Tanpa kita sadari, racun timbal menjadi bagian hidup kita sehari-hari.
Unsur kimia dengan lambang Pb ini termasuk logam berat yang ada di dalam kerak Bumi. Namun, penggunaannya secara berlebihan telah mengancam masa depan anak-anak di Indonesia. Bagaimana mencegahnya?
Surya Anaya, Direktur BaliFokus, organisasi non masyarakat yang bergerak di isu sampah berbahaya di Denpasar, Bali, mengatakan timbal banyak terdapat pada cat-cat dekoratif yang dijual di pasaran. Berdasarkan riset BaliFokus pada 2015, 83 persen dari contoh-contoh cat enamel dekoratif yang diteliti di Denpasar mengandung timbal di atas 90 ppm, lebih tinggi dibanding standar Organisasi Kesehatan Dunia WHO.
BaliFokus melakukan riset dua kali, pada 2012-2013 dan 2014-2015. Pada riset 2012-2013, BaliFokus menganalisis 76 cat dari 43 merek cat enamel dekoratif yang tersedia di pasar. Hasilnya mengungkapkan bahwa 77 persen dari cat yang dianalisis terbukti mengandung konsentrasi timbal lebih tinggi dari 90 ppm.
Pada 2014-2015, BaliFokus melakukan studi kedua terhadap 121 contoh cat enamel dekoratif berbasis pelarut dari berbagai toko dan gerai di lima kota yaitu Denpasar, Bogor, Depok, Tangerang dan Jakarta. Hasilnya, persentase cat enamel dekoratif yang mengandung konsentrasi timbal di atas 90 ppm justru lebih tinggi, mencapai 83 persen.
Padahal, menurut Surya, WHO merekomendasikan kadar timbal maksimal 90 ppm. Begitu pula dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) jaringan IPEN, jaringan LSM global yang bekerja untuk isu-isu kesehatan dan lingkungan dari berbagai kawasan di seluruh dunia.
“LSM-LSM yang tergabung jaringan IPEN umumnya merekomendasikan standar wajib yang membatasi kandungan timbal dalam cat maksimal 90 ppm sebagai konsentrasi aman yang dapat dicapai oleh industri cat,” kata Surya. BaliFokus adalah mitra organisasi dari IPEN dalam Kampanye Global Penghapusan Timbal dalam Cat.
Menurut Surya, cat-cat berbahaya yang mengandung timbal di atas 90 ppm itu sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Selain digunakan di rumah dan bangunan lain, cati ini juga banyak dipakai untuk cat mainan anak-anak. “Karena itu, anak-anak menjadi korban paling banyak dari racun timbal tersebut,” tambahnya.
Paparan timbal, lanjutnya, cukup berbahaya bagi orang dewasa. Namun, paparan pada anak-anak ternyata berdampak jauh lebih besar meski pada kadar yang lebih rendah. Efek kesehatan umumnya tak terpulihkan dan dapat menetap seumur hidup. Semakin muda anak, timbal semakin berbahaya, terutama pada anak-anak yang mengalami malnutrisi karena akan menyerap timbal yang tertelan dengan laju semakin cepat.
“Janin manusia adalah yang paling rentan. Perempuan hamil dapat mentransfer timbal yang menumpuk di tubuhnya kepada janin atau anaknya yang sedang tumbuh dan berkembang dalam rahim,” kata Surya. Ibu menyusui pun bisa memindahkan timbal dari air susu kepada anaknya.
Surya menyebutkan, sudah ada bukti bahwa paparan timbal telah mengakibatkan terjadinya penurunan kecerdasan (IQ) secara permanen pada anak-anak. WHO bahkan telah memasukkan “keterbelakangan mental akibat timbal” ke dalam daftar penyakit yang resmi diakui keberadaannya. WHO juga mencatatnya sebagai salah satu dari sepuluh penyakit anak-anak akibat faktor lingkungan yang dimodifikasi.
Yuyun Ismawati, pendiri BaliFokus sekaligus penerima Goldman Environmental Prize 2009, menambahkan dari sudut pandang sebagai satu negara, penurunan IQ pada populasi secara umum berarti meningkatkan biaya-biaya sosial yang lebih besar dan mengurangi modal intelektual, serta faktor-faktor lain yang berdampak negatif pada ekonomi Indonesia.
