Sejumlah kejanggalan dalam film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak melahirkan pertanyaan.
Ribut-ribut tentang film besutan Mouly Surya ini mulai santer terdengar sejak 16 November 2017, saat film ini akhirnya diputar di bioskop-bioskop di Indonesia. Tentu saja, ini sesuai harapan para pembuat filmnya. Bukankah sebuah karya dinilai berhasil ketika semakin banyak yang meributkannya? #eh
Sebenarnya saya menonton film ini tanpa ekspektasi, kecuali datang ke bioskop, duduk dan menyimak. Saya tidak mencari tahu terlebih dahulu, siapa sutradara atau penulis naskah, kecuali poster film, trailer atau nama pemainnya yang sudah lebih dulu lalu lalang di linimasa sosial media saya karena dikabarkan teman-teman, baik di Facebook maupun Instagram.
Saya pikir, tidak ada gunanya mencari tahu lalu berkomentar jika saya belum menyaksikannya sendiri. *Rasul Thomas mode on
Pada 21 November 2017, saya tiba-tiba dikirimi pesan oleh Sutradara Tungku Haram. Teater ketiga yang dipentaskan Evergrande itu baru saja berakhir. Kami sebagai para panitia yang beberapa bulan ini sok sibuk, mendapat kesempatan untuk diberi penghargaan secukupnya.
Jalan saya untuk menemui Marlina rupanya dimudahkan. Sebelumnya, karena alasan bioskop jauh plus angka di kalender yang mulai mencekik batang leher, saya sudah memutuskan untuk membiarkan Marlina berlalu begitu saja. Toh, saya tidak memiliki urgensi apapun untuk menontonya.
Saya mengajak salah seorang teman saya untuk menonton, Ama Dj orang Sabu tetapi lahir dan besar di Waingapu. Pada akhirnya, ini bukan sebuah kebetulan, karena kami berdua menjadi sangat cerewet selama pemutaran film berlangsung. Sementara di belakang saya, ada Doni yang sudah sering bolak-balik ke Sumba dan kawan-kawannya yang juga ikut menonton. Kami tidak sengaja bertemu di dalam ruang teater.
Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak awalnya ditulis oleh Garin Nugroho berupa sinopsis lima halaman yang kemudian diberikan kepada sang sutradara, Mouly Surya dan sang produser, Rama Adi. Ini bukan pertama kali Garin Nugroho menulis tentang Sumba. Dua film sebelumnya, Surat Untuk Bidadari (1994) dan Angin Rumput Savana (1996) juga tentang Sumba dan mengambil lokasi di Sumba. Keduanya masih menjadi Film bagus berlatar Nusa Tenggara Timur (NTT) menurut saya.
Bagaimana dengan Marlina?
Hm…
Saya pulang dengan banyak pertanyaan yang bersarang di kepala. Mungkin terdengar berlebihan, tetapi saya merasa sama seperti sedang menerima ungkapan cinta dari seorang laki-laki yang padanya saya sama sekali tidak menaruh perhatian.
Flat, zong, beda frekuensi!
Saya tidak mendapatkan apa-apa, ditambah sedikit kecewa dengan beberapa bagian yang menurut saya “KENAPA SEPERTI ITU? MEREKA RISET DULU TIDAK SIH?!”
Saya menghargai kerja keras para crew film, yang saya yakin sekali, di Agustus 2016, saat film ini mulai dikerjakan, suhu Sumba Timur sedang HOT-HOTnya.
Ketika shooting Marlina berlangsung, saya di Waingapu saat itu. Kami bertiga, saya dan kedua sahabat saya, sempat melewati rumah Marlina. Dari jauh, kami menyaksikan orang berlalu lalang dengan alat-alat luar biasa canggih. Perjalanan kami ke Anakalang, menjadi lebih berwarna siang itu karena ada topik lain yang dibicarakan, Film terbaru Marsha Timothy!
Kami sepakat, film ini mulai menarik karena casting pemainnya yang unik. Marsha Timothy memiliki bentuk wajah yang sangat khas sebagai perempuan Sumba. Belakangan, ketika film dimulai, ada wajah baru yang muncul, Novi. Representasi wanita Sumba lainnya. Mendadak saya memiliki keyakinan besar terhadap Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak.
Karena saya yakin film ini memakan biaya tidak sedikit, apalagi hampir semua potongan gambarnya sangat artistik, terlepas dari landscape Sumba yang memang tanpa diapaapakan sudah keren seperti itu, saya akhirnya memburu berbagai macam ulasan dan behind the scene proses pembuatan Marlina.
