Tua, bagi sebagian orang, hanyalah usia.
Begitu pula bagi Zawawi Imron, penyair asal Sumenep, Madura, Jawa Timur ini. Usianya sudah senja. Berjalan saja butuh bertopang tongkat. Namun sesungguhnya Ia masih muda. Seirama keyakinan jiwanya yang masih bagai remaja.
Gairahnya masih tetap sama. Berpuisi masih tetap dalam jiwa. Bagi Zawawi, puisilah yang menjadikan dirinya ada. Cintanya pada puisi terlihat dari masih giatnya Ia bergelut di bidang ini ditengah usianya yang sudah senja.
“Berpuisi itu untuk menyatakan perasaan kita. Berpuisi itu untuk menyatakan keberadaan kita,” kata Zawawi di sela-sela paparannya mengenai kisah dirinya terjun di dunia puisi.
Kisahnya berawal dari Zawawi muda yang belum genap berusia 15 tahun. Keinginan untuk berpuisi sudah ada sejak umur itu. Puisi yang ingin Ia kembangkan adalah puisi dengan bahasa ibunya, bahasa Madura.
Namun, keinginannya terhalang ketika seorang ustaz di wilayahnya mengatakan bahwa nahwu dan shorof, gramatika bahasa Arab, sebagai hal wajib yang harus dikuasai penulis puisi. Jika tidak mampu menguasai hal ini maka akan sulit orang tersebut menulis puisi, khususnya puisi Madura.
“Saya waktu itu belum genap berusia 15 tahun. Saya sakit hati dengan kata-kata itu dan tak mampu lagi menulis dalam bahasa Madura,” ungkap Zawawi.
Hal ini pun yang kemudian menjadikan Zawawi beralih dari puisi Madura ke puisi dengan Bahasa Indonesia. Uniknya, puisi dengan bahasa Indonesia ini dibuatnya secara ngawur. Ia pun tak takut dengan komentar ustaz. Sebab di masa itu, tidak ada ustaz yang fasih berbahasa Indonesia.
Kemahirannya menulis puisi semakin Ia asah ketika menjadi guru di sebuah madrasah. Sepulangnya dari pendidikan pesantren yang Ia tempuh selama delapan belas bulan, sebuah sekolah madrasah dibuka pertama kali di kampungnya. Zawawi pun diminta untuk mengajar anak didik kelas I dan II.
Di kala ia mengajar, anak-anak didik memintanya mengajar menyanyi. Akibat tantangan ini, Zawawi yang menyadari kemampuan menyanyinya kurang, kemudian membuat lagu sendiri. Lagu-lagu ini sesungguhnya merupakan puisi-puisi yang Ia nyanyikan. Mulai dari sinilah Zawawi merasa semakin nyaman menulis puisi.
Pada tahun 1964, Zawawi merantau Ke Banyuwangi. Di sana Ia berjumpa dengan Akhudiat, seorang tokoh Teater Nasional. Akhudiat begitu menginspirasi Zawawi, hingga Ia makin giat menulis dan melahirkan salah satu puisi terkenalnya berjudul, Ibu.
“Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir”*
* (Penggalan puisi Ibu, Karya Zarwawi Imron, 1966).
Pada awalnya puisi “Ibu” belumlah sempurna. Kemudian puisi ini Ia perbaiki di tahun 1966. Di puisi ini, Ia menggambarkan sebuah keindahan. Zawawi bercerita bahwa saat itu ia begitu dipenuhi perasaan akan keindahan seorang ibu.
“Ibu merupakan perempuan yang tercantik, manusia yang paling berjasa menurut saya,” papar jelas Zawawi.
Ibu dan Perempuan
Ke depannya, dalam tiap puisinya, Zawawi begitu terinpirasi dengan sosok ibu dan perempuan. Selain pada puisi ibu, sosok perempuan juga muncul di tema puisi lainnya yang berjudul, Amboina. Zawawi menekankan bahwa sosok ibu tidaklah terbatas hanya pada raga manusia.
Ibu sendiri sesungguhnya memiliki arti dan makna luas, misalnya Ibu Pertiwi, yang berarti tanah tempat kita berpijak. Lewat puisi-puisinya ini, Zawawi menjadi contoh manusia yang begitu menghargai sosok ibu dan perempuan.
“Setiap perempuan adalah saudara ibu saya. Tiap perempuan punya anak. Bahkan setiap laki-laki putra ibunya, maka dari itu muliakanlah perempuan. Setiap laki-laki yang memuliakan ibunya dan perempuan maka dia akan dimuliakan orang lain,” ujar Zawawi.
Walau berasal dari Madura dan sempat berkeninginan membuat puisi Madura, namun hingga kini Ia belum pernah menulis puisi dalam bahasa ibunya itu.
Bagi Zawawi, waktu yang telah mempertemukannya dengan puisi berbahasa indonesia. Sebab itu pula, Ia tetap bergelut di jenis puisi yang telah lama membesarkan namanya.
“Saya merasa lebih cocok dengan puisi berbahasa Indonesia. Walaupun tidak dengan bahasa Madura, namun sebagian puisi saya punya latar belakang Madura,” ungkap penyair yang menyelesaikan pendidikan di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Sumenep.
Penyair yang biasa disebut sebagai penyair lintas zaman ini telah banyak menginspirasi banyak pihak. Salah satunya sutradara Garin Nugroho yang terilhami kumpulan sajaknya yang berjudul, “Bulan Tertusuk Ilalang”. Garin Nugroho kemudian membuat film dengan judul serupa di tahun 1994.
Kumpulan sajaknya yang lain, “Nenek Moyangku Airmata” terpilih sebagai buku Puisi Terbaik dan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1985. Zawawi juga memperoleh beberapa penghargaan seperti S.EA Writer Award (2011) dan Hadiah dari Majelis Sastra Asia Tenggara (2011).
Pria kelahiran 1 Januari 1945 ini juga kerap diundang membacakan karya-karyanya dalam berbagai kegiatan sastra nasional maupun internasional seperti di Winternachten, Belanda, Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM), dan Majelis Asia Tenggara (Mastera). Karya-karyanya antara lain Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Bantalku Ombang Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), dan Madura Akulah Darahmu (1999).
Puisi-puisinya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Bulgaria.
Di usianya yang telah lebih dari setengah abad ini, Zawawi tetap menghasilkan karya-karya indah. Sajak-sajak puisi serasa mengalir mudah dalam pikirannya. Bahkan dalam dialog Sastra ke-50 yang bertempat di Bentara Budaya Bali pada Sabtu (9/4), Zawawi mengeluarkan sajak spontan yang begitu indah.
Sajak ini sekaligus menjadi penutup pada diolod sastranya. Dengan lantang Zawawi berujar, “Jejakku kutinggal di sini, tapi senyummu kubawa pergi”. [b]