Awal Mei adalah hari sakral bagi sebagian buruh.
Bagi sebagian buruh terutama anggota serikat-serikat pekerja, inilah hari yang dinanti-nantikan. Pada hari tersebut di beberapa negara belahan dunia para buruh turun ke jalan. Berawal dari peristiwa 1 Mei tahun 1886, di Amerika Serikat.
Saat itu ratusan ribu buruh mogok kerja dan melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka menuntut pengurangan jam kerja. Namun polisi membantai para demonstran dengan tembakan. Puluhan orang tewas. Ratusan orang lainnya luka-luka. Pemimpin-pemimpin mereka ditangkap dan dihukum mati.
Tiga tahun kemudian, berkat Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris pada Juli 1889, tragedi di AS itu ditetapkan sebagai hari buruh sedunia. Dalam resolusinya dinyatakan bahwa sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada tanggal yang sama di mana semua negara dan kota-kota harus menuntut agar pemerintahnya menerapkan 8 jam per hari dan melaksanakan semua kesepakatan kongres.
Akhirnya sejak 1890, tanggal 1 Mei diperingati oleh kaum buruh di beberapa negara. Istilahnya May Day. Di Indonesia peringatan tersebut baru dimulai pada 1 Mei 1920. Namun sejak Orde Baru berkuasa, acara seperti itu dilarang pemerintah karena dianggap telah bertindak subversif yang identik dengan gerakan komunis.
Mulai 1999, May Day diperingati kembali di Indonesia. Melihat aksi tersebut berkelanjutan sampai tahun berikutnya dan serentak dilaksanakan di beberapa kota besar termasuk Denpasar, akhirnya pada 2013 Presiden SBY memutuskan bahwa tanggal tersebut layak dijadikan hari libur nasional. Hingga sekarang perusahaan maupun para buruh Indonesia bisa memperingatinya sebagai hari buruh internasional.
Akan tetapi, dengan merayakan hari tersebut seolah-olah kita terpaksa menyetujui bahwa buruh-buruh yang tertindas harus tetap ada di muka bumi. Kalau hanya sebatas memperingati tragedi pembantaian mungkin ada yang lebih parah dari itu. Tetapi kalau sekadar berdemontrasi, ikut-ikutan sebagai bentuk solidaritas, kemungkinan juga semakin tidak akan menyelesaikan kasus-kasus ketenegakerjaan. Bahkan buruh-buruh akan tetap eksis sepanjang masa. Karena memang kebijakan ekonomi kita tidak sepadan dengan jumlah lapangan kerja dan angkatan kerja produktif.
Jadi, sebaiknya yang pertama harus diserang adalah sistem politik ekonominya dulu! Dan itu tidak membutuhkan hari atau tanggal tertentu untuk menuntutnya. Mengapa demikian? Sebab para pendiri bangsa kita menentang praktik kapitalisme, tetapi kita juga berharap komunisme dan liberalisme jangan sampai pula menguasai kita.
Mengapa Mei?
Menyimak kalimat ‘May Day’ rasanya seperti mendengar suatu ajakan:“mai dek!” Seakan-akan ia menggiring kita pada sesuatu.
Kadangkala kita mengikuti atau menyepakati sesuatu tanpa mengetahui dulu asal-usul, latar belakang, maksud dan tujuannya. Kita cenderung menerima dan menelan bulat pengaruh luar seperti halnya kita mengkonsumsi produk-produk baru tanpa tahu fungsi dan kebutuhannya. Apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan globalisasi atau dunia internasional.
Di situlah kita akan disodorkan pada standarisasi dan berkesimpulan bahwa acuan kebenaran itu adalah berdasarkan pada kesepakatan mayoritas. Ketika kita menolaknya, maka kita akan dianggap keluar dari mainstream.
Peringatan May Day menyimpan misteri mengingat banyaknya juga peristiwa dan tragedi bersejarah di sepanjang bulan Mei. May Day sendiri mengacu pada 2 kata, yaitu ‘mayday’ sebagai festival kuno musim semi belahan bumi utara, dan ‘maypole’ semacam kayu yang melambangkan phallus (penis) sebagai bagian dari acara pesta rakyat Eropa.
