Oleh Anton Muhajir
Kenaikan harga pangan terjadi secara dramatik pada pertengahan pertama tahun 2008. Harga pangan naik antara 75 persen hingga 85 persen dibandingkan dengan harga pada tahun 2006. Hal ini tak hanya berdampak pada 800 juta orang yang sudah kelaparan tapi juga mengancam 50 juta orang lainnya ke jurang kemiskinan.
Demikian terungkap dalam diskusi tandingan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Sanur akhir pekan lalu. Diskusi tandingan terhadap sidang Asian Development Bank (ADB) di Nusa Dua ini diikuti Asia Pasific Network for Food Sovereignty (APFNS), VECO Indonesia, Bina Desa, Aliansi Petani Indonesia, serta LSM lain dari Filipina dan Bangladesh.
Dalam makalah Reclaim Our Water Right, Reclaim Our Food Sovereignty, Dwi Astuti yang mewakili APFNS menyatakan bahwa kenaikan harga telah menyebabkan kemampuan negara berkembang untuk mengamankan ketersediaan pangan. Hal ini karena negara berkembang kini tergantung pada pasar pangan internasional sebagai dampak dari kebijakan ekonomi neoliberal.
Salah satu alasan terjadinya krisis pangan adalah karena banyak negara kini lebih berorientasi ekspor daripada membudidayakan tanaman pangan.
Lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF), Wolrd Bank, dan ADB jelas terlibat dalam terjadinya krisis pangan tersebut. Menurut APFNS, kebijakan ekonomi dan perdagangan dunia yang dipaksakan oleh lembaga keuangan internasional tersebut berperan besar menurunkan kemampuan negara berkembang untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.
Salah satu contohnya adalah privatisasi air yang didukung oleh ADB. Dalam persyaratan utang yang diberikan, proyek ADB yang terkait dengan pertanian dan air didesain untuk mendukung keterlibatan sektor swasta yang lebih besar. Pada 1999, misalnya, ADB dan Japan Bank for International Coopeartion (JBIC) memberikan pinjaman $ 600 juta pada Thailand untuk mengubah kebijakannya terkait dengan air.
Hal yang sama terjadi pada Srilanka pada 2001 yang juga membuat kebijakan baru terkait pengelolaan air. Di Indonesia pun terjadi. Pada tahun 2004, Indonesia menyetujui Undang-undang Sumber Daya Air sebagai salah satu syarat utang dari Bank Dunia yang didukung ADB.
Adanya aturan baru terkait dengan pengelolaan air oleh pihak swasta ini mengakibatkan sumber daya air pun kini dikuasai swasta dari yang sebelumnya dikuasai negara. Akibatnya jelas, kedaulatan pangan di negara berkembang pun terancam.
Petani kecil yang sudah terjerat oleh naiknya biaya produksi, sekarang harus bersaing dengan perusahaan swasta untuk mendapatkan air. Mereka pun harus menggadaiakan lahannya atau beralih pada komoditas yang bernilai tinggi, dan itu biasanya bukan tanaman pangan.
Selain itu privatisasi air juga mengakibatkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Karena dikuasi oleh perusahaan swasta, maka air bersih dan sehat pun semakin susah diperoleh oleh rumah tangga yang miskin. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan air oleh swasta mengakibatkan langkanya air di 600 ribu rumah tangga di sub-Sahara Afrika, Asia Selatan dan Asia Timur, di luar Cina.
Proyek ADB lain yang merugikan petani kecil terjadi di am Theun, Laos. Proyek pengelolaan air yang dibiayai ADB akan menggusur 6000 keluarga. Di Filipina, warga adat Dumagats dan Remontados harus terusir akibat pembangunan bendungan Laiban. ADB menyediakan uang $ 1 milyar dalam proyek ini.
Dampak paling parah terkait dengan proyek yang dibiayai ADB adalah pembangunan saluran irigasi. Dari yang sebelumnya dibangun oleh negara, saluran irigasi kini dibangun oleh swasta. Kemudian petani harus membayar sebagai ganti rugi dari biaya pembangunan irigasi tersebut. Parahnya lagi pembangunan irigasi tersebut tidak pernah melibatkan petani kecil.
Di Indonesia, dalam konferensi ADB pada 2005, muncul fakta bahwa pembangunan saluran irigasi di Indonesia pun tidak membuat peningkatan wilayah dan kualitas irigasi. Sebaliknya, saluran irigasi oleh pihak swasta justru melenyapkan kearifan lokal dalam pengelolaan air.
Untuk itulah APFNS meminta agar ADB menghentikan proyek-proyeknya yang mendukung privatisasi air. ADB juga harus memperhatikan dampak pinjaman mereka pada terancamnya ketahanan pangan di negara berkembang. Selain itu, ADB juga harus mengganti kerugian masyarakat dan komunitas yang terkena dampak buruk proyek-proyek ADB. APFNS juga mendesak agar ADB menghentikan semua pinjamannya terkait pengelolaan air dan pertanian yang membahayakan keberlangsungan hidup manusia. [b]
Betul sekali iTu . . .
Gali sumur aja !!
Toh air keluar juga kan hehe