformasi 1998 kesadaran akan dunia jurnalisme yang lebih profesional telah mendorong sejumlah wartawan untuk membentuk organisasi-organisasi yang lebih independen walaupun sebagian keluar dari mainstream. Bersamaan dengan itu pula stasiun-stasiun TV swasta yang beraneka bentuk mulai mengisi penglihatan kita sepanjang hari, dan menggilas acara-acara klasik di Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah memicu media massa dan para penulis untuk menyebarkan karyanya lebih cepat. Layar-layar yang berjejaring cyber mulai mencandui kehidupan kita. Seiring perkembangan politik liberalisme dengan sendirinya mengubah haluan pers nasional sehingga memberikan peluang juga kepada wartawan untuk meliput dan memproduksi berita tanpa batas. Dewan Pers mencatat, jumlah media di Indonesia saat ini mencapai sekitar 47 ribu media massa, di antaranya 2.000 media cetak, 1.500 lebih bergerak di bidang penyiaran, dan 43.300 lainnya adalah media online.
Bebas dari Apa?
Setelah John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris (Areopagitica), A Defence of Unlicenced Printing, maka sejak saat itu pula jurnalisme bukan hanya berfungsi untuk menyiarkan berita, tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat. Pada abad XVIII, jurnalisme mulai dijadikan ajang bisnis dan alat politik hingga ke ranah pertarungan headline.
Seiring dengannya ketrampilan desain dan kemajuan teknik percetakan berkembang pula pada masa itu, perkembangan jurnalisme mulai pun diwarnai oleh perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan pada akhir abad tersebut dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang ini.
Tetapi alangkah bijaknya jika titik tolak revolusi pers modern di dunia bisa diwakili sejak kongres pertama Gerakan Zionisme diselenggarakan di Basel (Swiss) pada 29 Agustus 1897, yang sebelumnya (1884) jurnalisme telah dikaji secara akademis oleh Karl Bucher dan Max Weber di Universitas Basel.
Kongres tersebut diorganisir oleh seorang wartawan dan mantan penulis naskah drama asal Austria-Hongaria bernama Thedore Herlz. Ia juga pernah menjadi koresponden dan editor harian Neue Freie Presse di Paris. Herlz berhasil ‘menyulap’ kebebasan pers sebagai strategi untuk menguasai kontrol pers dengan menyodorkan umpan racun liberalisme kepada lawan-lawannya. Kemudian ia mempropagandakan pergerakannya dalam terbitan surat kabar berbahasa Jerman, Die Welt.
Namun di balik itu, gerakan tersebut telah didanai oleh penguasa perbankan, keluarga Rothschild, untuk menundukkan dunia dalam jejaring pemerintahan New World Order. Bahkan akhirnya mereka sukses menguasai tiga kantor berita di Eropa: Wolff di Jerman, Reuters di Inggris, dan Havas di Perancis.
Inggris yang dianggap paling tua dalam sejarah dunia pers mengalami masa kelam ketika koran nomor satunya, The Times, harus jatuh ke tangan zionis. Rothschild Family kembali merangkul orang nomor satu di surat kabar tersebut, John Woolter, dengan menyuntikan dana dalam jumlah besar agar The Times tetap di bawah dominasi zionisme.
Kendati upaya Rothschild itu berhasil, namun mereka belum puas menempatkan orang-orangnya di dewan redaksi, khususnya di bagian redaktur politik dan keuangan. Hingga pada 1916, hak milik The Times berpindah tangan sepenuhnya kepada Robert Murdoch, seorang milyuner asal Australia. Sejak saat itu spirit The Times benar-benar bermetamorposa menjadi corong zionis.
Di belahan dunia pers Amerika pernah terjadi pula pemboikotan beberapa media cetak oleh kelompok zionis. Salah satunya menimpa New York Times, yang akhirnya harus bertekuk lutut di hadapan pemodal Adolph S. Ochs. Selain itu ada juga The Washington Post dan The New York Post yang mengalami nasib sama.
