Sebagai destinasi wisata, Bali dinilai sudah mencapai titik jenuh.
Kejenuhan tersebut dapat dilacak dari makin berkurangnya lama tinggal wisatawan. Mereka memang bertambah, tapi tinggal makin sebentar.
Pada 1968 jumlah wisatawan asing ke Bali baru berjumlah 10.997 orang. Pada 1983 jumlahnya mencapai 170.505 orang. Berarti dalam kurun waktu tersebut terjadi kenaikan rata-rata sebesar 22,9 persen (Erawan, 1994). Sedangkan pada 2012 jumlah kunjungan wisman ke Bali telah menyentuh angka 3 juta wisatawan (BPS Bali,2012).
Bila pada 1990-an, yaitu pada saat pariwisata Bali mengalami puncak keemasannya, lama tinggal atau length of stay (LoS) masih berada pada angka 5-6 hari, maka pada 2012 LoS hanya berkisar 2-3 hari.
Ada apa di balik fenomena ini?
Dari sisi Bali sebagai destinasi, banyak kalangan terutama kelompok akademisi dan pemerhati lingkungan sejak era 90-an sudah melontarkan kerisauannya perihal carrying capacity Bali. Jumlah kunjungan wisatawan yang semakin bertambah berimbas kepada meningkatnya tekanan dan eksploitasi sumber daya alam, khususnya lahan dan air.
Sebagai sebuah sosio-ekosistem pulau kecil, Bali memiliki keterbatasan dalam menyangga sistem peradaban modern di atasnya. Kelompok ini juga menyoroti persoalan makin jauhnya pola kehidupan sosial masyarakat Bali dari akar kulturnya, yakni budaya agraris.
Telah terjadi marginalisasi dan degradasi budaya lokal cukup serius akibat desakan gelombang modernisasi melalui kendaraan industri pariwisata.
Sebagai tawaran solusi dari gempuran persoalan yang saling berkelindan tadi, pernah muncul beberapa beberapa pemikiran. Pertama, memperjuangkan penerapan Otonomi Khusus (Otsus) untuk Bali. Pemikiran ini beralaskan asumsi bahwa dengan pemberlakuan Otsus bagi Bali, maka Provinsi Bali akan bisa lebih leluasa mengelola pembangunannya sesuai dengan kondisi lokalitas.
Telah terjadi marginalisasi dan degradasi budaya lokal cukup serius akibat desakan gelombang modernisasi melalui kendaraan industri pariwisata.
Hal ini terutama berkaitan dengan kucuran anggaran yang lebih besar sebagai konsekuensi pemberlakuan Otsus. Dengan dukungan anggaran besar, Pemda bersama-sama masyarakat Bali akan bisa melakukan pemulihan dan restorasi kebudayaan sehingga tetap bisa menopang peradabannya.
Gagasan otsus beberapa kali dirumuskan dengan berbagai versi namun endingnya selalu berujung antiklimaks. Representasi masyarakat dan pemda Bali gagal menjelaskan urgensitas isu Otsus tersebut kepada otoritas di pusat kekuasaan (Jakarta).
Kedua, memberlakukan moratorium (jeda) pembangunan fasilitas pariwisata khususnya hotel di kawasan Bali Selatan. Ide ini muncul cukup kuat pada saat terjadi polemik pembahasan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi tahun 2010. Ide moratorium bukan hanya disuarakan oleh kalangan pengamat semata, namun juga kelompok praktisi dan pelaku industri pariwisata. Bahkan pejabat Menteri Pariwisata yang merupakan putera Bali pun sempat melontarkan ide tersebut dalam berbagai forum yang diliput media massa secara luas.
Namun, setali tiga uang dengan isu Otsus, gagasan moratorium pun lunglai dan kandas di tengah jalan.
Apakah ada jalan tengah dari polarisasi kedua pemikiran tadi?
Tulisan singkat ini mencoba mengajukan sebuah gagasan jalan tengah dari polarisasi kedua pemikiran dalam menyelesaikan masalah kejenuhan pariwisata Bali ini.
Gagasan jalan tengah ini ingin menawarkan sebuah konsep pemikiran yang diharapkan bisa menjadi ide alternatif di tengah kebuntuan diskursus dalam merespons wacana ‘ke mana arah pengembangan pariwisata Bali ke depan?’.
Tawaran solusi tersebut adalah ‘mengdesain Bali sebagai hub bagi Bali beyond di Nusantara’.
