Di antara debu jalanan, Wayan Broklyn merekam suasana sekitarnya.
Mantan pengguna narkoba dengan jarum suntik atau injecting drug user (IDU) itu menggunakan BlackBerry untuk memotret. Tanpa melepas helm dan masih membawa tas punggung, Broklyn memotret orang-orang yang lewat, kendaraan hilir mudik, dan jalanan yang agak berantakan.
Sabtu siang itu, persis pukul 12 siang, cuaca sangat terik. Panas.
Pertigaan Jalan Tukad Badung dan Jalan Tukad Yeh Aya Denpasar timur itu sedang dibongkar untuk pemasangan gorong-gorong. Debu berterbangan di antara lalu lalang manusia dan kendaraan. Seorang pedagang es menyiram jalan di depannya agar debu tak terlalu banyak beterbangan.
Broklyn sigap melihat laki-laki tersebut menyiram jalana. Dengan ponselnya, dia memotret. Jepret! Hasilnya, seorang laki-laki menyiram jalanan dengan cipratan air di depannya.
Berjarak sekitar 10 meter dari Broklyn, Muhammad Faiz juga sibuk melakukan hal sama. Dengan BlackBerry, staf Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) itu merekam anak-anak SMP yang naik sepeda motor tanpa mengenakan helm. Faiz memotret spanduk dan sampah di pinggir jalan juga.
Tak hanya Broklyn dan Faiz, 12 warga lain sedang melakukan hal sama. Mereka merekam suasana kota di sekitar Renon, Denpasar timur tersebut. Murni Ita merekam rumah kumuh di Renon, kawasan elite Denpasar itu. Novian Hariawan memotret orang cuci tangan di sungai penuh sampah. Dan seterusnya.
Senjata utama mereka adalah ponsel. Media utama mereka adalah media sosial, Twitter. Kekuatan mereka adalah kecepatan.
Begitu selesai memotret, mereka langsung mengunggah foto-foto tersebut ke internet melalui akun Twitter masing-masing. Mereka menggunakan tanda pagar #KotaKita. Tak lupa pula mereka menyebut (mention) akun jurnalisme warga di Bali, @BaleBengong.
Ekspresi Warga
Dalam bahasa Bali, bale bengong adalah tempat di mana warga biasa bersantai dan ngobrol apa saja. Nama ini yang dipakai sebagai nama media dalam jaringan (daring) dengan konsep jurnalisme warga di Bali. Blog ini sudah terbit sejak 2007, tahun di mana blog sedang naik daun sebagai tempat berekspresi warga. Dalam blog ini, warga bisa menulis apa saja dengan gaya apa saja selama relevan dengan Bali.
Seiring populernya media sosial, seperti Facebook dan Twitter, BaleBengong pun hadir di dua media sosial ini. Namun, akun twitter @BaleBengong terlihat jauh lebih masif perkembangannya daripada halaman ataupun grup di Facebook yang agak sepi diskusi.
Di Twitter, BaleBengong membagi informasi dari warga tentang apa saja. Dalam sehari rata-rata hingga 50 kicauan dengan tema seperti lalu lintas, pelayanan publik, lingkungan, dan semacamnya. Sebagian besar dari warga itu sendiri.
Mudahnya warga berbagi informasi di media sosial, sejalan pula dengan makin gampangnya penggunaan ponsel untuk memproduksi informasi, melahirkan ide kami untuk melaksanakan kampanye UU Project, dibaca Dobel U Project.
Ide ini sebenarnya pengembangan dari Kelas Jurnalisme Warga yang rutin kami adakan sejak tiga tahun lalu. Dalam kelas tiap dua bulan sekali ini, kami biasa memberikan pelatihan menulis ala jurnalisme warga. Hasilnya berupa tulisan-tulisan peserta yang dipublikasikan di BaleBengong.net.
UU Project kami buat lebih sederhana. Pelatihannya tentang memotret dengan ponsel. Publikasinya di Twitter. Jika Kelas Jurnalisme Warga selama dua hari, maka UU Project hanya setengah hari.
Kontradiksi
Sabtu lalu, pelatihan UU Project kami adakan kembali untuk ketiga kalinya. Kali ini bersama Yakeba. Temanya #KotaKita, tentang bagaimana warga melihat kotanya sendiri.
Bulan lalu, pelatihan serupa kami adakan bersama Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali. Pesertanya anak-anak SMA di Denpasar. Tema praktik foto adalah #BaliGadang, tentang suasana sungai Tukad Badung, Denpasar.
Jika pada pelatihan UU Project sebelumnya anak-anak SMA itu rela berjibaku dengan bau busuk sungai, maka kali ini giliran mantan IDU dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mau berpanas ria dan melawan debu untuk merekam kotanya.
Hasil fotonya bagus-bagus. “Teman-teman sudah bisa menyampaikan pesan dengan bagus lewat foto-foto tersebut,” kata Agung Parameswara, fotografer Bali Daily yang jadi pemateri kali ini.
Saya sepakat dengan Agung. Meskipun cuma satu jam waktu untuk memotret dan berbekal ponsel, nyatanya teman-teman peserta bisa menghasilkan foto-foto bagus. Hampir semua bisa merekam dan menyampaikan pesan lewat foto itu.
Ita, misalnya, memotret rumah-rumah kumuh di kawasan elite Renon. Maria Sagita memotret tumpukan sampah di sungai berisi spanduk larangan membuang sampah. Menurut saya, mereka bisa menyampaikan kontradiksi dalam foto-foto itu.
Jika penasaran dengan hasil jepretan para pewarta warga ini, silakan cek sendiri di Twitter dengan tagar #KotaKita. Jika ternyata hasil foto itu tak sebagus yang Anda kira, maka kini waktunya Anda membuat karya sendiri. Ambil ponsel Anda. Rekam hal-hal menarik di sekitar lalu sebarkan melalui media sosial.
Karena, Anda adalah informasi itu sendiri. No neuus without u! [b]