Beberapa media internasional kembali menyoroti serbuan sampah di pantai-pantai Bali.
Huffington Post, misalnya, tiga hari lalu menulis dengan judul provokatif, “Why You Should Take Bali Off Your Bucket List”. Larissa dan Michael Milne, penulis perjalanan dan warga nomaden global, menulis kekecewaan mereka terhadap kondisi lingkungan Bali saat ini.
Mereka menulis bahwa poster-poster pariwisata sering kali menggambarkan Bali secara berlebihan, menyembunyikan fakta betapa banyaknya sampah di pulau ini dan sebaliknya hanya menyebar pasir putih bersih dengan latar laut biru. Promosi pariwisata memang selalu menipu.
Januari lalu, The Sydney Morning Herald (SMH) juga menulis hal serupa. Sampah yang menyerbu pantai-pantai Bali ketika musim hujan tiba. Foto klise yang disampaikan media dari Australia tersebut adalah turis berbikini berbaring di antara tumpukan sampah di Pantai Kuta.
Ini foto klise karena foto dengan cerita yang sama selalu terjadi tiap tahun. Tak hanya oleh media asing tapi juga media lokal maupun nasional.
Tiap tahun pula, pemerintah Bali ataupun pihak lain punya bantahan yang isinya kurang lebih sama, “Sampah di Kuta, Bali adalah sampah kiriman dari pulau seberang, Jawa.”
Belum ada penjelasan atau riset lebih lanjut untuk membuktikan tudingan bahwa sampah tersebut memang kiriman dari Jawa. Namun, menurut saya, agak ngawur menuding bahwa sampah tersebut kiriman dari pulau terdekat dari Bali tersebut. Memang bisa jadi ada pengaruh tapi pasti bukan penyebab utama.
Kita lihat saja di peta. Pantai Kuta dan sekitarnya menghadap ke arah Taman Nasional Alas Purwo di Banyuwangi. Taman nasional ini luasnya nyaris dua kali lipat luas kaki pulau Bali yang meliputi Kuta Selatan ataupun Denpasar. Di Alas Purwo tidak ada pemukiman karena total hanya hutan. Maka, sampah dari sana juga pasti lebih sedikit.
Hal lainnya, jarak antara Pulau Bali dengan Alas Purwo ini yang terpisah oleh Laut Bali ini kurang lebih sama dengan jarak Denpasar – Negara. Dalam jarak sejauh itu, apakah sampah dari Pulau Jawa bisa menyeberang dengan jumlah segitu banyak ke Bali.
Jika toh ada sampah dari Jawa yang mau menyeberang ke Bali, tidakkah dia akan tercerai berai ketika berada di tengah Laut Bali yang memisahkan kedua tempat ini?
Maaf. Ini cuma logika orang goblok yang belum pernah menghitung volume sampah, kecepatan angin atau arus laut, dan seterusnya. Ini hanya logika sederhana untuk mengimbangi asumsi bahwa sampah di Bali adalah kiriman dari pulau seberang.
Saya hanya khawatir, bahwa asumsi yang selalu dibangun oleh pemimpin Bali tersebut hanya penyangkalan atau bahkan upaya cuci tangan karena mereka memang tak bisa mengurus sampah di pulau ini. Sebab, faktanya, sampah di pulau ini memang tak tertangani dengan baik.
Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, provinsi ini menghasilkan 1.000 kubik sampah tiap hari. Jumlah itu hanya 10 persen dari total sampah di Bali. Data lain menyebut pada musim hujan, 10 – 15 ton sampah menyerbu Pantai Kuta. Mengutip riset Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya yang meneliti pengelolaan sampah di Kuta, sampah-sampah tersebut berasal dari rumah tangga, perdagangan dan jasa, kegiatan upacara, dan sampah pantai.
Di tingkat mikro, sangat mudah melihat cueknya warga mengelola sampah ini. Di gang saya di pinggiran Denpasar Utara misalnya. Tidak anak, tidak bapak, tidak ibu. Semua suka sembarangan buang bungkusan makanan di gang atau di selokan gang. Meski sudah ada tempat sampah, termasuk di depan rumah kami, sebagian tetangga tetap cuek membuang sampah seenak udelnya.
Dari gang atau selokang di gang, sampah tersebut menuju sungai ketika hujan tiba. Di tempat lain mungkin lari ke saluran-saluran air besar di pinggir jalan raya. Saya sering lihat, misalnya, saluran air di pinggir Jalan Tukad Pakerisan Denpasar penuh sampah ketika ada hujan lebat.
Lalu ke mana sampah-sampah itu pergi? Sampah dari sungai akan lari ke hutan bakau di Suwung atau muara di Teluk Benoa. Di balik rimbun hutan bakau tersebut tersembunyi sampah-sampah dari hulu pulau ini.
Sebagian lain berakhir di tempat pembuangan sampah Suwung, Denpasar Selatan. Pemilahan di tingkat rumah tangga tak berguna karena begitu masuk truk pengangkut, sampah organik maupun nonorganik bercampur aduk jadi satu.
Ironisnya, pemulung yang mengambil sampah plastik untuk didaur ulang atau dijual malah dianggap seperti sampar. Di mana-mana dilarang. Sangat mudah menemukan tulisan “Pemulung Dilarang Masuk” di pemukiman di Denpasar dan sekitarnya. Padahal, pemulung justru berjasa karena mereka turut serta mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA.
Jika ada satu dua pemulung melakukan tindak kriminal, sebaiknya mereka diatur bukan dilarang.
Sebaliknya, pemerintah Bali, dari tingkat paling bawah yaitu banjar hingga provinsi, sebaiknya melarang penggunaan tas plastik di pulau ini. Banjar punya kekuatan efektif untuk membuat aturan ini. Begitu pula para bupati dan gubernur di Bali.
Bali bisa belajar dari Dhaka, Bangladesh dan New Delhi, India, dua kota yang melarang penggunaan plastik. Larangan ini berdampak bagus untuk mereka. Selain mengurangi jumlah plastik secara siginifikan, larangan tersebut juga mengurangi potensi banjir karena plastik selama ini menyumbat saluran air.
Larangan tersebut dilakukan sejalan dengan program-program yang selama ini juga sudah dilakukan seperti pengelolaan sampah secara lokal, penyediaan tempat sampah, dan seterusnya. Dengan demikian, serbuan sampah di Bali tak menjadi masalah yang terus terjadi. [b]
Sampah seolah olah sudah menjadi masalah yang parah.. sampah oh sampah kalau sudah begini siapa yang salah?