Saya harus menjawab ketidakpuasan yang sudah saya jelaskan pada awal tulisan dengan melihat dan mendengarkan penjelasan orang-orang di balik layarnya. Saya tidak boleh asal marah-marah hanya karena saya juga perempuan dari NTT yang sedang merasa ada kekeliruan dari film berdurasi 93 Menit ini.
Saya tidak mau ungkapan yang sama kembali hadir: “Yah kalau filmnya dibikin orang dari Jakarta yah kaya begitu, semau gue aja!”
Apakah saya menemukan jawabannya? Sebagian ketemu, sebagian lagi tidak.
Saya akan mengulasnya dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Pertanyaan yang muncul dari dalam kepala saya dan kepala-kepala lain yang sudah berdiskusi riang dengan saya tentang film Marlina selama dua minggu ini.
Sebagian pertanyaan terjawab melalui Film itu sendiri hahahah kemudian ada lima video Behind the Scene “Di Balik Layar” dan beberapa video liputan tentang Marlina yang saya tonton di Youtube.
Sebagian lagi, saya cari tahu sendiri, dengan mewawancarai seorang wanita Sumba, Ibu dari teman saya, Rambu Padji Malairu, yang kebetulan sekali sedang di Denpasar. Juga jawaban-jawaban sekenanya yang saya dapatkan setelah melemparkan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada beberapa kawan yang juga berasal dari Sumba.
Peringatan, tulisan ini akan sangat panjang sekali. Maka, tidak usah buru-buru membaca. Bikin kopi dahulu atau beli gorengan kalau sempat. Sembari seruput kopi dan menggigit ujung renyah pisang atau tempe goreng, mulailah membaca.
22 Pertanyaan tentang Marlina, Si Pembunuh Empat Babak dan penjelasannya yang semau gue. #eh
Mengapa Film ini tidak diputar terlebih dahulu di Sumba?
Ini pertanyaan mendasar yang menurut saya penting! Film ini dibikin di Sumba, menggunakan latar belakang budaya, tradisi dan kebiasaan sehari-hari orang Sumba. Akan tetapi, belum sekalipun film ini dipertontonkan di hadapan orang-orang Sumba sendiri, setelah film ini sudah berkelana jauh sampai ke Cannes, Toronto, Melbourne, Polandia, Filipina, Busan dan Tokyo.
Pernahkah para pembuat film ini berpikir, bagaimana kalau orang Sumba Asli menonton sendiri reka ulang peristiwa dari kehidupan mereka sehari-hari pada sebuah layar lebar dengan diperankan oleh para aktris dan aktor ternama Indonesia? Yah sih, boleh memakai dalih ini film fiksi, tetapi masa harus menyepelekan fakta di lapangan yang hampir semuanya menjadi bagian di dalam film?
Jadi nyinyir!
Mengapa Empat Babak?
Berdasarkan keterangan Sang Sutradara pada Video di Balik Layar: Memikirkan Marlina, Mouly mengungkapkan seperti berikut: “Dari Sinopsis yang dikasih Mas Garin lima halaman itu terbagi menjadi lima babak. Ada Prolog, Babak I, Babak II, Babak III dan sebuah epilog. Gimana kalau judulnya Marlina, The Murderer in the Four Acts atau Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak.
Kenapa Empat babak? Itu karena memang, saya gak mau ada prolog dan epilog dan akhirnya saya membagi menjadi empat setting yang seakan-akan ini menjadi seperti sebuah adegan yang dilakukan di panggung. Kalau di panggung kan adegan biasa dibelah berdasarkan setting yang berbeda dan panggung yang berbeda, gitu.
(Belakangan saya akhirnya paham, mengapa lebih banyak adegan yang kameranya diam, pemainnya saja yang bergerak ke mana-mana. Ini diakui juga oleh Yunus Pasolang, Sang Sinematografer).
Dan kalau misalnya judulnya cuma Marlina, The Murderer, memang itu mewakilkan genre film tersebut kalau Marlina sebagai seorang pembunuh gitu. Tetapi ketika kita tambahkan Empat Babak, ada unsur drama yang terasa dari judulnya itu. Jadi kaya opera-opera gitu, Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak gitu. Kaya Ballet-ballet gitu kan yah. Kaya Giselle and Two Acts atau Swan Lake in two acts. Awal mulanya dari situ.”
Oh Gitu! Hm… Saya kira Marlina akan membunuh orang berbeda dalam empat babak itu.
Mengapa Marlina harus ditiduri?
Ini pertanyaan aneh kan? Tetapi jawabannya tersedia lho di dalam film. Serius! Karena Marlina janda yang ditinggal mati suami dan anaknya.
