Bali, sebuah pulau yang diklaim sebagai surga terakhir.
Sebuah batas yang dekat dengan utopia. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Geoffrey Gorer dalam bukunya, Bali and Angkor, Or Looking at life and Death yang terbit pertama pada 1936.
Bali menjadi sangat ramah pada dunia. Layaknya kartu pos yang menunjukkan Bali sebagai tempat menyenangkan untuk dikunjungi. Berbagai kearifan lokal menjadi penyangga kehidupan dan, untungnya, hal ini juga digemari oleh para pendatang. Hal ini juga yang menjadikan Bali sebagai batas pergumulan nilai lokal dan global. Setidaknya secara subjektif saya melihatnya.
Bali menjadi dikenal dan juga menjadi magnet penduduk Nusantara. Tidak hanya turis, saudara kita di luar daerah banyak juga yang ingin merasakan sensasi tinggal di Bali. Berbagai alasan kedatangan yang bermuara pada hal positif yang ingin didapatkan di Bali menjadi utama. Semua kini dapat menikmati Bali. Tanpa terkecuali.
Bali yang semakin besar membawa berita baru. Pergolakan nilai kadang menghasilkan hasil yang berdampingan. Baik buruk. Kita, ya, kita semua kadang terlena oleh kebesaran nama. Merasa senang akan posisi Bali di mata Indonesia maupun dunia. Bagai melihat dari menara gading, hal disekitar mencuat menjadi tidak terlihat.
Terkadang kita perlu mendengar suara mereka. Pada orang yang peduli pada Bali. Karena mungkin saja, bagi mereka, Bali adalah rumah. Seperti saya mengutip kalimat seorang kawan, Made Dwicahyana Putra, “Mungkin untuk beberapa orang, rumah adalah tempat dimana mereka merasa nyaman untuk tinggal, dan batas negara hanyalah pagar-pagar imajiner yang dibuat untuk mengisi keegoisan beberapa orang”. [b]
Comments 1