Bentrok ribuan massa di Kota Bangli dua pekan lalu menambah panjang catatan keberingasan manusia Bali.
Dalam kurun waktu kurang dari setahun, ada belasan kasus keberingasan yang melibatkan massa di seantero tanah Bali. Namun keberingasan massa di Bangli seharusnya dimaknai dengan cara pandang berbeda. Sebab, Bangli sesungguhnya adalah tanah kelahiran peradaban manusia Bali.
Ketika keberingasan meledak di basis terdalam peradaban manusia Bali, adakah sesungguhnya nilai kebajikan manusia Bali telah benar-benar runtuh di tengah hantaman zaman yang semakin liar?
Bangli adalah tanah yang diberkahi dengan kesuburan luar biasa. Hampir sepanjang tahun sungai-sungai bersumber dari air Danau Batur mengairi tanah. Bumi pun siap ditanami dengan berbagai tanaman yang menunjang kebutuhan hidup manusia penghuninya. Sungai Sindu diibaratkan seperti sungai Gangga, sungai suci di tanah India yang menggugah para Rsi untuk membangun roh spiritual di sepanjang tepi sungainya. Dari tepi sungai inilah kemudian lahir peradaban-peradaban tertua manusia Bali.
I Gede Sutarya seorang intelektual muda kelahiran Bangli pernah menuliskan tentang Bangli sebagai pusat peradaban Bali pada zamannya berdasarkan sejumlah fakta-fakta sejarah yang masih bisa dijejak hingga zaman kini.
Kerajaan Singamandawa, kerajaan Hindu tertua di Bali menurut catatan sejarah diperkirakan berada di tanah Bangli, yakni sekitar Kintamani. Demikian pula Dinasti Warmadewa dan Dinasti Kediri yang kemudian menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Jika dirunut asal usulnya, mereka berasal dari Tanah Bangli.
Dengan demikian, sesungguhnya Bangli tidak hanya menjadi kelahiran peradaban Bali tetapi juga kelahiran Peradaban Nusantara. I Gede Sutarya dalam pengantar buku “Bangli Tempoe Doloe, Sebuah Kajian Sejarah” yang ditulis Nyoman Singgin Wikarman menuliskan sejarah mengenai hal ini.
Putri Bangli
Pada suatu hari suatu hari di tahun 1284 Masehi, Kebo Parud yang telah menaklukan Bali membawa Putri Bangli bernama Parameswara Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana ke Jawa sebagai persembahan kepada Raja Kertanegara. Ratu ke Jawa bersama dengan putrinya yang masih kecil bernama Tri Bhuana. Putri ini kemudian diangkat anak oleh Raja Singasari Kertanegara.
Setelah Singasari runtuh, Tri Bhuana dijadikan Parameswari (istri) oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Tri Bhuana kemudian menurunkan seorang putri bernama Tri Bhuana Tungga Dewi, Ratu Majapahit setelah Raja Jayanegara. Putri ini yang menikah dengan Pangeran Kediri melahirkan Raja Besar Majapahit, Hayam Wuruk.
Jadi, Putri Banglilah yang menjadi ibu daripada raja-raja nusantara.
Bangli juga mencatat sejarah sebagai basis pertahanan atas penjajahan peradaban luar Bali yang pernah dengan massif melakukan penaklukan. Songan, Abang, Trunyan dan banyak lagi desa-desa kuno di tanah Bangli adalah pusat-pusat perlawanan manusia Bali Aga atas ekspansi emperium Majapahit.
Kekuatan bertahan atas serbuan peradaban Majapahit pernah membuat pusat kekuasaan di tanah Jawa tersebut harus menerapkan strategi-strategi yang tidak cukup hanya dengan kekuatan angkatan perang. Pemberontakan fisik mungkin bisa diredam, namun demikian perlawanan terhadap penjajahan peradaban tanah Jawa hingga kini masih bisa dilihat misalnya dengan sistem ritual perlakuan terhadap jenazah di Desa Trunyan.
Catatan-catatan sejarah mengenai tanah Bangli memberikan kita gambaran nyata bahwa banyak kebajikan dan nilai-nilai spiritual manusia Bali sesungguhnya bersumber dari tanah yang demikian subur dan menginspirasi para Rsi ini. Pergeseran kekuasaan dan juga menyebarnya peradaban ke luar tanah Bangli tidak bisa dilepaskan dari perubahan orientasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri.
