“Saya sadar ini berbahaya. Tapi, kami tak punya pilihan..”
Begitulah Komang Sudarsana, petani di sekitar Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, mengatakan kalimat tersebut sambil terus menyemprotkan pestisida. Dia sepenuhnya sadar bahwa pestisida yang dia semprotkan adalah bahan kimia berbahaya.
Tapi, seperti yang dia katakan, Komang tak punya banyak pilihan. Dia tak bisa memproduksi bahan organik untuk membasmi hama itu. Petani muda yang juga guru ini pun terus menyemprotkan pestisida itu ke tanamannya.
Pagi itu kami ngobrol dengan Komang di sela pekerjaannya menyemprotkan pestisida. Dia menggunakan tangki berisi bahan kimia tersebut. Ketika isi tangki sudah habis, dia meramu lagi sekitar lima pestisida tersebut. Tanpa sarung tangan, dia asyik saja meramu obat-obatan itu sambil berbicara.
Komang berharap bisa mengurangi pemakaian zat kimia pertanian di Batur. Tapi, dia mengaku tak bisa membuatnya. “Salah pemerintah karena mereka tidak pernah mengajari kami cara membuat pestisida organik,” katanya.
“Kami terlalu sibuk mengurusi kebun jadi tak bisa membuat pestisida organik sendiri,” lanjutnya.
Maka, Komang pun terus menyemprotkan pestisida berbahaya itu.
Terbengkalai
Ketika lahan milik Komang terlihat subur dengan tanamannya yang hijau, sebagian lahan lain justru terbengkalai. Kering tanpa suplai air selama beberapa bulan di musim kemarau ini. Hanya lahan di pinggiran danau yang terlihat masih produktif karena suplai air danau Batur yang cukup.
Danau Batur menjadi sumber air utama bagi warga sekitar kawasan ini terutama untuk pertanian dan budidaya perikanan. Pompa-pompa air terlihat bekerja keras mengalirkan air dari danau ke lahan-lahan pertanian sekitarnya.
Sejumlah petani terlihat menanam bibit bawang merah, cabe, dan tomat. Tiga komoditas terbanyak yang ditanam petani sekitar Batur. Di musim kemarau seperti ini, mereka mengaku sangat tergantung pada danau yang mereka sucikan ini.
“Saya bersyukur tinggal di pinggir danau. Modalnya genset untuk menarik air dari danau,” kata Komang.
Pria berusia 30an tahun ini adalah satu dari sekitar 400 ribu rumah tangga pertanian di Bali yang masih bertahan menurut sensus pertanian Badan Pusat Statistik tahun ini.
Hasil sensus pertanian terakhir menyebut di Bali sekitar 700 rumah tangga pertanian di Bali berkurang tiap bulannya. Ini pertanian dalam arti luas termasuk perkebunan dan peternakan.
Tercemar
Di sisi lain, Sudarsana mengakui air danau sudah tercemar zat kimia yang massif digunakan para petani di Batur. Bekas kemasan pestisida terlihat banyak di sisi barat dan utara danau Batur.
Komang mencampur empat jenis pupuk kimia ke dalam satu ember besar. Baunya sangat tajam dan membuat kepala pusing jika terlalu dekat.
Sudarsana memakai topi dan penutup mulut dari baju. Tanpa sarung tangan. “Saya sering keracunan, pusing mual-mual, biasanya dua hari dirawat di rumah dengan minum susu saja,” katanya sambil tertawa.
Ia mengakui petani sangat ketergantungan zat kimia terutama untuk mencegah hama jelang panen.
Pria dengan dua anak perempuan kecil ini ingin ikut menjaga air dengan mengurangi penggunaan zat kimia namun belum bisa karena pupuk atau pestisida organik sulit dicari dan tidak tahu cara beralih.
“Mestinya pemerintah dan sarjana pertanian itu memberi penyuluhan intensif,” kata Sudarsana.
Berkurang
Sensus pertanian dilakukan Badan Pusat Statistik secara nasional, dan tiap 10 tahun sekali. Pada 2003, rumah tangga di Bali hampir 492 ribu, lalu berkurang menjadi 408 ribu pada tahun ini.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Bali IB Wisnu Wardhana mengatakan Pemprov Bali sudah mendeklarasikan Bali sebagai pulau organic dengan perlahan mengurangi pemakaian zat kimia pertanian. Namun masih tersendat.
“Gubernur gencar bikin kelompok Simantri yang diharapkan bisa produksi pupuk organik untuk kelompok atau dijual,” kata Wisnu.
Made Ariawan, Kabid Alat dan Teknologi Pertanian Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Bali Saat ini subsidi pupuk terbanyak masih kimia yakni jenis urea yakni 447 ribu ton per tahun. Sementara pupuk organik disubsidi 20 ribu ton.
Di lain pihak, Ariawan mengatakan sebenarnya Bali bisa produksi pupuk organic sendiri karena kelompok Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) makin banyak didirikan.
Berdasarkan perhitungan kasarnya, jika saat ini ada 300 kelompok Simantri dengan masing-masing 20 ekor sapi, maka tiap hari bisa menghasilkan bahan baku pupuk sekitar 300 ton per hari.
Nyatanya, petani seperti Komang masih belum bisa memproduksi sendiri bahan-bahan organik tersebut. Meskipun sudah pakai pupuk organik, pestisidanya masih bahan kimia berbahaya. Dia sadar termasuk kemungkinan bahwa racun itu akan melekat di sayur-sayuran dan kemudian dikonsumsi banyak orang.
“Saya sebenarnya kasihan dengan orang-orang yang makan sayur ini karena mereka mungkin tidak sadar sudah makan racun. Tapi mau bagaimana lagi?” ujarnya. [b]