
Inikah revolusi?
Pertanyaan ini mestinya saya layangkan pada akhir 2015 atau bila perlu ketika ogoh-ogoh mulai dibakar menjelang 1938 Saka. Tampaknya saat itu spirit revolusioner saya belum begitu memuncak. Namun kali ini bendera revolusi siap dikibarkan di tiang-tiang jiwa yang sedang terombang-ambing dalam deras ombak samudra neo-kolonialisme. Semoga kita berada di bawahnya. Tunggu apa lagi?
Saya bukanlah seorang ahli hukum, pakar tata negara ataupun politikus, apalagi dikasih embel-embel ‘pengamat’ di depannya. Tetapi sebagai bangsa yang berdaulat, yang perduli akan situasi tanah-airnya, tiada salahnya kalau mengkritisi salah satu program pemerintah dan memberikan sedikit pandangan-pandangan di dalamya. Bukankah itu suatu upaya bela negara juga?
Dalam hal ini saya berharap bahwa penguasa dan para pendukungnya tidak sekadar memberikan propaganda serta publikasi yang tidak mencerminkan dengan perbuatan si penggagasnya, yang pada akhirnya hanya menjadi slogan untuk mengelabui rakyatnya sendiri.
Berintropeksilah dahulu sebelum mengobral ideologi! Tidak cukup dengan memberikan ilustrasi contoh semata, semisal membuang sampah, budaya antre, etika di jalan, dan sejenisnya (lihat situs Revolusi Mental!). Studi tentang revolusi juga diperlukan guna menunjang peredarannya. Karena sekarang kita hidup di zaman intelek, bukan berada dalam masa berburu dan mengumpulkan makanan, bukan pula peradaban monarki nan barbar.
Semua masalah bisa diatasi dengan adu otak: berargumentasi, beralasan dan masuk akal. Bukanlah masanya kita beradu otot dengan hanya mengandalkan kekuatan fisik semata. Percuma, karena itulah yang diharapkan para penjajah baru untuk memecah belah persatuan.
Seperti kita ketahui, ‘revolusi’ bukanlah sebuah kata baru dalam kosakata bahasa Indonesia. Walaupun pertama kali saya mendengarnya pada pelajaran sejarah di bangku SD lalu menyaksikan filmnya (Pengkhianatan G30S/PKI), terasa miris dan terkesan radikal ketika dilekatkan pada kata ‘pahlawan’.
Dalam beberapa kamus, ‘revolusi’ berkonotasi pertumpahan darah dan coup d’état (kudeta). Ada juga yang mengatakan bahwa revolusi adalah suatu pemberontakan atau pergerakan yang menghendaki perubahan sistem. Seiring waktu, khazanah informasi mulai terbuka. Sejarah Orde Lama pun mulai tersibak setelah Reformasi 1998 –kendati ditunggangi kelompok liberal- berhasil menumbangkan kediktatoran kapitalis Orde Baru.
Oleh segelintir pro-sosialis, Bung Karno dielu-elukan kembali dan diakui sebagai pengguna aktif kata ‘revolusi’ dalam wacana suatu perubahan. Kita bisa menemukan kata tersebut pada sejumlah karyanya, baik tulisan maupun pidato orasinya.
Dalam sejarah dunia ada beberapa negara yang terkenal karena pernah menjalankan revolusi. Sebut saja di antaranya Perancis, Amerika, Inggris, Rusia, Cina, Turki, Kuba, Iran, dan Venezuela. Darinya melahirkan tokoh-tokoh terkemuka. Kita bisa mengkajinya lebih cermat lagi dalam literatur ilmu-ilmu sosial-politik, walau dalam kacamata seorang Tan Malaka sekalipun. Kita juga bisa mempelajari pemikiran para penggagas tersebut seperti halnya kita menulusuri sepak terjang Mahatma Gandhi di India. Tinggal mau mengacu ke mana?
Lalu, apa itu mental? Semacam keberaniankah, kejiwaan, ataukah berkaitan dengan watak?
Menurut beberapa sumber sejarah, kata ‘mental’ ini pernah mendampingi kata ‘revolusi’ yang dipopulerkan pertama kali oleh Karl Marx, Bapak Sosialis-Komunis (Marxisme) pada 1869. Katanya, program tersebut dibuat dalam rangka mencuci otak dan sebagai bentuk pengembangan faham sosialis-komunis di kawasan kapitalis Eropa.
Pada tahun 1919, istilah ‘revolusi mental’ pernah juga dipakai oleh pendiri Partai Komunis Cina, Chen Duxiu, berupa doktrin dan cuci otak terhadap para buruh dan petani dalam menentang kakaisaran Cina. Adapun di Indonesia, istilah tersebut konon mulai dipinjam oleh seorang pemuda Belitung bernama Dipa Nusantara Aidit. Setelah terpilih menjadi ketua PKI, dia berhasil menerapkan gerakan ‘Revolusi Mental’ kepada para kader dan ormas-ormasnya. Hal itu dianggap sebagai simbol perlawanan kepada kaum feodalis.
