Presiden punya hak untuk memberi grasi.
Jadi, mintalah grasi, bagi tahanan yang mulai frustasi, dengan rumitnya jalur hukum di republik ini. Contohnya Schapelle Leigh Corby. Narapidana perempuan dari Australia yang ditahan di Bali itu telah merasakan nikmatnya menerima grasi.
Tapi kalau yang tak diberi, artinya harus mendekam di bui lebih lama lagi.
Pertengahan 2013 lalu saya bertemu dengan Metta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Kata Data dan bekas wartawan TEMPO. Saya pribadi memanggilnya mas Metta. Saya menjemputnya di bandara Ngurah Rai, Bali. Dia datang menjelang siang hari.
Saya dan beberapa anggota Akademika lainnya mengundang dia untuk mengisi materi di acara Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL). Pesertanya dari berbagai universitas di Indonesia baik negeri maupun swasta.
Kami naik taksi dari bandara menuju tempat pelatihan di daerah Kerobokan, Badung. Saya bertanya tentang Vincent kepada Metta di dalam taksi. Vincent adalah pembocor rahasia pajak Asian Agri Group yang merupakan induk perusahaan Raja Garuda Mas (RGM) milik Sukanto Tanoto.
Metta menjelaskan, kalau saat ini Vincent telah bebas dan sedang membuka usaha catering. “Tapi harus terus diawasi karena bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan menimpanya,” kata Metta.
Vincent resmi masuk dan menghuni rumah tahanan Kepolisisan Daerah Metro Jaya pada 11 Desember 2006. Dia dijebloskan ke penjara karena terlibat kasus pencurian uang perusahaan Asian Agri senilai US$ 3,1 juta dan baru dicairkan Rp 200 juta.
Sebelum menghuni rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Vincent sempat melarikan diri ke Singapura. Dia melarikan diri karena mendapatkan ancaman dari pihak Asian Agri. Dalam pelarian itulah Vincent mengancam akan membocorkan skandal pajak Asian Agri Group jika pihak Sukanto Tanoto terus mengancamnya.
Metta mengeluarkan laporan investigasi skandal pajak ini dalam bentuk buku berjudul “Saksi Kunci”. Bagi saya yang menarik dari laporan investigasi itu adalah upaya pria bernama lengkap Vincentius Amin Sutanto atau Vincent dalam mencari keringanan hukuman.
Dalam laporan investigasi “Saksi Kunci” sosok Vincent digambarkan sebagai seorang whistleblower atau peniup peluit. Istilah ini dipakai bagi para pelaku kejahatan atau kriminal, namun pelaku kejahatan tersebut bersedia untuk mengungkapkan kejahatan lain yang lebih besar sehingga merugikan negara.
Bahkan di Amerika ada undang-undang federal the False Claims Act atau Lincoln Law yang sudah ada sejak 1863. Undang-undang ini menjelaskan bagaimana seorang whistleblower bukan hanya harus dilindungi keselamatannya, tapi juga bisa mendapatkan imbalan berupa uang.
Sayangnya meski sebagai whistleblower, nasib Vincent benar-benar tak mujur. Singkatnya, Vincent harus mendekam di penjara selama 11 tahun setelah melewati berbagai persidangan termasuk upaya banding. Gagal dengan berbagai upaya banding untuk meringankan hukumannya, Vincent ajukan grasi kepada Presiden. Tapi gagal juga.
Susilo Bambang Yudhoyono lebih memilih mengampuni bandar “mariyuana” daripada mengampuni penyelamat uang negara triliunan rupiah. Schapelle Leigh Corby yang kedapatan membawa 4,2 kg ganja di Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004. Corby pun divonis hukuman penjara 20 tahun pada 27 Mei 2005.
Presiden memberikan grasi kepada Corby pada 15 Mei 2012. Grasi itulah yang mengurangi hukuman Corby dari 20 tahun menjadi 15 tahun.
Nasib Corby jelas lebih mujur dari Vincent. Namun, tak semua tahanan suka dengan pemberian grasi oleh presiden. Tak semua tahanan di republik ini juga suka dikasihani presiden.
Contohnya tahanan politik Filep Karma yang ditahan Pengadilan Negeri Abepura dan memperoleh hukuman 15 tahun penjara pada 27 Oktober 2005. Dia ditahan karena mengibarkan bendera Bintang Kejora pada saat upacara memperingati ulang tahun kedaulatan Papua pada 1 Desember 2004.
Karma menolak dengan alasan jika ia menerima grasi tersebut berarti ia mengakui bahwa ia salah. Karma balik meminta presiden untuk membebaskan papua dari kolonialisme Indonesia.
Dalam situsnya, Human Right Watch berpendapat “Para narapidana juga memiliki hak, dan mengabaikan hak-hak itu bukanlah cara merayakan Hari Hak Asasi Manusia,” kata Elaine Pearson, Wakil Direktur Asia dari Human Rights Watch.
“Memenjarakan pesakitan politik merupakan hal memalukan dan sangat jauh dari gambaran negara demokrasi modern yang berusaha digagas Indonesia,” ujar Pearson.
Memasuki tahun politik 2014 kita dihadapkan pada banyak persoalan yang belum kelar di negara ini. Dari masalah korupsi hingga pelanggaran HAM. Dari Sabang sampai Merauke. Kita dituntut unutuk memilih pemimpin negeri ini selanjutnya. Setelah SBY turun dari kursi terhormatnya. Lagi dan lagi. Selain memilih kita hanya bisa berharap. Semoga yang terpilih kelak dapat memberikan haknya kepada yang pantas mendapatkan hak.
Grasi hanya contoh mungil dari setumpuk permasalahan yang serius di negeri ratusan suku ini. Dari negeri yang hanya mengakui lima agama ini. Dari negeri yang pemimpinanya pemurah ampun ini. Pemurah ampun untuk pengedar ganja bukan penyelamat uang negara. [Asykur Anam]