Marlina Jablay! Jadi, kedatangan tujuh laki-laki sekaligus, itu BONUS!
Damn!
Markus dan kawan-kawannya ini sotoy yah, bukankah bonus itu jika Marlina sendiri yang datang minta kalian tujuh laki-laki ini untuk meniduri dia ramai-ramai? Apapun perilaku seks, selama itu bukan atas keinginan kedua belah pihak dengan kata lain sedang tidak berada pada frekuensi sama, sudah jelas pemaksaan kehendak, pemerkosaan.
Bukan hanya laki-laki terhadap perempuan. Kondisi sebaliknya bisa saja terjadi kok. Atau menurut pembaca bagaimana?
Ada apa dengan Sarung Marlina?
Ketidaknyamanan saya dimulai dari sini sebenarnya. Outfit Marlina, jauh sekali dari kesan wanita Sumba. Dalam hal ini sarungnya.
Wanita Sumba, apalagi di pelosok, sangat khas dengan kain tenun Sumba yang selalu ia pakai ke mana-mana dalam kondisi apapun. Saya malah melihat endek Bali di awal film, selanjutnya kain polos merah maroon yang dilipat-lipat sehingga terlihat seperti sarung.
Padahal Video di Balik Layar tentang Mendandani Marlina, menampilkan kesan luar biasa beserta riset ke pasar-pasar dan pertemuan dengan para penjual tenun ikat di Sumba.
Pertanyaan keempat, hanya yang mendandani Marlina yang bisa menjawab.
Apakah pencuri di Sumba itu punya ciri tertentu atau sebenarnya sama saja seperti masyarakat kebanyakan? Seperti yang kita lihat di flm Marlina ini? Dan apakah benar, pencuri di Sumba punya kebiasaan memberitahu dahulu niatnya sebelum datang mencuri?
Semua pasti punya rasa penasaran yang sama, iya kan?
Nah, simak jawaban panjang dari Mama Rambu Padji Malairu berikut:
“Sebenarnya yang namanya Pencuri itu, orang-orang seperti kita. Orang ganteng, baik. Bukan orang miskin juga, bisa jadi orang kaya. Jadi kalau di daerah kita, itu merupakan suatu kebiasaan e bahwa sebentar kalau mereka datang di kita pu rumah, entah dia menyuruh orang atau dia sendiri, sang pemimpin pencurinya yang datang sendiri dan mengajak ngobrol kita, bikin kita seolah-olah sibuk, sementara anak buahnya di belakang ada kasih keluar hewan dari kita punya kandang. Jadi bukan orang yang dianggap remeh memang, bukan orang susah atau kelihatan muka pencuri begitu.”
“Tetapi, kena orang yang mana dulu. Kalau ketemu orang Sumba yang sama juga, belum tentu kau berhasil. Kan kalau ada prinsip seperti itu, kau juga siapa, pencuri! Manusia juga.”
“Kadang-kadang memang ada, tempat jauh dari jangkauan keramaian, keamanan dan kepolisian, itu bisa terjadi. Mereka bisa datang ke rumah yang mau dicuri dan memberitahu terlebih dahulu bahwa nanti akan terjadi pencurian di sini; “sebentar malam kami mo datang curi di ko punya rumah. Begitu.”
Jadi, yah baiklah sedikit masuk akal kan yah adegan Markus yang datang seperti bertamu dan minta disiapkan makanan padahal niat utamanya mencuri. Terus menyusul kawan-kawannya yang lebih cocok jadi Para Tetua Adat atau Karyawan Bank daripada pencuri, dengan dialek campur aduk Sumba dan Jakarta.
Mual!
Kenapa HARUS BUAH KERSEN?
Ini serius. Saya penasaran, ide siapa pakai buah kersen jadi racun yang dimasukan dalam KUAH AYAM? Sekali lagi, kuah ayam! Di Sumba tidak kenal sup syam. Kuah ayam itu, campuran air yang banyak dengan daging ayam lalu ditambahkan dengan bawang putih, garam, cabe dan kemangi. Sudah itu saja. Eh tadi belum dijawab kan, kenapa pakai buah kersen?
Mungkin karena sudah buntu, kak! Padahal kersen itu enak lho, ada manis-manisnya.
Bagaimana ceritanya jenazah bisa disemayamkan di dalam rumah (bahasa kerennya Mumi)? Karena alasan apa dan berapa lama?
Nah ini menarik nih, Mama Rambu sudah siapkan jawaban untuk kita. Yuk disimak.