Di sini saya tidak akan mengidentikkan program Revolusi Mental dewasa ini dengan komunisme, tidak juga sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dan feodalisme. Tapi justru sebaliknya. Yang katanya nasionalis, demokratis dan populis, ternyata diam-diam bermitra dengan kapitalis asing dan cenderung mengarah ke liberalisme.
Buktinya, beberapa kebijakan internasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah lebih mengutamakan kepentingan asing daripada kepentingan nasional. Apakah ini sebuah bentuk balas budi ataukah memang berpartisipasi dalam penjajahan baru? Tak ayal, pemerintah sudah menampakkan keberpihakannya terlepas dari siapa yang diuntungkan: perusahaan asing, borjuasi nasional, politikus, atau rakyat jelata. Yang jelas, pertarungan antar kubu neoliberalisme vs kubu kapitalisme-rente berlangsung sengit, bahkan mereka saling mendemo sesuai kepentingan masing-masing di tengah berbagai konspirasi.
Saya teringat akan buku populer ‘Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan’ karangan seorang antropolog, Koentjaraningrat. Menurutnya, untuk mendefinisikan ‘mentalitas’ diperlukan suatu tinjauan budaya sehingga ia bisa menilai kualitas karya manusia. Maksudnya bahwa mentalitas adalah produk akal dan nurani sehat manusia yang bernilai dan bermanfaat.
Dikatakannya juga bahwa sikap mental bangsa Indonesia bersumber pada sistem nilai budaya sejak beberapa generasi terdahulu. Karena revolusi dan perubahan-perubahan sosial, maka muncullah sikap-sikap mental baru yang bersumber pada ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas.
Wajarlah jika budayawan Mochtar Lubis pernah berpendapat juga bahwa ciri khas mental manusia Indonesia adalah munafik dan feodalistik di samping artistik-mistik.
Jadi, bagaimana kita bisa memperbaiki sesuatu kalau sumber kerusakannya belum diketahui? Dan bagaimana kita mampu menghambat suatu akibat kalau penyebabnya tidak disumbat dulu? Dampak politik semenjak Orde Baru sampai kini masih terasa sehingga arus industri dan perdagangan hingga pariwisata masal memporakporandakan tatanan sosial serta sendi-sendi kehidupan. Ini diperlukan keseimbangan porsi antara politik kebudayaan dengan kebijakan ekonomi.
Dalam hal ini pendidikan moral harus dikedepankan, tentunya dengan mengubah sistem pendidikannya juga. Memberikan contoh yang baik juga harus dimulai dari pemerintah. Karena masyarakat itu tergantung dari tindak-tanduk atau prilaku pemimpinnya. Jika pemerintahnya tidak adil bahkan menindas rakyatnya, maka jangan heran apabila timbul banyak krisis dan masalah. Untuk sementara mungkin disiplin murni dan percaya dirilah yang bisa mengubah kebiasaan buruk dan kronis itu.
Seputar Kebijakan
Lihatlah sepanjang periode 2015-2016! Ada sebagian peraturan pemerintah yang tampaknya perlu dikaji. Terutama Perpres no. 69/2015 yang ditetapkan bulan Juni lalu -sebagai pengganti Kepres no. 18/2003 dan Perpres no. 43/2011- tentang bebas visa kunjungan bagi WNA.
Semula hanya 15 negara yang dibebaskan, lalu menjadi 45 negara. Kemudian muncul Perpres no. 104/2015 dan berubah lagi menjadi 75 negara. Australia yang sebelumnya tidak terdaftar, sekarang menjadi bagian di dalamnya –menyusul penandatangan baru Perpres no. 21/2016 pada 2 Maret lalu, yang pemberlakuannya masih simpang siur. Bersamaan dengan itu, 11 negara dicoret dari daftar bebas visa. Sehingga total negara bebas visa sementara ini berjumlah 169 negara.
And so, timbal baliknya apa geto loh?
Ini menunjukkan kelabilan dalam menjalin hubungan internasional. Entah apa alasan sebenarnya, walaupun pemerintah selalu menghubungkannya dengan devisa negara: ekonomi dan pariwisata. Di satu sisi, alasan pembatalan 11 negara lain –karena menyangkut keamanan negara- tidak selaras dengan alasan penambahannya.
Jadi, seberapa amankah negara-negara maju di benak pemerintah? Adakah negara yang paling berbahaya di dunia selama ini terutama dalam penyebaran faham dan peredaran narkoba? Bagaimana dengan human traficking dan cyber crime?
Hal ini membutuhkan pertimbangan dan diplomasi serius, tidak cukup 1 hari untuk memutuskannya, meski sekedar untuk memberikan cuma-cuma 30 hari masa izin tinggal.
Tapi kalau memang ekonomi ingin dijadikan landasan ideologi sebaiknya tengoklah dahulu: negara mana saja yang layak dibebaskan. Untuk negara-negara miskin dan berkembang it’s ok lah, no problem. Tetapi bagaimana dengan negara-negara yang mata uangnya bercokol di money changer?