Yuyun mengutip riset WHO bahwa ketika seorang anak terpapar timbal, sistem sarafnya terganggu dan berpotensi membuat anak mengalami kesulitan di sekolah maupun terlibat dalam perilaku impulsif dan tindak kekerasan. Paparan timbal pada anak-anak juga terkait dengan meningkatnya hiperaktivitas, ketidak-pedulian, gagal lulus dari pendidikan menengah, gangguan perilaku, kenakalan remaja, penggunaan narkoba, dan penahanan.
Biaya Paparan Timbal
Besarnya dampak timbal pada anak-anak berhubungan pula dengan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung. Sebuah peta interaktif baru menunjukkan biaya paparan racun timbal di Indonesia mencapai sekitar US$ 37,8 milyar per tahun. Angka ini jauh melebihi jumlah bantuan pembangunan yang diterima Indonesia per tahun yaitu sebesar US$ 150 juta atau sekitar Rp 2 triliun menurut Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
New York University School of Medicine, Department of Pediatrics (NYU) merilis laporannya, Senin lalu pada pertemuan besar United Nations Environment Assembly (UNEA) di Nairobi, Kenya. Peta interaktif dapat diakses pada tautan berikut: http://nyulmc.org/pediatricleadexposure.
Menurut peneliti NYU salah satu hal paling penting untuk mengurangi paparan anak-anak dari timbal adalah dengan memastikan timbal tidak lagi digunakan dalam cat rumah tangga dan cat lain yang membuat anak-anak berisiko terpapar. Misalnya pada cat mainan anak-anak.
“Penelitian dan peta yang dirilis jelas menunjukkan bahwa paparan racun timbal mengikis banyak keuntungan dari bantuan pembangunan luar negeri. Pembangunan berkelanjutan akan sangat terganggu selama paparan timbal masa kanak-kanak terus terjadi,” kata Yuyun.
Menurut penelitian NYU, biaya paparan timbal di seluruh dunia adalah sekitar US$ 977 milyar dengan kerugian ekonomi setara dengan US$ 134,7 milyar di Afrika (4,03 persen dari produk domestik bruto/PDB di wilayah ini), US$ 142,3 milyar di Amerika Latin dan Karibia (2,04 persen dari PDB di wilayah ini), dan US$ 699,9 milyar di Asia (1,88 persen dari PDB di wilayah ini).
Untuk mempersiapkan peta interaktif, peneliti menilai dampak timbal terhadap perkembangan saraf, dinilai dalam bentuk pengurangan poin IQ yang disebabkan oleh timbal dan bagaimana penurunan poin ini diterjemahkan ke dalam penurunan potensi penghasilan seumur hidup, dikaji sebagai kehilangan produktivitas ekonomi seumur hidup (Lifetime Economic Productivity/LEP) di masing-masing negara.
Melihat besarnya dampak akibat racun timbal tersebut, Surya menyarankan agar Indonesia segera membatasi penggunaan timbal secara berlebihan. Menurut Surya sebagian besar negara-negara industri sudah mengadopsi undang-undang atau peraturan untuk mengontrol kandungan racun timbal dalam cat dekoratif yang digunakan pada interior dan eksterior rumah, sekolah, dan fasilitas anak-anak lainnya pada tahun 1970-an.
“Di Indonesia tidak ada peraturan yang mengatur hal ini,” ujarnya.
Pada akhir 2014, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengeluarkan sebuah standar baru nasional yang bersifat sukarela, SNI 8011: 2014, yang membatasi kandungan timbal dalam cat enamel-dekoratif yang diproduksi di Indonesia sebesar 600 ppm atau lebih rendah. Batas tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan standar WHO maupun IPEN yang maksimal 90 ppm.
Parahnya lagi, dari 121 contoh cat dalam studi BaliFokus tahun 2013 dan 2015, sekitar 61 persen dan 78 persen dari cat yang dianalisa mengandung timbal di atas 600 ppm.
Menurut Surya, dari hasil riset terkakhir BaliFokus terdapat 12 persen dari merek cat dianalisis dengan timbal konsentrasi di bawah 90 ppm. Cat itu diproduksi dan dijual oleh produsen Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa memproduksi cat tanpa timbal sudah kayak dipraktikkan di Indonesia.
“Ini juga menunjukkan bahwa teknologi dan pigmen bebas timbal dan bahan-bahan cat lain tersedia di Indonesia dengan harga terjangkau dan layak untuk diterapkan,” ujar Surya. [b]