Henry Ford, ahli otomotif, mekanis, dan pendiri perusahaan mobil Ford, menjadi saksi atas kehancuran pers di Amerika. Ia sempat berjuang demi rakyat Amerika dengan cara membeli saham dari surat kabar mingguan The Dearborn Independen di Michigan. Ford mengorbankan banyak uang bagi upayanya itu, dan berhasil mengubah koran kecil tersebut menjadi media raksasa dalam waktu singkat.
Akibat tidak pernah mencari atau menerima iklan, The Dearborn mengalami penyensoran dari kelompok zionis hingga tidak dapat beredar di beberapa kota. Tidak hanya itu, pada kolom berita utamanya terdapat artikel-artikel tentang aspek kekuatan dan pengaruh Yahudi Internasional. Saat itu Ford dibantu oleh seorang editor dan kolumnus hebat dari Detroit News, William J. Cameron. Kerja sama mereka membuahkan karya fenomenal berupa buku terlaris sepanjang masa, The International Jew, yang berisi kumpulan artikel Ford selama menggeluti persoalan-persoalan di Amerika.
Sayangnya Ford menghentikan peredaran buku tersebut karena berada di bawah tekanan, bahkan maut nyaris merenggut nyawanya pada kecelakaan misterius. Buku-buku yang masih tersisa di toko-toko dan perpustakaan pun dihancurkan oleh orang-orang suruhan. Sampai sekarang buku tersebut tidak bisa ditemukan lagi di Amerika meskipun pernah dicetak ulang.
Dalam sejarah surat kabar Amerika barangkali cuma ada satu tokoh jurnalis yang mampu dengan gigih melawan kontrol pers dunia. Ialah James Gordon Bennett, pendiri sekaligus pemilik New York Herald. Walaupun pada akhirnya ia kalah secara finansial, namun ia mendapatkan kemenangan telak secara moral.
Koran tersebut mempunyai reputasi hebat dalam pengumpulan berita, di antaranya melakukan ekspedisi ke Afrika, Arktika, dan Atlantik. Selain itu, baik berita maupun kolom editorialnya tidak dapat dibeli oleh siapapun. Tetapi prestasinya yang paling mengagumkan adalah kemampuan mempertahankan independensi jurnalistiknya terhadap serangan bertubi-tubi dari Pers Zionis selama 90 tahun! Kecintaan akan profesinya membuat Bennette kukuh menjaga kehormatan dan kedaulatan jurnalisme hingga akhir hayatnya (1919).
Sampai saat ini kita mungkin bisa merasakan imbasnya, betapa kuat kendali pers negara maju atas pers di negara berkembang. Namun sebaliknya, apakah negara-negara seperti di Eropa dan Amerika benar-benar memiliki kebebasan pers seperti yang kita bayangkan selama ini? Tidak! Kata kuncinya adalah “holocaust”, tragedi pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi selama perang dunia ke II.
Sesungguhnya mereka pun berada dalam cengkraman yang dimanfaatkan sebagai radar-radar pergerakan zionisme. Siapapun orangnya, baik pengusaha maupun politikus, yang berani menggunjing, mempertanyakan apalagi menyangkal hal itu maka tinggal tunggu tanggal nasibnya. Para kandidat presiden yang berkampanye tentang ‘anti holocaust’ jangan berharap terpilih jadi presiden. Bahkan beberapa penulis dan sejarawan kritis seperti Roger Garaudy (Perancis), David Irving (Inggris), Robert Faurisson (Perancis), dan Ernst Zundel (Jerman), yang menganggap sejarah holocaust sebagai sebuah mitos, diseret ke pengadilan, lalu dinyatakan bersalah, dan dijebloskan ke dalam penjara berikut denda uang.
Apakah Dewan Pers Dunia selama ini tidak memperhatikan kasus-kasus di atas walaupun tragedi yang dibicarakan sudah berlalu? Sementara isu-isu yang mengatasnamakan korban tragedi kemanusiaan terus dipropagandakan demi mendapatkan simpati dunia. Adakah perjuangan melawan kontrol pers dunia saat ini? Di sini keterlibatan pihak dalam kendali atau kontrol pers juga patut dipertanyakan. Ini menyangkut antara wartawan, politikus, pemilik modal dengan dewan pers.
