Teks Anak Tangguh, Foto Anton Muhajir
Minggu lalu, Sanggar Anak Tangguh mengadakan pelatihan menulis untuk anak-anak di sana. Luh De Suriyani dan Intan Paramitha Apsari dari Sloka Institute memberikan materi tersebut sekaligus mendampingi para peserta melakukan reportase dan penulisan.
Peserta dibagi dalam dua kelompok. Kelompok II, semuanya masih SD, menulis tentang Kami Cinta Pasar Seni. Kelompok I, semuanya sudah SMP, menulis tentang Masa Depan Pasar Seni. Inilah hasil reportase mereka setelah diedit gaya bahasanya.
Kelompok II terdiri dari Kadek Adi Widia Mahendra, I Wayan Elvandi, I Kadek Pastika, Kadek Juana Setiawan, Nyoman Ginarta, Kadek Aditya Permana, Kadek Jordiawan, I Wayan Rahadi, I Kadek Ananda Dananjaya, I Ketut Agus Suweca, Aan Ainun Yakin, dan I Wayan Angga Raditya. Kelompok anak SD ini semuanya beranggotakan cowok.
Ratusan orang berkunjung di Pasar Seni Guwang, Kabupaten Gianyar, Minggu siang lalu. Sedikitnya ada empat bis besar warna biru dan putih. Puluhan mobil dan motor parkir di sana.
Puluhan pedagang laki-laki dan perempuan. Kebanyakan perempuan. Ada remaja dan ada yang tua. Mereka menawarkan baju-baju, lukisan, dan minuman. Mereka menawarkan minuman dengan membuka kulkas. Kami ingin membeli tapi tak punya uang. “Mau beli, Dik?” tanya I Wayan Miasa, penjaga salah satu warung. Ia sedang santai duduk-duduk.
Miasa mengatakan pasar laris kalau masa liburan. “Kalau bulan puasa pasar lebih sepi,” katanya. Ia menjual oleh-oleh khas Bali seperti kacang, salak, minuman, dodol, dan lainnya. Pak Miasa berasal dari Banjar Sakih, Guwang.
Selain Pak Miasa, ada juga Pak Cok Agung, penjual lukisan. Pak Cok seperti Charlie, penyanyi band ST 12. Sisiran rambutnya dibelah dua. Ia kelihatan tampan. “Masih proses punya anak,” kata Pak Cok Gung, panggilannya.
Pak Cok Agung berkata, “Saya sangat suka berdagang di Pasar Seni Guwang. Pak Cok Agung sambil berdagang mengatakan kita harus melestarikan Pasar Seni Guwang.
Salah seorang pembeli bernama Buk Wayan mengaku senang berbelanja di pasar seni Guwang. Karena harganya murah.
Adapun dari hasil wawancara kelompok I yang beranggotakan Diah Anggareni, Karniyanti, Trisna, Ayu, Septiana, dan Prema, mendapatkan suatu cakupan berita yang sangat akurat dan merakyat.
Setelah melakukan proses wawancara ini, kami dapat catatkan, bahwa beberapa orang yang kami wawancarai mengontrak kios mereka sendiri di Pasar Seni Guwang, Sukawati, Gianyar. Pasar ini berdiri kira-kira pada tahun 2003 dengan luas keseluruhan sampai tempat parkir dan kios-kios yang terletak di luar pasar sekitar 65 are.
Jumlah meja pedagang 505 meja, 117 stand lukisan, dan juga terdapat 15 kantin. Kebanyakan pedagang memperoleh pendapatan sehari rata-rata Rp 200.000 hingga Rp 500.000 dalam seharinya. Itu pun kalau pasar dalam keadaan ramai. Namun saat sepi, pendapatan mereka bisa mencapai hanya Rp 18.000 hingga 25.000 per hari.
Barang yang kebanyakan diperdagangkan di pasar ini adalah kaos-kaos khas Bali dan souvenir khas Bali seperti kalung, gelang, cincin, dan lain-lain. Dari beragam barang yang diperdagangkan itu, yang paling laku atau laris adalah kaos-kaos khas Bali yang sangat terkenal di kalangan masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya kaos bamboo, baju pelangi, baju barong, dan lain-lain.
Menurut beberapa pedagang, kemungkinan Pasar Seni ke depan akan lebih maju dalam bidang persaingan. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa, akan ada penurunan pendapatan ekonomi di daerah Pasar Seni tersebut.
Menurut Sri, pedagang baju di dalam pasar, tepatnya blok A, Pasar Seni akan mengalami kemajuan sangat pesat karena banyaknya tamu-tamu dari luar maupun dari dalam negeri yang menyukai barang dagangan di Pasar Seni tersebut. Menurut beliau juga, pendapatan yang biasa dia dapat Rp 500.000. Pendapatan ini pun lebih banyak dari biasanya. Hal itu karena semakin meningkatnya minat tamu untuk mengunjungi Pasar Seni Guwang.
Namun, ternyata ada beberapa pedagang yang berpendapat lain. Salah satunya adalah Suleni. Beliau berpendapat bahwa, pada beberapa tahun ke depan Pasar Seni akan mengalami beberapa penurunan. Ini karena semakin banyak dibangun pasar seni sejenis setelah terkenalnya Pasar Seni Guwang. Karena semakin banyaknya pembangunan yang dikembangkan, maka semakin ketat persaingan antara Pasar Seni Guwang dengan pasar seni yang lain.
wah, jadi minder melihat gaya tulisan mereka 😀