“Di Sumba memang memiliki kebiasaan menyimpan mayat di dalam Rumah. Di Kapapal, demikian nama tempat di mana mayat disemayamkan di dalam rumah. Kalau di Sumba Tengah, sebenarnya lebih tepat dikatakan, mayat itu ditaruh di tempat tidur, itu dikaitkan dengan berbagai macam adat istiadat karena belum sempat melaksanakan upacara. Karena upacaranya besar, memakan banyak biaya, hewan, materi dan lain sebagainya yah makanya Mayatnya disimpan dahulu. Bahkan berbulan-bulan mayatnya itu di rumah. Ini khusus sebenarnya untuk yang masih menjalankan Tradisi Marapu.”
“Ada batasan usia untuk mayat yang disimpan di dalam rumah ini, apalagi orang-orang tua dari kalangan tertentu. Bukan orang-orang sembarangan yang dibuat seperti itu.”
“Cara mengawetkannya sederhana saja, pakai tembakau. Mayatnya ditidurkan di atas tembakau. Nanti dia awet itu. Tidak terlalu banyak tembakau yang dibutuhkan, paling tiga lempeng lalu disebarkan saja di atas tempat tidur baru mayatnya ditidurkan di atasnya. Atau bisa lebih, kalau mau lebih awet dan lama.”
Kalau di daerah lain, seperti Sumba Timur, perlakuannya sedikit berbeda. Hampir mirip seperti pada Film Marlina. Setelah diawetkan, jenazah kembali diatur posisinya seperti duduk, layaknya keadaan sewaktu dalam rahim. Demikian keyakinan masyarakat setempat.
Kenapa adegan Markus memperkosa Marlina beradab sekali?
Barangkali saya saja yang aneh dengan adegan ini. Bisa jadi karena saya terlalu banyak terpapar dengan adegan-adegan kekerasan pada film yang bergenre sama. Saya malah merasa Marlina terlalu berlebihan sampai memenggal kepala Markus padahal kegelisahan dan kecemasan yang ia gambarkan atau perlakuan kasar dan tindakan pemaksaan Markus belum sampai pada hasrat harus melakukan aksi heroik tersebut.
Bagian ini harusnya lebih gila lagi, atau takut tidak lolos sensor kah makanya dibuat seperti begitu saja?
Kepo!
Mamuli
Beberapa orang yang sudah mulai akrab dengan benda ini, karena sering banyak orang terkenal memakainya, bahkan sebelum Marlina menjadi film, mulai bertanya dan semakin penasaran ketika melihatnya tergantung di leher Marlina juga ditancapkan di gelungan rambut Novi.
Mamuli adalah perhiasan wanita Sumba yang berbentuk seperti alat reproduksi perempuan. Bentuk ini menegaskan simbol kesuburan bagi seorang wanita. Dahulu, Mamuli hanya digunakan oleh wanita-wanita dari kalangan tertentu, dalam hal ini dengan kasta tertinggi.
Pada film ini, tidak dijelaskan Marlina sebenarnya berada pada kasta mana. Jika dihubungkan dengan jenazah suaminya yang diawetkan di dalam rumah juga, harusnya menjadi penting bahwa dibutuhkan sedikit penjelasan di sini, dari strata sosial yang mana Si Marlina ini sehingga ia memegang teguh kebiasaan dan tradisi semacam itu.
“Sekarang ini sudah mulai pudar kebiasaan-kebiasaan dan tradisi seperti itu, seperti panggilan untuk Rambu. Dahulu, tidak semua perempuan bisa dipanggil Rambu. Zaman dulu itu, kalau saya bukan Rambu, saya malu kalau dipanggil Rambu. Tapi sekarang itu kan yang tidak pantas Rambu, dia merasa jadi Rambu.”
“Sekarang ini banyak orang bisa me-ramburambu-kan diri karena orang tidak tahu dia berasal dari keturunan yang mana. Nona juga kalau ke daerah saya, orang bisa panggil Rambu. Karena yang orang tahu, Rambu itu panggilan untuk perempuan. Tetapi sebenarnya Rambu itu memiliki makna tertentu. Sama seperti penggunaan Mamuli. Siapa dulu yang boleh memakai Mamuli, seperti Muti Salak atau yang biasa disebut Ana Hidha. Zaman dahulu, Ana Hidha dan Mamuli itu menunjukkan gengsi kaum tertentu.”
“Tetapi sekarang, itu semua sudah mudah untuk didapatkan di mana-mana. Orang sudah tidak tahu lagi mana yang asli, mana yang palsu. Sebenarnya, ada rasa kecewa juga karena semua makna dan penggunaan perhiasan-perhiasan seperti ini sudah mengalami pergeseran. Tradisi leluhur yang sudah diturunkan sudah menjadi kacau balau.”
