Pelaksanaan Q! Film Festival tahun ini memberi arti khusus bagi Kadek Suastika, 25 tahun. “Ini adalah bagian dari upaya agar keberadaan kami diakui,” kata Ika, panggilan bagi waria ini.
Q! Film Festival di Bali merupakan bagian dari festival film serupa yang juga diadakan di Jakarta pada 24 Agustus – 2 September 2007. Selama di Jakarta, festival ini memutar 80 judul film dari 22 negara. Film-film yang terdiri dari film dokumenter, film pendek dan film panjang itu diputar di Blitz Megaplex, Goethe-Institut, Subtitles, Centre Culturel Francais, Cemara 6 Galeri, Kineforum (Tim 21 Studio 1), Japan Foundation, Erasmus Huis dan Usmar Ismail Hall.
Q! Film Festival adalah festival film yang menyajikan film-film bertema homoseksual, transgender dan isu-isu yang terkait di dalamnya seperti romantisme, HAM serta isu HIV dan AIDS.
Kegiatan ini, menurut Ika, berarti banyak bagi upaya penurunan diskriminasi pada kelompok lesbian, gay, biseksual, transeksual, dan interseksual (LGBTI) seperti yang telah dilakukan Yayasan Gaya Dewata, kelompok dukungan bagi LGBT di Denpasar Bali, selama ini.
Sebelum lebih jauh, kita diskusikan dulu soal istilah-istilah di atas biar tidak kadung jalan lalu tidak tahu pengertiannya.
Lesbian adalah perempuan yang berhubungan seks dengan perempuan. Gay adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Biseksual adalah orang yang suka keduanya (laki-laki maupun perempuan). Transeksual adalah orang yang mengalami perubahan jenis kelamin secara permanen. Contohnya Dorce. Sedangkan interseksual adalah orang yang bisa berganti penampilan dari laki-laki ke perempuan atau perempuan ke laki-laki. Jadi bisa saja siangnya Tono, malamnya Tini. Semua kelompok itu bisa disebut sebagai queer yang kurang lebih berarti semua kelompok yang punya perilaku seksual di luar heteroseksual.
Kelompok ini ada yang tersembunyi, ada pula yang terbuka. Gaya Dewata saja saat ini mendampingi 350 waria dan 800 gay di Denpasar. Itu data resmi. Mereka yang tertutup mungkin lebih banyak lagi. Seorang teman gay misalnya bercerita bahwa dia selingkuh dengan seorang polisi laki-laki, bukan polisi wanita. Ya itu gambaran saja bahwa LGBT memang ada dan harus mendapat tempat.
Ika adalah salah satu waria yang terbuka itu. Tapi ini proses yang tak mudah. “Saya pernah tidak mengakui adanya Tuhan karena saya merasa sendiri menjadi banci,” kata waria kelahiran Denpasar, 13 April 1982 ini.
Secara raga, Ika lahir sebagai laki-laki. Dia baru sadar memiliki jiwa perempuan ketika berumur 5 tahun. Dia mulai senang pakai baju dan berdandan seperti perempuan. “Ketika keluarga saya tahu kebiasaan itu, mereka marah. Mereka tidak mau menerima saya. Keluarga saya orang Bali jadi mereka tidak mau punya anak banci,” tutur Ika Kamis pekan lalu di sela jumpa pers pelaksanaan Q! Film Festival di Burnet Indonesia Sanur.
Ketika sekolah, Ika memang pakai baju laki-laki. Sehari-hari juga dia bergaul dengan laki-laki. Dia belum mengalami perlakuan berbeda alias diskriminasi karena belum banyak yang tahu tentang kondisinya. “Tapi saya heran. Teman-teman saya suka sama cewek, tapi saya malah suka sama cowok,” akunya.
Saat di SMP, Ika mulai menunjukkan perilaku sebagai waria. Akibatnya, dia malah dikucilkan, dipukuli, dan dimusuhi dengan teman-temannya. Dia juga mendapat sanksi dari keluarganya kalau tetap memilih jadi waria. “Saya tidak peduli dengan ancaman itu. saya tetap saja menjalani. Saya ingin kabur dari rumah dan berhenti sekolah. Saya sedih banget karena merasa sendiri sebagai banci,” ujar Ika.
Diskriminasi itu mulai hilang ketika dia di SMA. Bahkan ada temannya yang sebelumnya suka meledek dia sebagai banci, eh, teman itu ternyata waria juga.
Ketika akhirnya tahu adanya Yayasan Gaya Dewata, “Saya merasa menemukan teman-teman yang bisa mengerti saya,” katanya.
Ika kini sesekali jadi drag queen di beberapa kafe di daerah Seminyak. Drag queen istilah untuk waria yang pada siang hari berdandan laki-laki namun ketika malam menjelma jadi waria. Mereka biasa menyanyi lypsinc atau bergoyang untuk menghibur pengunjung kafe. Dengan cara itu mereka menemuka dunianya sendiri. Dunia yang bagi sebagian orang mungkin tak bisa dimengerti apalagi dipahami. [b]
Salut untuk acara tersebut, dan saya dengar jugA Bali adalah kota ke 4 setelah Surabaya. Dan setahu saya sudah kali ke 4 (kalau tidak salah).
Sebuah edukasi yang pas, dimana media visual adalah media paling akurat setalah koran dan radio. Salut untuk pengagas dan teman-teman yang loyalitas terhadap hal-hal yang bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat dan tidak memperbesar stikmatis masyarakat terhadap kaum LGBT. (Thx bang Jhon Badalu).
Namun, saya sedikit menyisakan/mengantungkan satu pertanyaan besar terhadap istilah “Interseks”. Pada paragaraf ke 5 bait ke 7. Anda menyebutkan “interseksual adalah orang yang bisa berganti penampilan dari laki-laki ke perempuan atau perempuan ke laki-laki”. Maaf, saya tidak ada maksud lain atau sok pintar. Menurut beberapa referensi yang saya baca/dengar. Interseks adalah satu tubuh memiliki dua jenis kelamin, namun satu diantaranya tidak berfungsi dengan baik. Memang dalam kasus ini masih minim sekali bahkan dibilang sangat jarang terjadi. Pun jika ada beberapa diantaranya telah memutuskan untuk mengoptimalkan satu diantaranya(kelamin). Dan pada kemudian hari ada juga yang menyesal dengan keputusan yang telah mereka pilih.
Dan penjabaran tentang interseks yang anda maksudkan berseberangan dengan pemikiran/pemahaman saya. Orang yang bisa berganti penampilan dari laki-laki ke perempuan atau perempuan ke laki-laki, banyak yang menyebutnya adalah Transgender atau lost gender.
Mohon maaf jika tulisan saya ini lancang. Thx 4 all !
Salam juga untuk teman teman di Gaya DEWATA, nuke dan sofie, sudah tentu teman-teman yang lainnya. Sukses ya untuk teman-teman disana.
Gmana lau mau masuk angota kumpulanWARIA DI BLI