Bali Harus Berbagi
Bali sebagai hub maksudnya ialah Bali harus bersedia memainkan perannya sebagai simpul atau pusat penyebaran wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Pamor dan nama besar Bali yang telah melintasi bilangan abad memberi pengaruh dan kekuatan tersendiri di dunia global.
Berkali-kali Bali dinobatkan sebagai destinasi wisata terbaik oleh lembaga-lembaga dunia internasional dengan reputasi yang dipercaya. Hal ini membuktikan bahwa branding Bali sudah sedemikian kuat.
Modal inilah yang semestinya bisa dimainkan oleh Bali dalam percaturan industri pariwisata dunia. Dengan nama besar dan pamor yang telah dimiliki, Bali harus tampil di depan untuk menggaet pasar wisata global. Namun, setelah pasar wisata tersebut diperoleh, Bali pun harus legowo membagi-banyediakan gikan kunjungan wisatawan tersebut kepada daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Sudah barang tentu daerah-daerah lainnya harus memiliki kesiapan dalam menyambut kedatangan wisatawan dengan mengembangkan potensi-potensi terpendam yang dimiliki. Pemerintah pusat pun, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) dan Kementerian Perhubungan harus mampu menjadi fasilitator dalam menyediakan berbagai paket kebijakan yang bersifat melancarkan sirkulasi pergerakan wisatawan dari Bali ke daerah-daerah lainnya. Secara politis, aspirasi masyarakat Bali agar dapat menjadi daerah dengan status Otonomi Khusus pun semestinya diperhatikan dengan serius oleh Pemerintah Pusat.
Dengan peran penting yang dimainkan oleh Bali selama ini sebagai barometer pariwisata tanah air, tentu Provinsi Bali membutuhkan pendanaan lebih besar untuk mengelola kepariwisataan bereputasi global yang lebih berkualitas.
Bali, yang secara geopolitik memiliki keunggulan posisi geografis, semestinya bisa seperti Singapura, dalam konteks yang sedikit berbeda, yakni industri pariwisata.
Contoh nyata tentang model hub ini adalah dengan melihat peran yang dimainkan Singapura dalam sektor perdagangan dan jasa internasional. Singapura sebuah negara dalam pulau yang kecil mampu memainkan perannya dalam sirkulasi tata niaga kawasan maupun global. Sejak zaman kolonial, Singapura yang ketika itu disebut Malaka, memiliki posisi strategis sebagai simpul tata niaga kawasan, bahkan global.
Bali, yang secara geopolitik memiliki keunggulan posisi geografis, semestinya bisa seperti Singapura, dalam konteks yang sedikit berbeda, yakni industri pariwisata.
Spirit Hub
Agar bisa berperan sebagai hub, Bali (masyarakat, pemerintah, industri/pelaku pariwisata) harus bisa belajar dari filosofi yang telah dihayati berabad-abad silam. Masyarakat Bali memahami betul filosofi Cakra Yajnya. Konsep ini menekankan keutamaan berkorban demi kepentingan orang lain lewat aktivitas meyajnya/mebanten secara ikhlas demi keseimbangan alam yang dilakukan secara berlanjut dan rutin dari waktu ke waktu.
Bayangkanlah berapa banyak sistem perekonomian yang telah berputar, tidak hanya di Bali, bahkan jauh ke luar pulau. Sebuah canang sari, unit terkecil dari simbolik yajnya, yang dijadikan persembahan di Bali telah memberikan pendapatan bagi sekelompok orang di Kabupaten Jember, Jawa Timur, karena janur sebagai bahan sesaji dihasilkan di wilayah Jember.
Manusia Bali juga mengenal kearifan lokal nempahang rage dan cenik lantang. Nempahang rage berarti kepiawaian manusia Bali dalam menempatkan diri di tengah konstelasi di sekitarnya. Tahu posisi dan sadar akan peran. Sehingga orang lain merasa nyaman dan lapang.
Cenik lantang bermakna kecil (cenik berarti kecil, lantang berarti panjang)) namun berlanjut, yakni menghargai hasil yang kecil namun berkelanjutan. Berkecukupan dengan apa yang bisa dihasilkan. Bali juga mengenal konsep lokal druwenang sareng (miliki bersama), sebuah konsep yang menggambarkan pola pikir dan perilaku untuk memiliki bersama apa yang ada. Menjadikan semuanya sebagai milik bersama.
Niscaya bila berbagai spirit dan filosofi lokal tersebut direvitalisasi dan dihayati ulang maka ia akan bisa menjadikan masyarakat Bali menjadi pionir dalam sikap berbagi ‘kue pariwisata’ dengan daerah lain di Indonesia.