“Tetapi, yah kembali lagi, kita ada di zaman yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, lalu ada Undang-undang juga yang mengatur itu. Jadi sudah tidak ada perbedaan-perbedaan seperti itu.” Demikian penjelasan panjang Mama Rambu Padji Malairu ketika diminta menjelaskan tentang Mamuli.
Begitu, Netijen!
Kepala Markus. Mengapa Sang Sutradara membuat sebuah pilihan yang cukup beresiko?
Adegan ini harusnya menegangkan, iya kan? Begitu orang banyak melihat perempuan membawa-bawa kepala, harusnya muncul banyak pertanyaan. Normalnya begitu. Tetapi saya tidak mendapatkan detail pergolakan emosi sama sekali, antara para penumpang yang kocar kacir dan Marlina yang menenteng kepala. Mungkin hanya satu menit, lalu Marlina sudah menaruh parang di leher Om Sopir. Kemudian cerita berlanjut kepada Om Sopir yang menjadi sandera Marlina.
Peristiwa potong kepala seperti ini, memang terjadi di daerah-daerah tertentu di Nusa Tenggara Timur. Di Pulau Timor misalnya, ada sebuah tradisi memenggal kepala musuh dan mengaraknya sampai ke gerbang masuk kampung sebagai perayaan kemenangan. Di Bajawa juga pernah terjadi, sebuah perang antar masyarakat yang memperebutkan tanah ulayat. Masyarakat mengarak kepala manusia sambil berjalan kaki beramai-ramai menuju Kantor Polisi, kepala sekaligus pelakunya menyerahkan diri.
Di Ende, tempat asal saya, pernah juga ada perang antar saudara dan berakhir dengan potong kepala. Laki-laki yang berhasil memotong kepala saudaranya itu, membawa kepala yang berdarah-darah di dalam karung ke kantor polisi. Semua orang dalam bus curiga dengan karung dan bagian tubuhnya yang dipenuhi darah, sementara parang di tangan kanannya juga berdarah. Matanya merah nyalang karena kemarahan yang luar biasa.
Itu pernah terjadi, beritanya tersebar di koran lokal dan membuat suasana Kota Ende saat itu sedikit mencekam. Apa mungkin cerita ini sampai ke telinga sang penulis skenario, sehingga ia terinsipirasi? Tetapi, faktanya, kepala diarak beramai-ramai atau diisi di dalam karung dan masyarakat ketakutan.
Sampai di sini, mungkin semua memiliki pertanyaan lain, Bagaimana Orang Sumba menyikapi situasi seperti ini? Takut atau sebaliknya menyerang Marlina dan membuat stigma? Keluarga Markus tidak mungkin diam saja. Ini bisa jadi perang besar.
Saya mengutip penjelasan Sang Sutradara lagi akhirnya, begini kata Mouly: “Di Skenario itu, kepala Markus yang dibawa-bawa Marlina itu harusnya ada di dalam kantong kresek, kantong plastik gitu. Dan itu dibawa ke mana-mana kantong kresek itu. Tetapi nggak tahu kenapa selama di Sumba itu, saya melihat bagaimana spontannya masyarakat mereka gitu, kalau seandainya nggak suka yah langsung ngomong nggak suka, gitu.”
“Pada akhirnya, last decision, kepalanya kita keluarkan dari kantong. Jadi gimana nih, penyelesaiannya kalau seandainya kita mau melakukan itu. Oh yah, nanti itu kepalanya musti kita 3D Image gitu istilahnya. Jadi gambar kepala aslinya Markus akan ditempelkan di kepala Mock-up gitu. Oke, apakah possible? Dan ternyata ide ini sangat didukung sama Mas Rama selaku Produser, Yunus Pasolang di Sinematografer dan Frans Faat sebagai Art Director, gitu.”
“Masalahnya ini bukan sekedar pamer visual effect atau sekedar pamer segala kekerasan atau apa sih segala macam alasan. Maksudku seperti yang aku bilang, mereka nggak malu-malu orangnya. Ketika kepala itu ada di dalam kantong plastik, itu mengatakan sesuatu tentang karakter Marlina. Dan ketika kepala itu di luar kantong plastik, itu juga mengatakan sesuatu tentang karakter Marlina itu sendiri. Dia yang tidak banyak ngomong, cukup misterius. Jadi menurut saya, itu keputusan yang sangat penting untuk diambil dan resiko yang juga menurut saya worth it untuk dicoba, gitu.”
Hubungannya tidak malu-malu sama tenteng kepala ke mana-mana?
