Karangasem termasuk kabupaten di Bali yang eksotik.
Kabupaten ini penuh pesona indah, alam menawan maupun budaya yang beragam. Akan tetapi, sorotan masyarakat umum mengenai hanyalah mengenai kekeringan di kabupaten ini. Padahal, Karangasem punya banyak hal menarik.
Kabupaten paling timur di Bali ini juga memiliki budaya unik yaitu Bali Aga atau Bali Mula. Hal menarik lainnya adalah puncak tertinggi Bali yaitu Gunung Agung.
Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali, 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl). Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa Gunung Agung adalah tempat bersemayamnya dewa-dewa. Masyarakat juga mempercayai bahwa digunung ini terdapat istana dewata.
Oleh karena itu, masyarakat Bali menjadikan tempat ini sebagai tempat kramat yang disucikan. Oleh karena itu pendaki perempuan yang sedang datang bulan tidak diperbolehkan untuk mendaki gunung ini.
Kali pertama saya mendaki Gunung Agung adalah untuk “nunas” tirta di Tirta Mas, salah satu sumber mata air suci di lereng Gunung Agung. Saya juga menghaturkan “pakelem” atau sesajen di kawah Gunung Agung sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta.
Jalur pendakian ketika itu adalah jalur selatan lewat Desa Sebudi, Kecamatan Selat. Jalur ini merupakan jalur tersingkat karena pendaki dapat membawa kendaraan sampai ke Pura Pasar Agung di Desa Sebudi yang terletak di ketinggian kurang lebih 1.500 mdpl.
Tahun 2015 merupakan kali keempat saya mendaki Gunung Agung dan kali pertama juga menggunakan pakaian layaknya pendaki masa kini. Beda dengan pendakian sebelumnya yang menggunakan pakaian adat Bali karena harus “nunas” tirta sebagai sarana upacara besar di Desa Besan.
Pendakian keempat saya ini ditemani pemandu yang bernama I Wayan Tegteg. Dia menjadi pemandu (local guide) mendaki Gunung Agung Karangasem sejak tahun 2000 ketika beliau manjadi seorang guru SD.
Saya menggunakan pemandu karena memang diwajibkan oleh pemerintah Karangasem untuk mengantisipasi tersesatnya pendaki. Tidak seperti ketika saya ‘nunas” tirta yang langsung dipandu oleh “pemangku” Pura Pasar Agung yang sekaligus salah satu juru kunci Gunung Agung.
“Sekarang saya sudah pensiun tapi masih bisa tiga kali naik gunung dalam seminggu kalau cuaca bagus,” kata Tegteg ketika usai sembahyang di Pura Pasar Agung sebelum memulai pendakian.
Untuk menggunakan jasa pemandu cukup dengan membayar Rp 800.000 – Rp 1.000.000, tergantung jumlah rombongan yang akan mendaki.
Dia biasanya memandu paling banyak tiga orang. Bisa juga dua orang saja. “Namun, namun kalau pendakinya satu orang juga saya bisa temani kalau harganya cocok,” katanya.
Khusus pendaki lokal, Tegteg sering memberikan diskon meskipun masih dianggap mahal bagi mereka. “Tapi, kalau turis (asing) dikasi harga segitu masih dibilang murah, karena dengan harga segitu saya kasi peralatan lengkap seperti tongkat, senter dan sarapan,” ujarnya.
Tegteg juga membawakan air hangat juga untuk menyeduh kopi dan roti untuk bekal di puncak. “Agar pendaki yang saya pandu punya kenangan pernah ngopi di puncak tertinggi Bali,” tambahnya.
Kami menerobos dinginnya malam jalur pendakian Gunung Agung karena kami memulai perjalan sekitar pukul 00.30 wita.
Dukanya jadi pemandu menurut Tegteg adalah ketika kehujanan, cuaca buruk, serta orang yang dipandunya tidak bisa berjalan. Sedangkan sukanya adalah dia mencintai pekerjaannya ini, selain dapat olahraga juga mendapatkan uang.
Untuk menjadi pemandu yang baik sifat dan cara komunikasinya, Tegteg juga terus meningkatkan kemampuan komunikasinya. Dia sampai membeli buku bahasa Inggris pada tahun 2000. “Buku itu masih dan saya pelajari karena sampai saat ini kebanyakan pengguna jasa saya adalah turis asing,” tambahnya.
Selain itu, Tegteg juga menjelaskan beberapa pantangan saat naik Gunung Agung. Seperti gunung pada umumnya, Gunung Agung pun memiliki pantangan-pantangan bagi para pendaki.
Pantangan tersebut adalah:
1. Dilarang membawa makanan atau benda yang berbahan daging sapi selama pendakian
2. Dilarang memiliki niat buruk saat pendakian
3. Dilarang meminum mata air suci tanpa sepengetahuan pihak berwenang
4. Dilarang buang sampah sembarangan
5. Harus menjaga kelestarian alam Gunung Agung
6. Wanita yang datang bulan dilarang mendaki
7. Dilarang berkata kasar
8. Tidak boleh mendaki bertepatan dengan upacara adat.
Pesan untuk para pendaki gunung pun selalu berlaku. Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Jangan mengambil apapun kecuali foto. Jangan membunuh apapun kecuali waktu.
Lima jam sudah terlewati, sampailah kami di puncak tertinggi Bali. Disambut matahari terbit yang sangat indah. Kami berasa seperti di negeri atas awan karena awan ada jauh di bawah kaki kami.
Kami pun mengabadikan pemandangan indah tersebut.
“Ingat kalau mau menggunakan jasa saya cukup email saja ke tegtegwayan@yahoo.co.id,” pesan I Wayan Tegteg kepada para pendaki yang dipandunya. [b]