Tiga Peran
Ketika memposisikan diri sebagai hub kepariwisataan Nusantara, provinsi Bali akan memainkan sekurang-kurangnya tiga peran penting.
Pertama, menjadi etalase atau wajah depan Indonesia. Peran sebagai etalase ini lebih banyak berhubungan dengan upaya mempromosikan pariwisata Nusantara dengan menggunakan Bali sebagai etalase. Daerah-daerah provinsi di Indonesia nantinya bisa membuka semacam anjungan di pulau Bali sebagai tempat promosi pariwisata bagi daerah mereka.
Dengan tersedianya anjungan berbagai daerah di Indonesia tersebut di Bali, maka wisatawan akan bisa mengenal dan mempelajari berbagai obyek yang ada di daerah-daerah tersebut.
Selama ini upaya ini mungkin sudah dilakukan oleh beberapa provinsi, seperti Jawa Barat yang memasang baliho iklan pariwisatanya di beberapa ruas jalan strategis di Bali. Namun upaya tersebut masih bersifat parsial dan tidak dilakukan secara sinergis dengan daerah-daerah lainnya, sehingga dampaknya kurang bisa dirasakan.
Kedua, menjadi simpul dari pendistribusian tujuan kunjungan turis di Nusantara. Bali harus bersedia membagi wisatawan yang datang ke ‘rumah’nya untuk disebar ke daerah-daerah lainnya di Nusantara.
Pada 2013 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali mencapai angka di atas 4 juta wisatawan. Bila dikaitkan dengan kemampuan lingkungan dan sumber daya alam Bali dalam melayani kebutuhan jutaan wisatawan tersebut, sudah barang tentu akan terjadi eksploitasi atau tekanan yang berlebihan terhadap sumber daya alam Bali, seperti air tanah, lahan, dan udara yang bersih.
Sebuah studi, misalnya menemukan besarnya volume air yang dikonsumsi oleh akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung, yakni 1.500 liter per kamar per hari, jauh lebih besar daripada kebutuhan air bersih yang hanya 120 liter per kapita (Atmaja, 2002).
Maka, dalam konteks Bali sebagai hub, kunjungan wisatawan ke Bali tersebut haruslah dibagi kepada daerah lain di Indonesia, misalnya Yogyakarta, Lombok, Sulawesi, Sumatera Utara, Papua, dan lainnya. Pada saat wisatawan baru tiba di Bali, atau jauh hari sebelum mereka sampai di Bali, para wisatawan tersebut sudah diperkenalkan tentang kekayaan alam dan budaya yang dikunjungi oleh calon wisatawan sehingga memberikan mereka alternatif destinasi lain setelah usai mengunjungi Bali. Pola lain ialah bisa saja Bali hanya menjadi tempat transit dan wisatawan langsung menuju daerah-daerah tersebut.
Ketiga, Bali harus menjadi laboratorium kepariwisataan Indonesia, sehingga Bali bisa berbagi ilmu pengetahuan kepariwisataan kepada daerah lainnya. Dari Bali, kepariwisataan Nasional bisa dikaji, didesain, dievaluasi, baik dalam aspek pengembangan destinasi maupun dalam pengelolaan industri pariwisata.
Kampus Pariwisata di Bali, termasuk Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, harus bisa memainkan peran sebagai dapur pemikiran bagi segenap konsep-konsep kepariwisataan mutakhir.
Peran ini bisa ditopang dengan menjadikan pengalaman-pengalaman Bali berpuluh-puluh tahun mengelola kepariwisataannya. Dalam konteks ini, kehadiran dan peran berbagai kampus Pariwisata di Bali, termasuk Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, harus bisa memainkan peran sebagai dapur pemikiran bagi segenap konsep-konsep kepariwisataan mutakhir. Kampus pariwisata tidak hanya harus cekatan dalam mempersiapkan tenaga-tenaga terampil di bidang pariwisata, namun juga harus mengasah terus-menerus pisau analisisnya dalam membedah problem-problem kepariwisataan tak hanya di Bali, namun juga daerah-daerah lain di Indonesia.
Dengan dilakukankannya ketiga strategi di atas, maka diharapkan Bali akan bisa membantu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.
Dengan berbagi dan berperan sebagai hub, Bali akan bisa menjadi center of tourism, tempat belajar bagi daerah-daerah lainnya di Indonesia, bahkan dunia internasional. [b]
Keren Coret-coretannya pak.. ^_^
Bahasan yg berat Pk, tpi memang perlu sekali dibahas ni, jangan sampai menjadi stagnan