Satu. Dua. Tiga. Empat. … Lima Belas. Enam Belas.
Enam belas spanduk dan baliho terlihat dari satu titik di mana saya berada siang itu. Saya sedang berhenti di lampu merah perempatan Jalan Gatot Subroto – Jalan Cokroaminoto Denpasar. Sambil menunggu lampu hijau, mata saya iseng jelalatan menghitung spanduk dan baliho di sana.
Hasilnya, saya sendiri pun tak menyangka. Ternyata banyak sekali spanduk dan baliho dipasang di lampu merah perempatan jalan. Inilah salah satu lokasi warga akan berhenti setidaknya 30 detik.
Begitu lampu berubah hijau, saya kembali berjalan dan menghitung baliho dan spanduk yang bertebaran sepanjang jalan yang saya lewati. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima…
Lalu, kemudian saya lupa karena saking banyaknya.
Begitulah wajah Denpasar akhir-akhir ini. Nyaris tidak ada ruang publik yang terbebas dari sampah-sampah visual itu. Spanduk, baliho, poster, dan materi iklan visual lain bertebaran di perempatan, pertigaan, tikungan, sekitar lapangan, dan seterusnya. Mereka mengambil ruang publik dengan semena-semena.
Materi sampah visual tersebut aneka rupa. Tapi, pada dasarnya ada tiga jenis yaitu iklan produk atau jasa, kampanye politisi, dan jargon-jargon aparat Negara.
Di perempatan Jalan Sudirman – Jalan Raya Puputan Denpasar, misalnya, ada papan iklan (billboard) KFC berukuran sekitar 5 x 2 meter dan tinggi 5 meter. Persis di bawahnya, ada spanduk setengah robek dengan tulisan dukungan untuk NKRI. Lalu, baliho-baliho politis dan tentara bertebaran di sekitarnya.
Sangat tak elok di mata.
Tapi pemandangan seruapa tak hanya di Denpasar. Nyaris ada semua tempat di Bali dari ujung ke ujung. Dalam perjalanan saya dari Denpasar ke Ubud pekan lalu, baliho-baliho ini bertebaran. Begitu pula di Tabanan, Karangasem, Gianyar, dan daerah lain. Bali seperti menuju Pulau Sejuta Baliho.
Baliho paling banyak adalah partai politik, calon anggota legislatif (caleg), dan organisasi massa (ormas). Para caleg menawarkan janji-janji. Foto tersenyum mereka ditemani salam dengan tangan mengatup di depan dan tulisan “Mohon Doa Restu”.
Adapun baliho ormas, biasanya berisi nama ormas dan korlap setempat. Tak lupa juga simbol-simbol senjata misalnya trisula. Di pinggir-pinggir jalan, baliho ormas ini bersanding mesra. Tapi, apakah anggota ormas juga akur? Itu urusan belakangan.
Lalu, ada apa di balik maraknya baliho dan spanduk ini? Salah satu yang penting menurut saya adalah karena lemahnya penerapan aturan. Dari semula hanya ada satu dua baliho kemudian jadi ribuan atau bahkan jutaan karena pihak Satpol PP alias Pamong Praja tidak tegas menindak mereka.
Saya bandingkan misalnya dengan Surabaya. Kota yang awalnya acak adut ini sekarang terlihat bersih dan rapi dari sampah visual karena pemerintah setempat memang tegas.
Di sisi lain, barang kali juga karena ada perubahan budaya. Manusia-manusia modern saat ini makin butuh eksistensi. Tak hanya di dunia maya tapi juga dunia nyata. Semua ingin menunjukkan keberadaannya. Semua ingin terlihat. Maka, baliho, poster, dan sampah visual menjadi media mereka.
Pertanyaannya, jika semua orang ingin terlihat, lalu siapa yang akan melihat? Tidakkah malah mata kita dibuat sepat? [b]