Manusia-manusia Bangli yang masih setia pada kehidupan agrarisnya menjadi benteng menjaga peradaban tertua manusia Bali yakni kehidupan dari ketekunan mengolah tanah dan rasa bakti yang teguh pada kemahakuasaan Tuhan. Perlawanan atas hegemoni imperium Majapahit sekaligus menunjukkan bahwa manusia-manusia di desa-desa Bali Aga tanah Bangli adalah kaum intelektual. Sebab, tanpa intelektualitas perlawanan takkan pernah menjelma.
Runtuhnya Kebajikan
Meminjam sejumlah pemikiran filsuf mengenai akar kekerasan, setiap manusia sesungguhnya menyimpan naluri alamiah untuk berlaku keras terhadap sesamanya. Kajian pemikiran dari dunia Barat memposisikan kekerasan bersifat individual.
Thomas Hobbes melalui temanya homo homini lupus atau Man to Man is an arrant Wolf (manusia adalah serigala bagi serigala lain) meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan dan kesadaran untuk mengkalkulasi kekerasan. Dalam konteks manusia Bali, maka kemampuan dan kesadaran mengkalkulasi kekerasan dibangun dan dipertahankan dalam nilai-nilai kebajikan yang bersumber dari kehidupan-kehidupan agraris dan religius.
Basisnya ada di wilayah fisik sekaligus imajinatif bernama desa pekraman. Desa Pekraman menjadi apa yang disebut oleh Hobbes sebagai state of nature, sebuah organisasi negara yang menjaga dan menjamin tidak terjadinya kekerasan antar manusia.
Persoalannya adalah ketika state of nature ini kemudian justru menjadi penguat dari meledaknya keberingasan massa. Di sinilah kemudian tesis dari Erich Fromm mengenai narsisme kelompok berperan besar. Bahwa manusia yang berada dalam sebuah kelompok akan bisa dengan mudah tersulut melakukan tindakan kekerasan hanya semata-mata karena dorongan kebanggaan membela kelompoknya atas serangan kekerasan oleh kelompok lain. Kekerasan individual bertransfromasi menjadi kekerasan massa yang dalam tahap tertentu berwujud keberingasan.
Di dalam kerumunan, manusia kehilangan rasionalitasnya atau menjadi irasional. Inilah yang disebut oleh Emile Durkheim dengan kekerasan sebagai bentuk dari nature of individual yang sumbernya ada pada irasionalitas manusia. Pandangan irasionalitas ini menyebut mental kerumunan (crowd mentality) sebagai naluri instingtif yang hidup di luar kesadaran dan akal sehat manusia. Mental kerumunan berada di luar sistem sosial. Kekerasan merupakan manifestasi naluri bersama atau gerakan naluri primitif yang menciptakan kondisi-kondisi tindakan massa.
Mencermati kekerasan demi kekerasan di tanah Bali, kita dihadapkan pada realitas bahwa terjadi peningkatan intensitas peristiwa dan kuantitas pelaku kekerasan. Dalam kasus di Kota Bangli, maka kelompok berseteru tidak lagi hanya melibatkan dua kelompok kecil tapi sekumpulan massa yang mengidentifikasi diri tidak sebatas warga Banjar atau desa adat. Identitas kelompok melebar menjadi warga kota Bangli yang mendapat serangan dari warga Desa Songan. Rasionalitas warga yang berseteru telah benar-benar tereduksi menjadi irasionalitas kumpulan massa.
Irasionalitas menjadi penanda bahwa apa yang disebut sebagai kebajikan manusia Bali telah runtuh. Dalam setiap keberingasan massa yang melibatkan manusia-manusia Bali terkandung makna bahwa telah terjadi keruntuhan nilai kebajikan yang selama ini menjadi penuntun kesadaran dan kemampuan manusia Bali dalam mengkalkulasi kekerasan. Kekerasan dan keberingasan adalah nalar instingtif yang tak lagi mampu dikontrol.
Masalah terbesar yang tersaji dari kekerasan di Kota Bangli adalah locus atau tempat kejadian peristiwa adalah tanah di mana peradaban manusia Bali dilahirkan. Ketika itu terjadi di tanah di mana peradaban manusia Bali dilahirkan, maka keruntuhan nilai kebajikan manusia Bali telah menjangkau basis terdalam.
Jika demikian, masihkah ada harapan bahwa manusia Bali masih memiliki nilai kebajikan religius spiritual yang bisa mencegahnya dari tindakan-tindakan kekerasan terhadap sesama manusia Bali? Sebuah tantangan besar yang harus dijawab. Tidak saja oleh para intelektual Bali melainkan yang terpenting adalah para elite baik di kekuasaan politik birokratis maupun di organisasi berbasis nilai-nilai budaya dan agama seperti desa adat dan banjar.
