Oleh Bagus Kresna
“Kok acaranya belum mulai juga sih?” keluh beberapa mahasiswa Universitas Udayana sambil memainkan gadgetnya.
Sejak pukul 3 sore Wita para hadirin sudah banyak yang menunggu di dalam Gedung Teater Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud). Tujuannya untuk menyaksikan peluncuran buku Gung Rai: Kisah Sebuah Museum.
Nyatanya, pada pukul 5 sore acara baru dimulai.
Ir. Jero Wacik, SE memasuki ruangan bersama para ajudannya. Dia didampingi Anak Agung Gede Rai selaku orang yang diangkat pada buku biografinya. Langsung saja Frischa Aswarini sebagai pembawa acara menyambut para undangan seusai band penghibur selesai melantunkan lagu-lagunya.
Secara bergiliran perwakilan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (Stikom), Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Alfa Prima, Sekolah Tinggi Informatika & Komputer Indonesia (STIKI), Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) dan Unud disebut satu-persatu oleh Frischa.
Menurut Vanesa Martida, ketua UKM Udayana Sience Club (USC), acara ini bertujuan untuk mengajak generasi muda lebih dekat dengan budaya.
Acara peluncuran buku Gung Rai: Kisah Sebuah Museum ini bisa terselenggara karena kerja sama dengan Agung Rai Museum of Art (ARMA). “Founder Museum ARMA sepertinya bersahabat dengan Pak Menteri, makannya beliau bisa hadir,” jelas Vanesa tentang kehadiran Jero Wacik.
Jero Wacik sendiri memberikan sepatah dua patah kata kepada saudaranya. Menurut Jero Wacik, semua orang di dunia ini bersaudara. Jadi wajar saja Jero Wacik yang merupakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan testimoninya terhadap peluncuran buku Gung Rai dengan penuh semangat.
Tangan mengepal dan sorot matanya yang tajam menegaskan keseriusan dalam menceritakan sedikit pengalamannya saat mewakili Indonesia pada pertemuan menteri kebudayaan di Prancis beberapa tahun silam. Sambil diiringi sedikit candaan, ada satu kalimat yang mempertegas alasan kenapa dirinya dan Agung Rai bisa menjadi diri mereka seperti saat ini.
“Orang Bali harus percaya diri,” ujarnya saat memberikan testimoninya.
Dengan menjadikan dirinya dan Gung Rai sebagai contoh orang miskin Bali yang kini sukses, ia berharap agar generasi penerus Bali tidak ada lagi yang menjelek-jelekkan tanah kelahirannya sendiri.
Di akhir testimoninya tidak lupa Jero Wacik menyisipkan sedikit saran kepada Rektor Unud untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada seni dan budaya. “Untuk Universitas Udayana karena berada di Bali yang kental akan kebudayaannya, maka perhatian pada kebudayaan harus lebih tinggi,” katanya.
Wacik melanjutkan, memang society-nya sudah hidup. Tanpa harus didukung oleh universitas juga mereka sudah hidup, tapi perlu diapresiasi. Perhatiannya harus diberikan lebih banyak dan sering diberikan award. “Yang penting Unud itu mendorong karena societynya sudah hidup,” tegas Pak Jero Wacik saat diwawancara.
Umumnya keseluruhan acara berjalan alot diawali dengan sambutan dari Gung Rai yang ditulis di buku biografinya. Berikutnya acara dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter tentang museum Arma dengan menampilkan surat sambutan berupa slide power point dari penerbit Gramedia yang berhalangan hadir dan lain sebagainya.
Ucapan selamat dari berbagai pihak juga turut menyertai acara ini. Beberapa di antaranya yakni ucapan dari sang penulis yang juga merupakan budayawan dari Prancis, Jean Couteau serta Rektor Unud, Ketut Suastika.
Menjelang akhir acara, Warih Wisatsana yang juga penulis buku biografi Gung Rai sempat menjadi moderator dari empat narasumber yang menyampaikan testimoni seperti Putu Suasta, Jean Couteau dan I Wayan P. Windia.
“Pak Agung Rai bukan hanya momentum dan monumen tapi juga museum hidup yang terbuka untuk kita kunjungi bersama,” kata Warih.
“Jadi tidak cukup hanya membaca buku, tapi mari kita datang ke museumnya untuk senantiasa berbagi. Kiranya pertemuan itu kita akhiri dengan suasana seperti ini karena kita yakin esok kita bisa menjadi lebih baik karena ada ketulusan, kepolosan dan persahabatan,” Warih melanjutkan. [b]