Di balik itu, kata-kata tersebut berhubungan dengan acara Beltane Festival, event tahunan bangsa-bangsa Gaelik/Seltik kuno (Irlandia, Skotlandia, Kepulauan Britania). Mereka adalah sekelompok supranaturalis (tukang sihir) penganut ilmu hitam Pagan (pemuja setan) pada zaman besi. Tradisi ini pernah ada juga di kawasan Jerman.
Karena aktivitasnya dianggap tidak berperikemanusian, (semisal ritual persembahan manusia, darah, penculikan, bunuh diri, pesta seks bebas), sekte tersebut sempat menghilang dari peredaran dan sebagian berimigrasi, menyusul kristenisasi mulai menyebar ke kawasan Eropa. Namun pada akhir abad 19, tradisi mereka dihidupkan kembali oleh sekelompok neo-pagan Wicca di Skotlandia.
Beltane Festival biasanya dimulai pada 30 April sampai menjelang tanggal 1 Mei tepatnya di antara musim semi ekuinoks (panjang siang dan malam sama) dengan titik balik musim panas. Menurut perhitungan mereka, tahun ini (2016) akan jatuh pada hari Sabtu Kelam (Black Sabbath). Pada hari itu mereka mengadakan upacara dan pesta yang disuguhi berbagai pertunjukan seperti tarian, nyanyian dan drama. Tariannya dikenal dengan nama May Pole Dance yang belakangan disebut juga sebagai Beltane Fire Dance (Tarian Api).
Mereka bersorak-sorai, menari telanjang bulat diiringi tabuhan sambil mengelilingi api unggun seperti suasana pesta kaum hippies pada konser musik Woodstock 1969 di White Lake New York. Selanjutnya ritual tersebut diakhiri dengan persembahan manusia atau anak-anak kecil. Hari lainnya seperti Valentine Day dan Halloween Day juga merupakan agenda dalam kalender mereka. Boleh jadi hal ini juga sebagai simbol kebebasan, budaya tanding, dan bentuk perlawanan terhadap doktrin-doktrin Katolik.
Pengaruh kepercayaan pagan tersebut sampai-sampai mengilhami seorang Jerman bernama Adam Weishaupt mencomot tanggal 1 Mei 1776 sebagai hari jadi kelompok Illuminati yang berperan besar dalam suksesi Revolusi Perancis. Sebagai penghormatan terhadap sang pendiri, tanggal 1 Mei dijadikan pula sebagai hari raya komunis di seluruh dunia.
Jaringan Illuminati menggurita sampai ke pelosok dunia hingga ke benua Amerika. Para anggota rekrutannya tersebar di posisi-posisi penting seperti pejabat tinggi pemerintahan, aktivis mahasiswa potensial, wartawan, dan tokoh-tokoh politik khususnya sosialis-komunis. Ajaran luciferian (satanisme) ditanamkan kepada setiap anggotanya bahwa paham tersebut merupakan bentuk evolusi kemanusiaan, lambang kebebasan manusia, dan mencakup jaringan denyut kehidupan dunia secara global.
Mereka mempunyai misi untuk memecah belah semua orang non-Yahudi melalui media politik, ekonomi, sosial, dan religius. Mereka juga akan menyediakan persenjataan dan insiden agar orang-orang bisa berperang, menghancurkan pemerintahan nasional, merusak institusi keagamaan supaya mereka saling membunuh satu sama lain.
Insiden berdarah bulan Mei 1886 di Chicago Amerika Serikat yang dikenal dengan Haymarket Riot diduga berkaitan erat dengan ritual Beltane dan gerakan Illuminati. Di tengah konspirasi politik saat itu, penembakan polisi terhadap demonstran dipicu karena ada ledakan bom molotov sebelumnya, hingga sebagian polisi menjadi korban juga.
Siapa biang keladinya? Sejarah kontroversi mencatat bahwa demonstrasi tersebut diorganisir oleh Federasi Buruh Amerika yang dipimpin oleh seorang Yahudi kelahiran Inggris bernama Samuel Gompers. Sosok ini hampir luput dari tinjauan sejarah perburuhan Amerika. Dia adalah tokoh sosialis-komunis penganut sejati Marxisme yang berperan besar dalam tragedi Haymarket itu.