Padahal sebelumnya mereka hanya diberikan fasilitas VOA (visa on arrival-visa kedatangan) saja di mana turis-turis bisa mengurusnya langsung di bandara atau di pelabuhan. Biaya yang dibebankan kepada masing-masing bukanlah masalah besar. Sementara kunjungan wisatawan pun masih stabil. Mereka, bahkan bagi sekelas backpacker pun, masih mampu membayar meskipun dinaikkan tarifnya. Karena di sana tunjangan hidup bagi penganggur masih lebih tinggi daripada upah minimum di Indonesia, dan menjelajah dunia sudah menjadi bagian dari tradisi mereka.
Bandingkan dengan WNI yang melancong ke luar negeri! Berapa negara yang memberikan kemudahan bagi pemegang paspor RI? Pasti tidak sebanding dengan jumlah di atas. Hanya 32 negara yang membebaskan visa, dan 30 negara yang memfasilitasi visa kedatangan. Itu pun mayoritasnya berasal dari benua Asia, Afrika dan Amerika Latin! Terkait usulan bebas visa Schengen pun masih dipertanyakan, dan pemerintah kita masih mimpi di siang bolong menunggu tanggapannya. [Schengen: nama desa di Luxemburg yang dijadikan tempat penandatanganan perjanjian antar 30 negara Eropa guna menghapuskan kontrol lintas batas di antara mereka]
Jangankan mendapatkan visa-free dari negara-negara favorit, VOA pun tiada malahan hanya bersyarat kadangkala dipersulit. Kita benar-benar rendah di mata mereka. Kita senantiasa harus mengajukan permohonan dulu ke kedutaan dan menunggu lama keputusannya, walaupun ada 13 negara yang menyediakan elektronic-visa. Ya mendingan kalau diterima, kalau ditolak?
Pemerintah membela diri bahwa seolah-olah tanpa bebas visa bagi WNI akan mengurangi pembelian uang dolar di Indonesia. Lha, yang sering berurusan dengan dolar tuh sopo mas? Lalu bagaimana dengan eksportasi TKI yang tiap tahun makin bertambah? Bukankah timbal balik dan azas manfaat yang dibutuhkan tidak hanya berupa materi?
Ini baru seputar bebas visa, belum peraturan baru lainnya yang bersangkutan dengan orang asing, seperti properti asing, izin tenaga kerja asing, penghapusan kewajiban berbahasa Indonesia, perusahaan dan investor asing, penggunaan mata uang rupiah, izin media massa asing, sekolah internasional, rumah sakit internasional dan lain-lain.
Dalam PP no. 103/2015 disebutkan bahwa orang asing boleh memiliki tanah dan hunian. Meskipun statusnya hanya hak pakai yang dibatasi sampai 30 tahun dengan masa perpanjangan 20 tahun dan diperbarui kembali sampai 30 tahun, tapi jelas ini akan meruntuhkan kedaulatan nasional. Karena total batas waktu yang ditentukan itu hampir sama dengan seumur hidup manusia rata-rata.
Hal ini bertentangan pula dengan UU Pokok Agraria no. 5/1960. Bayangkan seandainya tanah-tanah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan properti dan realestat untuk dijadikan pasar hunian asing! Otomatis harga-harga tanah di Indonesia akan melambung. Orang asing yang bekerja di Indonesia pun akan lebih leluasa lagi.
Akhirnya, kita belajar bahasa asing itu hanya untuk mempersiapkan kedatangan mereka saja, minimal sebagai referensi bacaan, bukan untuk melihat dunia luar. Mengenai kebijakan pemerintah lainnya, silakan Anda bisa analisa sendiri dan mendiskusikannya!
Saya tidak meminta pemerintah agar NKRI menjadi negara anti-asing. Tetapi berhati-hatilah dalam membuat peraturan baru, dan lebih selektiflah dalam menjalin hubungan! Dengan siapa sebaiknya kita menaruh kepercayaan. Karena negara imperialisme modern bersembunyi di balik kucuran-kucuran dana bantuan. Dan tidak menutup kemungkinan juga apabila kebijakan-kebijakan internasional telah disponsori oleh gangster neoliberal yang akan memberikan kenyamanan pada perusahaan transnasional dan multinasional, lalu akan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya demi mereka sendiri. Biar bagaimanapun kitalah yang dibutuhkan mereka, bukan kita yang membutuhkan mereka!
Coba pertimbangkan, ini menyangkut mentalitas pemimpin sederhana kalau ingin mengubah nasib bangsanya, dan anggap saja semacam psikotes ulang: berapa jumlah warga negara asli yang belum punya tempat tinggal; berapa jumlah penduduk yang tidak berpenghasilan; setarakah UMR dengan upah tenaga kerja asing; mengapa orang mau bekerja di luar negeri; berapa banyak petani dan nelayan yang kehilangan lahannya? Andaikata semua sumber daya alam dan manusia dieksploitasi semua oleh asing, mungkin generasi bangsa kita selanjutnya hanya akan bisa membayar utang-utang negara saja.
Nah, bela negara pun percuma kalau musuh utamanya belum diketahui. Jangan-jangan selimut harum kita sudah dipenuhi kutu-kutu busuk. Sudah terpancangkah tiang-tiangmu sebagaimana penjor-penjor yang berderet kokoh menyambut hari kemenangan? [b]