Najwa Shihab sendiri memberi reaksi yang mengejutkan. Ia merasa kepala yang ditenteng-tenteng itu justru memberi mood tersendiri sepanjang film berlangsung. Saya yang menonton mereka tertawa-tawa di video berjudul “Pesan Keadilan Marlina” itu menjadi semakin terganggu. Duh, pesan keadilan seperti apa yang dimaksud? Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan yang lain, begitu?
Itu kenapa sopirnya tiba-tiba sudah dibunuh dan mau dikubur? Memangnya dia sudah buat apa? Kok tidak dijelaskan?
Nah, ini bagian yang saya tidak ketemu samasekali ujung pangkalnya. Tidak ada adegan pendukung sehingga Om Sopir tiba-tiba sudah terlentang di atas padang dengan leher bersimbah darah. Kasihan lho, Om Sopirnya baik padahal. Kami butuh keadilan untuk Om Sopir. Hiks..
Dari mana kotak kayu itu muncul? Tiba-tiba saja kepala Markus sudah ada di dalam situ
Nah, awalnya Marlina ke mana-mana bawa kepala tuh, ditenteng. Masuk di Babak II, yang judul dalam Bahasa Inggrisnya “Confession”, kepala Markus tiba-tiba sudah ada di dalam kotak kayu. Dari mana Marlina dapat kotak kayu, peristiwa apa yang mendukung Marlina sampai harus membutuhkan wadah untuk kepala Markus? Tidak dijelaskan sama sekali. Duh!
Ide siapa itu ada warung sate dan soto ayam di pelosok Sumba?
Kalau ketemu jagung rebus, kelapa muda di pinggir jalan di pelosok Sumba, itu hal yang biasa. Atau warung kecil, menawarkan Indomie goreng atau rebus, itu ada. Tetapi sate ayam dan soto ayam, plus toples kerupuk dan satu sisir pisang yang bergelantungan di depan warung? Milik Orang Sumba pula, Hanya ada di Film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak ini.
Saya reseh? Iya!
Tahanan di kantor polisi itu ngapain lihat-lihat Marlina terus?
Bicara tentang polisi di daerah-daerah yang sulit terjangkau alat komunikasi dan inspeksi dari para petinggi, saya setuju dengan adegan pPingpong di film ini. Sedikit terwakilkan. Sering sekali kita menerima berbagai macam alasan yang sebenarnya dibuat-buat, ketika kita hendak mengurus dokumen tertentu di kantor-kantor Pemerintah atau Instansi terkait di NTT, padahal petugasnya malas. MAGABUTA!
Akan tetapi, tetap gangguan muncul, dari tahanan yang terus melihat Marlina dari balik jeruji saat Marlina diinterogasi. Dia kenapa sebenarnya?
Apa isi kantong plastik merah yang Marlina bawa-bawa itu? Kenapa kemudian dia biarkan begitu saja di rumah Topan? Juga karung untuk pindahkan kepala dari kotak, itu dia dapat dari mana?
Adegan bocor lainnya! Auk ah…
Lagu yang didengungkan berulang-ulang oleh Frans dan Markus itu, lagu apa? Eta terangkanlah…
Kata teman saya yang orang Sumba dan sudah menonton, itu lagu yang sering dinyanyikan para lelaki untuk wanita pujaannya. Lagu cinta untuk kekasih hati.
Di Film Marlina, lagu ini terus didengungkan, baik oleh Markus sebelum menggagahi Marlina. Juga Frans yang sambil mengasah parang.
Kok malah jadi Horor?
Biar kaya film-film thriller itu, Mar!
Itu kenapa dari Tanggedu, tiba-tiba sudah di Purukambera eh tiba-tiba su sampai Lewa dan ada telepon umum di tengah jalanan sepi luar binasa, lalu kembali lagi ke arah Tanggedu? Kodinya lewat mana? Kasihan Novi nyasar nanti.
Mar mar.. Namanya Fiksi!
Lalu, sejak kapan perempuan Sumba seperti Novi datang dan salim suaminya saat mereka baru saja bertemu? Kebiasaan dari mana?
Kebiasaan ini, mungkin ada di Nusa Tenggara Timur, di daerah tertentu yang sudah dipengaruhi tradisi tertentu. Di Ende misalnya, di daerah pesisir yang sudah terpengaruh agama dan tradisi Islam, hal ini sudah menjadi kebiasaan sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang lebih tua. Tetapi, di Sumba, itu tidak pernah terjadi. Tidak ada!
Tiba-tiba saja, perempuan Sumba yang sudah menikah, setelah nonton film ini, mulai terbiasa mendaratkan tangan suaminya di dahi saat bertemu, biar jadi wife jaman now! Hahaha..
