Empat orang petani hutan TWA Batur yang tergabung dalam Kelompok Tani Sari Merta (KTSM) dengan diwakili oleh LBH Bali, YLBHI, dan LBH Jakarta mengirimkan surat keberatan atas diterbitkannya perizinan berusaha PT. Tanaya Pesona Batur (PT. TPB) dan dokumen pendukung izin lainnya, kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan pada 19 Desember 2024. Diketahui bahwa dokumen-dokumen tersebut diterbitkan untuk membangun proyek pariwisata Leisure Park di atas lahan seluas 85,66 hektare, yang juga mencaplok lahan garapan kelompok petani.
Menurut Direktur LBH Bali Rezky Pratiwi, keberatan dilayangkan karena dalam proses pengajuan izin, warga terdampak tidak dilibatkan secara bermakna dalam pengambilan keputusan. Proses sosialisasi dan pemberian informasi baru dilakukan setelah izin terbit, juga dengan cara-cara yang tidak patut. Dampak dimulainya proyek telah menimbulkan kerugian bagi petani seperti kerusakan barang dan lahan pertanian, konflik sosial, intimidasi berulang hingga upaya kriminalisasi. Upaya perampasan lahan pada proyek ini telah melanggar hak warga masyarakat atas tanah, sumber daya alam, lingkungan yang baik dan sehat, rasa aman, mengancam akses pada pekerjaan dan pendidikan.
Di sisi lain ada ancaman dampak yang lebih meluas dari alih fungsi kawasan dan degradasi lingkungan. Melalui penerbitan izin Pemerintah Pusat dianggap melanggar prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam Deklarasi Rio 1992, terkait prinsip kehati-hatian, partisipasi bermakna, tanggung jawab terhadap pelestarian ekosistem sumber daya alam, serta prinsip keadilan antar generasi. Pemerintah Pusat juga dinilai melanggar hak asasi manusia dan mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), yang diantaranya menjamin kemanfaatan serta kepentingan umum yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan yang didukung dengan cara-cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.
Sentralisasi izin ke Pemerintah Pusat lewat berlakunya UU Cipta Kerja dianggap memungkinkan terbitnya izin proyek nir-partisipasi seperti leisure park PT. TPB. Daerah dan masyarakat setempat yang mengetahui kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, adat, tidak dilibatkan namun justru menerima dampaknya. Pada akhirnya kondisi ini menjauhkan masyarakat terhadap akses keadilan dan justru mengarah pada praktik otoritarian.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dalam keberatannya para petani menuntut agar para pejabat terkait membatalkan perizinan berusaha PT. TPB dan dokumen pendukung izin lainnya serta menunda pelaksanaan proyek untuk mencegah timbulnya kerugian dan pelanggaran hak warga masyarakat, kerusakan lingkungan hidup, dan konflik sosial.