Seperti pendahulunya, Uriah Smith Stephens pemimpin sarikat pekerja Knights of Labor, Gompers juga dikenal sebagai anggota Freemason Illuminati. Kedua organisasi tersebut tergabung ke dalam The Federation of Organized Trades and Labor Unions.
Berdasarkan keputusan pengadilan yang telah disuap oleh kaum borjuis kapitalis, 7 dari 8 orang tersangka chaos anarkis divonis mati tanpa bukti-bukti. Sedangkan salah satunya bunuh diri dalam penjara. Sementara sang provokator, Samuel Gompers, berada dalam posisi aman sambil menikmati cerutu. Gubernur Illinois, John Peter Altgeld, mengungkap bahwa mereka tidak terbukti bersalah dan membebaskan 3 orang sisa tahanan yang batal dihukum gantung. Sehingga pernyataannya tersebut mengakhiri karir politiknya.
Lihatlah bagaimana para agen Masonik Iluminasi memanfaatkan situasi guna mencapai tujuan mereka! Lalu bagaimana 1 Mei dipilih menjadi hari buruh internasional sedangkan sebagian organisasi buruh lainnya mengusulkan tanggal 14 Juli? Padahal tragedi tersebut terjadi pada 4 Mei setelah sebelumnya demonstran mulai bergerak menjelang tanggal 1 Mei. Jauh hari sebelumnya juga mereka telah melakukan pemogokan. Di situ lagu kebangsaan Perancis La Marseillaise dikumandangkan dengan iring-iringan bendera berwarna merah.
Tidak menutup kemungkinan, kebetulan atau tidak, Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta bisa jadi ada sangkut pautnya dengan ritual May Day. Buktikan! Karena masih banyak lagi kejadian-kejadian masa lalu dan akan datang di bulan Mei.
Memanfaatkan Momentum
Tinggal saatnya kita mengkategorikan status apa yang orang kerjakan selama ini: Pekerjaan atau profesi apa yang termasuk pekerja buruh? Bagaimana mengidentifikasinya? Dilihat dari katanya itu sendiri, ‘buruh’ lebih terkesan seorang pekerja kasar dengan upah rendah dan jam kerja lewat batas. Seperti kuli bangunan, buruh tambang, karyawan pabrik tekstil dan sebagainya. Lain halnya dengan budak-budak belian, buruh tani yang hidup di pedesaan, atau juga penduduk Bali yang ngayah (kerja tanpa pamrih).
Tapi hal itu bisa saja menimpa seorang pekerja ‘halus’ freelance. Di satu sisi kita harus melihat tingkat kerumitan dan berat tidaknya pekerjaan. Di sisi lain kita harus lihat juga durasi pekerjaan. Dan terakhir adalah perbandingan pendapatan dengan dua sisi tersebut.
Kenyataannya bahwa sebagian besar masyarakat kita tidak terbiasa menanyakan gaji dan jam kerja terlebih dulu sebelum memulai suatu pekerjaan, khususnya buruh-buruh kasar yang akan melamar kerja. Kepolosan serta ketidaktahuan mereka dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengurangi hak-hak pekerja. Dalam hal ini surat perjanjian kerja sangat penting supaya terhindar dari kesalahpahaman. Padahal undang-undang ketenagakerjaan telah mengatur segala hal yang dibutuhkan baik oleh buruh maupun majikan.
Biar bagaimanapun kita patut menghormarti perjuangan buruh-buruh dalam upaya penuntutan keadilan tanpa kepentingan apapun sebagai sikap berunjuk rasa. Ini berlaku sepanjang masa dan tidak hanya di bulan Mei. Siapa orangnya yang tidak mau hidup dalam kesejahteraan.
Mayoritas buruh Indonesia tentunya mendambakan keberlangsungan hidup, masa depan yang gemilang. Terutama para pekerja dengan status kontrak, outsourcing dan musiman, hal ini merupakan impian yang sampai saat ini masih terkatung-katung. Jika tidak, tuntutannya hanya akan ada dua pilihan: naikkan upah atau kurangi jam kerja! Dan tuntutan pamungkas adalah “Beri penganggur tunjangan hidup!” [b]