Kenapa tidak ada pemain film orang lokal, yang berasal dari Sumba kecuali Topan?
Pertanyaan ini seharusnya punya korelasi dengan pertanyaan pertama. Hampir semua orang menanyakan hal yang sama. Kok gada pemain asli Sumba yah?
Film ini menceritakan tentang perempuan Sumba. Pencurian di Sumba. Masyarakat di Sumba. Kantor Polisi di Sumba. Lokasinya di Sumba. Namun sangat disayangkan, tidak ada satupun pemainnya yang berasal dari Sumba.
Jika saya mau terburu-buru menyimpulkan, sepertinya Sumba hanya dipinjam, dieksploitasi sebentar ruang-ruang dan gerak masyarakatnya untuk film ini. Jika ada problematik yang timbul akibat hadirnya film ini, orang Sumba silakan tanggung sendiri.
Semoga saja itu cuma pikiran busuk saya saja. Dih!
Apakah ini film tentang Feminisme?
Film ini dirayakan di banyak ruang feminisme. Sutradaranya pun dengan jemawa mengatakan, film ini mengangkat tema feminis Western, di mana ada dua perempuan yang sedang kencing bareng lalu obrolin cowok. Biasanya yang terjadi adalah sebaliknya.
Semua wanita berkobar-kobar. Ah saya lupa, saya juga wanita. Hm… tetapi saya kok tidak sependapat yah? Belakangan ini, topik feminisme selalu dihubung-hubungkan dengan perempuan yang dilecehkan, perempuan yang diperkosa dan sebagainya. Saya pikir, feminisme bukan hanya perihal selangkangan.
Feminisme adalah ketika kita melakukan sebuah tindakan melawan, saat berhadapan dengan ketidakadilan. Maka, saya rasa agak berlebihan ulasan-ulasan yang mengaitkan Marlina ini sebagai bentuk perlawanan terhadap para laki-laki yang selalu menganggap rendah perempuan karena dilihat dari sisi pemaksaan Markus yang memperkosa Marlina. Feminisme seharusnya tidak sepicik itu.
Kemudian ada yang mengaitkan bahwa perempuan NTT masih dalam pengaruh budaya Patriarki yang sangat kuat, sehingga Perempuan selalu dianggap maklhuk lemah dan mudah untuk ditaklukan. Marlina adalah sosok perempuan pemberani. Perempuan NTT itu harusnya begitu! Kalau tidak suka, HAJAR!
Ehm, ko saja yang belum tahu kalau perempuan Timor maruak!
Yah, potensi pemenggalan seperti yang dilakukan Marlina, mungkin saja terjadi. Tetapi sejauh ini, hanya perempuan seperti Marlina yang sebenarnya punya kesempatan kabur sangat banyak, malah lebih memilih memenggal kepala Markus.
Apakah semua adegan direkam di Sumba?
Tidak. Berdasarkan keterangan Sang Sutradara pada wawancara dengan Beritagar.id, sebagian besar adegan di dalam rumah (interior) yang terdapat di dalam film ini, dilakukan di studio di Jakarta.
Kenapa Marlina?
Lagi-lagi, ini pengakuan Sang Sutradara, nama Marlina diambil dari nama seorang Guru di Sumba yang videonya ia tonton di Youtube. Guru tersebut segera menjadi terkenal setelah videonya yang tengah berdisko di ruang guru diunggah ke sosial media. Video itu mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Marlina Sang Guru, kemudian memberikan pembelaan saat diwawancarai oleh seorang wartawan, baginya perbuatan tersebut samasekali tidak melanggar aturan karena ia berdisko di ruang guru di luar jam pelajaran. Hal ini yang menginspirasi Mouly untuk kemudian menggunakan namanya sebagai nama tokoh pada film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak.
Katanya!
Jadi begitulah pemirsa…
Terlepas dari 22 pertanyaan dan jawaban, termasuk berbagai kejanggalan yang sudah coba saya tuliskan. Sekali lagi, saya mengapresiasi segala bentuk perjuangan dan pengorbanan Sutradara dan Para Crew Film hingga akhirnya film ini berhasil ditayangkan, bahkan menuai berbagai reaksi.