The Council on Foreign Relations (Dewan Hubungan Internasional) diduga kuat menjadi pelanjut kontrol pers dunia. Ia adalah organisasi nirlaba yang didirikan pada 1921. Tugasnya untuk mempublikasikan dan melakukan riset tentang kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat. Lembaga ini dianggap salah satu periset politik luar negeri sangat berpengaruh di Amerika sebagaimana mitra kerjanya, Royal Institute of Internasional Affairs (RIIA) di Inggris. Keduanya merupakan cabang dari Institute of Internasional Affairs (Lembaga Urusan Internasional) yang didirikan berdasarkan keputusan Konferensi Perdamaian Versailles.
Namun, sejatinya misi utama CFR adalah untuk mendapatkan kendali pers. Tugas tersebut dipercayakan kepada John D. Rockefeller yang juga mendirikan beberapa majalah seperti Life dan Time. Bahkan ia sanggup mendanai pembelian sejumlah media cetak di penjuru negeri, di antaranya Washington Post, Newsweek dan The Weekly Magazine.
Pengendalian pers yang dilakukan CFR tidak hanya menutupi keburukan keluarga Rothschild serta pergerakannya, tetapi ia juga menjadikannya sebagai alat penekan agar publik terbiasa dengan berita yang penting dan yang tidak penting, sehingga akan mempengaruhi perkembangan mental masyarakat terutama prilaku psikologis pemirsa.
Kebebasan pers mungkin bisa dibilang omong kosong belaka, kalau kita lihat beberapa cuplikan yang pernah dilontarkan seorang jurnalis ulung, John Swinton, pada acara jamuan resmi bersama rekan-rekan seprofesi: “Dalam sejarah dunia, di Amerika tidak ada yang namanya kebebasan pers. Tugas para jurnalis adalah menghancurkan kebenaran, sama sekali berdusta, menyesatkan, memfitnah, menjilat kaki orang-orang kaya, dan menjual negara dan rasnya demi sesuap makan sehari-hari. Kita ini adalah pelacur intelektual! Kalian tahu itu, dan saya tahu itu! Kebodohan macam apa ini hingga kita diajak bersulang bagi kebebasan pers?”
Peran dan Prioritas
Apa sesungguhnya peran yang dimainkan pers saat ini? Apakah mereka hanya mengabdi untuk menyenangkan dan membakar nafsu publik yang berguna bagi tujuan penguasa atau dengan cara lain membantu tujuan egois dari beberapa pihak? Jangan heran apabila sebagian pers kadang terkesan tawar, tidak adil, banyak dusta, sementara mayoritas publik tidak mengabaikannya apakah pers menyampaikannya dengan benar. Masyarakat tidak tahu jika pers ditunggangi dan dikekang kuat oleh sekelompok pihak.
Berita-berita kontroversial yang belum terungkap di masa lalu akankah berlalu begitu saja dan menjadi catatan sejarah usang, meski boleh dibilang hanya seongok batu prasasti? Sementara mayoritas orang bergerak berdasarkan sejarah materialistik yang dibuat oleh penguasa serta disepakati oleh umum. Bila perlu cetakan surat kabar pertama di dunia tentang ekspedisi Colombus ke Amerika diusut kembali.
Kebebasan mengungkap, menganalisa, berpendapat dan berhipotesa di sini diperlukan, dan keberpihakan pula perlu ditekankan. Bersikap netral mungkin dibutuhkan dalam situasi tertentu, selama belum jelas dan terbukti baik data maupun faktanya. Namun, ketika titik terang keadilan dan kebenaran itu mulai benderang, kita tidak perlu lagi bermain di wilayah abu-abu. Setidaknya hoax positif sangat diperlukan untuk melawan hoax negatif!
Pada dasarnya berita-berita aktual adalah cikal bakal sejarah yang berisi tentang sekumpulan peristiwa yang dianggap penting untuk diinformasikan. Sepenting apakah berita tersebut itu tergantung juga pada ‘untuk kepentingan apa’ dan ‘punya kepentingan apa’. Entah beritanya itu bersifat menyenangkan, menghibur, menenangkan, meyakinkan, membingungkan, menciptakan kebenaran atau kebohongan, kenyataan atau kontradiksi.
