Sumalee Limpa penasaran. Anaknya gagal masuk Demonstration School of Kasetsart University, Bangkok, Thailand.
Rasa penasaran mendorong ibu tersebut membuka informasi nilai siswa yang diterima pihak sekolah agar dia tahu kenapa anaknya tidak lulus seleksi. Dia pun mengajukan permintaan informasi nilai siswa tersebut. Namun, permintaannya ditolak sekolah.
Sumalee tidak puas. Dia kemudian mengadu pada Official Information Commission (OIC) atau Komisi Informasi Resmi. Komisi tersebut memutuskan pihak sekolah harus membuka hasil nilai ujian. Ternyata nilai anak Sumalee memang tidak cukup untuk diterima di sekolah tersebut.
Meski tahu bahwa anaknya memang tak lolos seleksi, upaya Sumalee ini menjadi pembicaraan di berbagai surat kabar. Sebab, ternyata banyak pejabat yang melakukan berbagai upaya agar anak mereka bisa masuk sekolah bergengsi tersebut.
Sumalee Limpa seorang ibu rumah tangga di Thailand. Upaya Sumalee mengakses informasi bisa terwujud karena Thailand telah memiliki Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi sejak tahun 1997.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak Tahun 2008, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) No. 14 Tahun 2008. UU KIP secara khusus menjamin hak warga dalam memperoleh informasi publik serta mengatur kewajiban-kewajiban badan publik dalam mengelola informasi publik. UU KIP efektif berlaku sejak Mei 2010 setelah dua tahun masa persiapan.
Untuk melaksanakan UU KIP, diamanatkan pembentukan Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri pelaksana UU KIP dan peraturan pelaksananya. Komisi Informasi berkedudukan di Pusat dan Daerah, termasuk Bali.
Saat ini Komisi Informasi Provinsi Bali sedang dalam proses pembentukan. Beberapa tahapan pembentukan sudah dilewati antara lain, pembentukan tim seleksi, proses seleksi (pengumuman, pendaftaran, tes seleksi), tes tulis, tes psikologi dan tes wawancara.
Dari 26 calon Komisi Informasi yang mendaftar, saat ini telah lulus 13 orang. Mereka akan mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPRD Provinsi Bali sebelum ditetapkan oleh Gubernur. Tiga belas nama calon tersebut, ditulis urut berdasarkan abjad, adalah (1) Agus Astapa, I Gede; (2) Alit Suryawati, I.G.A., S.SOS, M.SI; (3) Amertha Dhana Putra, I Dewa Made, SH; (4) Anggreni, Luh Putu, SH; (5) Anjasmara, Ketut, STP; (6) Gunadjar; (7) Legawa Partha, I Nyoman Gde, Ir; (8) Radendra Suastama, Ida Bagus, SH., M.Hum, Dr.; (9) Raka Suwarna, I Made; (10) Santanu, Gede, SE, MM; (11) Widiana Kepakisan, I Gusti Agung Gede Agung, S.Sn; (12) Wirajasa, I Gusti Ngurah, SE; dan (13). Wisnu Wardana, I Gusti Ngurah.
Dari 13 nama tersebut, akan disaring lagi hingga hanya lima orang sebagai anggota Komisi Informasi Bali.
Tugas Komisi Informasi ini sangat penting terkait dengan hak warga untuk mengakses informasi. Nantinya, Komisi Informasi terpilih bertugas menetapakan petunjuk pelaksanaan teknis pelayanan informasi serta menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa informasi melalui mediasi dan ajudikasi nonlitigasi.
Komisi Informasi berperan sebagai Official Information Commission dalam kisan Ibu Sumalee di Thailand.
Orang-orang yang nantinya menjadi anggota Komisi Informasi Provisi Bali harus bisa mendorong muncul banyak Sumalee-Sumalee lain yang bisa membuka akses informasi yang selama ini belum terbuka seperti penggunaan dana BOS, dana bantuan Sosial (Bansos), dan informasi publik lainnya.
Karena itu, warga harus terlibat dalam menilai dan menentukan siapa yang layak jadi anggota Komisi Informasi Bali. Warga bisa memberi masukan mengenai 13 calon-calon komisioner yang telah lolos seleksi melalui email ke [email protected].
Informasi dari publik tersebut akan kami jadikan bahan masukan kepada anggota DPRD dalam proses uji kelayakan dan kepatutan. Jadi, mari berbagi informasi tentang para calon tersebut. [b]
Negara ini sering terjebak pada keterpisahan antara ideologi dan praksis. Ironisnya, hal ini tidak sepuhnya disadari. Pada realitasnya yang terjadi adalah ketika sebuah idealisasi pemikiran telah terwujud dalam aturan resmi negara dan tersusun lembaga lengkap dengan tata prosedur pelaksanaan, masalah dianggap telah selesai. Persoalanpun dianggap telah teratasi. Padahal ketika aturannya telah terwujud, pelaksananya sudah ditunjuk, maka yang paling penting adalah bagaimana mereka kemudian benar-benar bekerja. Seharusnya dari Ideologis menjadi Praksis. Di Indonesia praksis inilah yang menjadi problem utama.
Karena itulah banyak undang-undang atau komisi-komisi yang hadir dan secara teori sudah ideal, faktanya tidak banyak berperan.
Di Jawa Tengah, sudah hampir setahun dibentuk Komisi Infromasi Publik. Hanya saja perannya sampai saat ini belum begitu terlihat. Menangani kasus menghilangnya uang nasabah hasil penjualan lahan pengganti jalan Tol Semarang -Solo, KIP Jateng tak bisa berbuat banyak. Jika bicara KIP nasional, mungkin juga belum banyak aksi nyata yang bisa dibuktikan.
Lantas apakah masih bisa diharapkan bahwa KIP Bali yang akan terbentuk nanti akan berperan? Mudah-mudahan sajalah….
Dear Pak Agus Sumberdana,
Bagaimana kabar Bali? Saya sedang di Leiden , Belanda dalam rangka program S3 Doktor Pasca Sarjana Kajian Budaya Universitas Udayana mengirim saya untuk melakukan Sandwich-like selama 3 bulan dan akan datang tanggal 10 Desember. Mohon bantuannya bila berkenan mengirimkan informasi untuk fit and proper test yang akan dilakukan oleh DPRD Bali. Apa mungkin dilakukan lewat Telekoference atau skype?
Salam kepada DPRD Komisi I dan saya menunggu kabar baik dariBali.
I Gusti Agung Alit Suryawati