Marlina sudah diputar di Cannes, Toronto, Melbourne, dan Busan sebelum akhirnya main di rumah sendiri lalu berlanjut ke Filipina, Polandia dan Tokyo. Beberapa penghargaan yang sudah berhasil diraih Film Marlina, Si Pembunuh Empat Babak ini, antara lain; Aktris terbaik untuk Marsha Timothy dari Sitges International Fantastic Film Festival, Spanyol, dan penghargaan film terbaik Asian NestWave dari The QCinema Film Festival, Filipina. Best Picture di Five Flavours Film Festival yang diselenggarakan di Polandia. Yang terakhir, mendapat Grand Prize di Tokyo Filmex International Film Festival. (Tirto.id 26/11/2017).
Beberapa scene yang menurut saya cukup detail dan masih terekam jelas di kepala saya adalah, plat motor yang dipakai. Itu beneran Plat Kendaraan Sumba, hahaha ada film lain yang malah masih pakai plat Jakarta. Ngana serius mau bikin film di NTT ko? Lalu, dialek Sumbanya Novi, Markus, Frans, Umbu, Mama tua yang mau pi antar belis dia pu anak itu, patut diapreasiasi. Padahal mereka bukan orang Sumba dan belum pernah tinggal di Sumba. Meskipun cacat juga dialek empat pencuri lainnya. Sungguh, itu sangat merusak mood saya menonton.
Scene terbaik menurut saya, ketika Marlina mandi dan ditemani Topan yang duduk di atas cabang pepohonan. Silhouette yang Epic!
Demikian kira-kira kesesakan yang saya alami selama hampir dua minggu ini akibat Film Marlina, Si Pembunuh Empat Babak. Serius, sesak bo!
Saya membaca berbagai macam ulasan dan akhirnya ada dua ulasan yang benar-benar masuk di akal saya, yaitu ulasan yang ditulis Mas Aji Saptaji di Beritagar.id berjudul “Surat Terbuka untuk Marlina.” Lalu sebuah ulasan lain di lsfcogito.org oleh Jofie DB dan Danang T.P berjudul Marlina Timothy, Si Pemakan Sate dalam Empat Babak. Saya tidak sedang mencari mencari kubu yang sama, kita gak lagi mau bikin partai. Tetapi saya muak membaca berbagai macam puja-puji film ini yang seolah luput dari cacat cela.
Meminjam ungkapan teman saya yang turut berkomentar saat saya mengungkapkan kekecewaan di Facebook setelah menonton Marlina, betul film dan karya seni bisa dianggap sebagai ruang fiktif dan imajinatif. Akan tetapi, setting daerah, simbol-simbol dan tokoh-tokoh seharusnya tidak boleh sembrono begitu saja.
Mudah-mudahan ini bisa menjadi catatan untuk Para Filmaker lain atau Mba Mouly sendiri yang ingin membuat film berlatar daerah-daerah di Indonesia. Bagaimanapun juga, film-film yang dibuat dengan memanfaatkan cerita, ruang, tokoh daerah-daerah tersebut merepresentasikan masyarakat setempat. Jika yang ditulis dan disiarkan sudah salah, lalu dengan cara apalagi kebenaran itu harus dipertahankan? [b]
Pembunuhannya 4 babak dan ada 22 pertanyaan yang harus dijawab.
Mestinya lembaga budaya sumba dan senimannya dikutkan sebanyak mungkin.
Agar mutu ke-sumba-an bisa tampil di layar putih.
22 pertanyaan ini sebuah opini yang bagus dan harus dijadikan pelajaran yang berguna.
Seandainya novel karya gerson poyk ‘cumbuan sabana’ tentang timor, ada yang mau buat film, bisa tak perlu ada 22 pertanyaan.
sama kak, sesak!
Setuju dgn penjelasan diatas meskipun saya bukan org Sumba dan hanya penikmat film saja. Dan ada satu lg pertanyaan yg terlewat. satu org pencuri terakhir yg bersama franz pergi kemana? kenapa dia tdk turut serta ada disitu? entah lah. Setelah selesai menonton film ini saya baru mengerti kenapa film ini blm layak masuk bursa oscar bila dibandingkan film lain. Salah satunya film Korea ‘Burning’ yg memang lebih berkelas. Sepertinya sineas Indonesia masih harus banyak belajar lagi dan menggali banyak referensi.
“Saya malah merasa Marlina terlalu berlebihan sampai memenggal kepala Markus padahal kegelisahan dan kecemasan yang ia gambarkan atau perlakuan kasar dan tindakan pemaksaan Markus belum sampai pada hasrat harus melakukan aksi heroik tersebut.”
Pemerkosaan ada level easy gitu, kak?
saya malah bingung franz kenapa merkosa marlina juga di akhir film, lha markus aja udah dipenggal kok dia malah nekat.
sebagian pertanyaan agak kekanakan, sebagian lagi kurang imajinasi, sebagian lagi kurang menyimak film secara akurat