Berita-berita yang dianggap berkualitas dan berhasil telah memperjuangkan sesuatu yang sangat penting bagi dunia dan bangsa tentunya akan selalu melekat dan menggugah sepanjang masa. Walaupun para peliput atau penulisnya mengalami hal yang tidak diinginkan, entah itu diteror, ditangkap, dianiaya, atau bahkan dibunuh.
Menurut data Committee to Protect Journalists (CPJ), sejak tahun 1992 sampai 2017 tercatat 1.236 wartawan terbunuh di seluruh dunia. Sementara Reporters Sans Frontières (Wartawan Tanpa Batas) mencatat 369 wartawan masih dalam tahanan sampai akhir ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendata juga dalam situsnya, bahwa selama 10 tahun terakhir ada 577 kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Pelakunya beragam, mulai dari advokat, aparat pemerintah, hakim, kader, pejabat pemerintah, pelajar atau mahasiswa, polisi, Satpol PP, TNI, warga, bahkan oleh pelaku tidak dikenal.
Dawit Isaak, penerima penghargaan WPFD 2017, adalah satu dari sekian banyak korban yang menjadi sasaran penangkapan. Namun di balik itu kita tidak tahu siapa dia sebenarnya dan sepenting apakah dia. Karena kasusnya berkaitan dengan situasi politik di Eritrea, sedangkan dia sendiri berkewarganeraan ganda Swedia-Eritrea.
Mungkin masih banyak lagi wartawan lain yang tidak termasuk kategori pemilihan tetapi mereka lebih parah dan lebih penting dari seorang Isaak. Karena pada kondisi tertentu, selain sebagai korban, wartawan juga bisa juga menjadi pelaku yang dimanfaatkan oleh pihak lawan. Berkenaan dengan itu, apakah kebebasan pers di sini berarti pula harus sebebas-bebasnya mengizinkan semua wartawan asing masuk ke tanah air khususnya ke Papua? Kita tidak tahu seandainya kepentingan intelenjensi bisa saja menyusupkan orang-orangnya dalam dunia jurnalisme.
Dalam hal ini tiada salahnya kita menggarisbawahi Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 yang pernah dikeluarkan pada masa pemerintahan transisi, yang kiranya layak dijadikan sebuah referensi bagi insan pers: Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukan kebebasan dalam pengertian liberalisme.
Semaraknya citizen journalism (jurnalisme warga) ditambah dengan perangkat media sosial dan media online saat ini di satu sisi bisa berdampak negatif, walaupun mungkin mereka mengharapkan ada suatu keterbukaan. Menurut Hendrajit, salah seorang perintis Tabloid Detik bersama Eros Djarot pada 1992, bahwa saat ini media massa sangat rawan untuk dijadikan ajang Proxy War (perang perpanjangan-tangan), baik antar kekuatan-kekuatan asing yang bermain di Indonesia maupun antar agen-agen lokal yang berkhianat demi kepentingan asing yang bersaing di Indonesia.
Selain itu media massa di Indonesia juga sangat rentan terhadap Perang Asimetris (perang non-militer) untuk membentuk opini melalui infrastruktur informasi dan komunikasi yang dikuasai asing. Dan ketika kesadaran geopolitik dari para pengelola dan awak media melemah, maka akan dengan mudah pula dikendalikan oleh sejumlah kepentingan korporasi asing.
Di sinilah pergerakan asing perlu diwaspadai terutama ketika mereka memberikan pujian, penghargaan dan bantuan. Setidaknya semangat perjuangan para Srikandi Bali, Ni Loeh Sami dan Made Tjatri dalam jurnal Djatajoe, mampu meredam nafsu-nafsu para penjajah dan berhasil menggugah martabat kepada generasi selanjutnya walaupun hanya sebatas menentang eksploitasi wanita telanjang dada.
Bila tiada sedikitpun kewaspadaan, maka gejala psikologi berupa sindrom ‘efek Lemming’ akan segera mewabah di kalangan pengguna media massa. Tapi tunggu saatnya, ketika pena-pena itu akan lebih tajam daripada Julias Caesar! [b]