Tugas besar itu adalah bersama-sama membangun kembali nilai kebajikan manusia Bali dari keruntuhannya. [b]
Ulasan yang bagus, dengan teori yang melimpah
Saya sebagai orang Songan merasa tersanjung ketika mendapat pujian di bagian awal tulisan
Dan merasa disalahkan pada beberapa kalimat
Satu pertanyaan pada penulis ;
Apakah saudara masih bisa berpikir sepanjang tulisan di atas ketika adik2 dan saudara kita disweeping diancam dengan senjata tajam?
Peradaban yang manapun yang manusianya masih bernyali, akan membenarkan kekerasan ketika situasinya seperti itu
Satu lagi : Perang memang seharusnya dilakukan kalau itu akan merubah dunia ke arah kebaikan
damailah Bangli, damailah Bali..
@puniadi : Perang sesungguhnya lahir dari rasa takut manusia. Perang juga lahir karena kerinduan manusia akan kehidupan yang damai dan tenang. Namun demikian perang juga adalah instingtif dasar manusia yang bersumber pada unsur kebinatangan. Dalam dunia manusia yang selalu menggunakan bahasa, selalu ada pembentukan-pembentukan wacana yang membenarkan perang seperti : “untuk menciptakan kedamaian, maka bersiaplah untuk berperang”. Sama dengan kalimat terakhir Puniadi bahwa “Perang memang seharusnya di lakukan kalau itu akan merubah dunia kearah kebaikan”. Tentu saja kalimat-kalimat seperti ini sangat mudah untuk diperdebatkan karena tidak punya dasar pembenaran yang esensial, terutama mengenai konsep-konsep tentang apa itu “kebaikan”, apa itu “kedamaian”. Kebaikan menurut siapa? kedamaian menurut siapa? Tidak ada ukuran yang pasti… semuanya akan merasa punya definisi tentang apa itu kebaikan, apa itu kedamaian.
Lalu apakah setelah perang dilakukan akan muncul kebaikan dan kedamaian?. Yang jelas, akibat perang selalu saja berujung pada kerusakan. Tidak banyak catatan sejarah manusia yang menyebutkan bahwa kedamaian dan kebaikan benar-benar terwujud pasca perang.
Sejarah manusia adalah sejarah tentang perang dan peradaban manusia adalah peradaban tentang perang juga. Perang meruntuhkan sebuah peradaban sekaligus membangun peradaban baru. tetapi dengan tetap menyimpan potensi untuk berperang. Bahkan agama sekalipun yang dilahirkan untuk menciptakan perdamaian dan kebaikan justru menjadi sumber dari perang-perang besar yang terjadi pada sejarah peradaban manusia.
Tulisan saya tidak berpretensi menyalahkan siapapun karena saya sadar bahwa perang selalu saja akan menjadi pilihan manusia untuk menyelesaikan masalahnya. Apalagi manusia selalu hidup dalam kelompok yang mengidentifikasinya diri berbeda dari kelompok lainnya. Penting untuk kita renungkan bersama adalah apakah identitas kelompok adalah sesuatu yang esensial juga? Bukankah identitas kelompok tidak lebih hanya pembedaan berdasarkan ukuran-ukuran yang sangat material dan imajinatif buatan manusia? Kalau kita mau merunut lebih jauh, bahwa sebenarnya kita semua ini adalah sama. Manusia semuanya adalah saudara, sesama mahluk hidup yang ada di dunia.
Jika kita merindukan tentang kedamaian dan kebaikan, mengapa kita tidak memilih jalan kebaikan dan kedamaian juga?? Satu hal yang sering manusia lupakan dan bahkan abaikan adalah “Kekuatan dari Memaafkan”. Banyak dari kita tak cukup banyak menganggap kata “maaf” sebenarnya demikian besar manfaatnya dalam mewujudkan kedamaian karena memaafkan adalah unsur penting yang membangun nilai-nilai kebajikan. Tentu saja memaafkan yang muncul dari dasar hati dan keiklasan, bukan maaf yang dipaksakan.
Jadi perang dan memaafkan sebenarnya adalah pilihan kita untuk menciptakan kebaikan dan kedamaian. Kita mau memilih yang mana, terserah pada kita sendiri. Tetapi semua ada konsekuensinya. Saya tidak akan mengatakan mana yang lebih baik, karena jika saya mengatakan salah satu lebih baik dari yang lain, apapun argumentasi yang saya pakai pastilah akan sangat bisa diperdebatakan. Bukankah seperti yang saya sampaikan diatas bahwa kita semua punya keyakinan tentang nilai kebenaran masing-masing.
keren banget, artikel ini mambawa pelajaran yang sangat dalam.
thanks telah mengingatkan kembali asal mula peradaban di Bali….
tulisan ini sangat bagus.