Pariwisata Bali menghadapi sejumlah tantangan signifikan yang dapat memengaruhi keberlanjutannya pada tahun 2025. Dua isu utama yang menjadi sorotan adalah imbauan media internasional yang menyebut Bali dalam daftar teratas No List 2025 atau destinasi “tidak layak dikunjungi” dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kedua faktor ini tidak hanya menurunkan daya tarik Bali sebagai destinasi wisata unggulan, tetapi juga berdampak secara ekonomi pada sektor-sektor yang menjadi penopang perekonomian masyarakat lokal.
Pandangan Kritis
Fodor’s Travel pada tahun 2024 yang menyebut Bali sebagai salah satu No List ini menyoroti berbagai isu, yakni overtourism, degradasi lingkungan, pengelolaan sampah yang buruk, fenomena “plastic apocalypse,” pengembangan infrastruktur yang tidak terkendali, serta meningkatnya konflik sosial.
Dampak dari Overtourism terhadap lingkungan terlihat jelas, misalnya melalui pencemaran plastik yang mencapai 1.200 ton per hari, di mana sebagian besar sampah tersebut tidak dikelola dengan baik (SIPSN, 2023). Kemacetan terjadi, meski kunjungan wisatawan ke Bali menurut data BPS belum memenuhi target. Kemacetan paling parah terjadi di sejumlah objek wisata daerah selatan. Eksploitasi sumber daya air untuk kebutuhan pariwisata telah menyebabkan penurunan cadangan air tanah yang signifikan, sehingga mengancam kebutuhan dasar masyarakat setempat. Situasi ini memperparah ketegangan sosial karena masyarakat merasa kebutuhan mereka diabaikan demi melayani wisatawan, yang akhirnya menurunkan persepsi Bali sebagai destinasi yang nyaman dan layak dikunjungi.
Dampak dari citra negatif ini bisa meluas, menyebabkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan dan berkurangnya pendapatan di sektor pariwisata.
Kenaikan PPN
Secara teoritis, kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% dimaksudkan untuk mendukung stabilitas fiskal. Namun kebijakan ini dilakukan dengan asumsi perekonomian berada dalam situasi stabil. Pada praktiknya, peningkatan tersebut dapat menambah beban sektor pariwisata yang sudah mengalami banyak tekanan.
Keadaan saat ini diperparah dengan kembalinya penurunan daya beli (deflasi) (BBCNews, 2024) dan melemahnya nilai tukar rupiah. Karena sifatnya yang final, PPN berdampak langsung terhadap beban masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Berbeda dengan pengusaha, besaran pajak peredaran (PPN keluaran) dapat dikurangi dengan menerbitkan faktur PPN sebagai bukti pembelian (PPN masukan). Ada dua jenis pajak barang dan jasa (PPN) bagi pengusaha. Momentum kenaikan PPN tidaklah tepat, karena dapat melemahkan daya beli masyarakat.
Sebagai pajak konsumen yang sifatnya multistage, PPN dipungut pada berbagai tahap produksi dan distribusi, berapa pun pendapatan konsumen. Akibatnya, total biaya pariwisata diperkirakan meningkat, termasuk harga tiket pesawat, akomodasi dan layanan lainnya. Pajak hotel dan restoran yang sudah dikenakan Pajak Daerah (PB1) juga akan semakin terbebani, sedangkan barang konsumen seperti alat kebersihan dan bahan-bahan baku makanan yang dikenakan PPN lebih tinggi akan berdampak pada kenaikan tarif pelayanan. tarif kamar dan harga makanan.
Situasi ini menempatkan Bali semakin bersaing ketat dengan destinasi wisata Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand dan Malaysia, yang menawarkan paket wisata yang lebih kompetitif. Bagi pelaku usaha lokal, kenaikan PPN akan meningkatkan biaya operasional, mengancam kelangsungan usaha, dan berpotensi mengurangi jumlah karyawan di sektor tersebut.
Dampak pada Konsumen
Sebagai pajak tidak langsung, PPN dibebankan kepada konsumen akhir melalui harga barang dan jasa. Kenaikan tarif ini secara langsung memengaruhi daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Sebagai ilustrasi:
- Barang seharga Rp100.000 dengan PPN 11% menjadi Rp111.000.
- Dengan PPN 12%, harga naik menjadi Rp112.000.
- Kenaikan nominal sebesar Rp 1.000 mungkin tampak kecil, tetapi jika ditotal, kenaikan tersebut dapat menjadi signifikan jika digabungkan dengan kenaikan biaya lainnya. Namun, secara matematis, ini berarti kenaikan tambahan pada nilai kena pajak sekitar 9%.
Kenaikan tarif ini tidak langsung mencerminkan kenaikan harga barang secara keseluruhan, namun tetap berimbas pada konsumen akhir.
Rekomendasi Strategis
- Menunda kenaikan PPN hingga perekonomian lebih stabil, sehingga daya beli masyarakat dan daya saing sektor pariwisata tetap terjaga.
- Memberikan insentif pajak bagi destinasi yang belum terekspos, seperti penurunan tarif pajak untuk meringankan beban pelaku usaha pariwisata.
- Meningkatkan pengelolaan pariwisata berkelanjutan, termasuk pembatasan kunjungan pada daerah sensitif, perbaikan pengelolaan sampah, dan pengembangan ekowisata.
- Mitigasi Pariwisata, pelaku pariwisata perlu melakukan mitigasi kenaikan PPN untuk mengantisipasi apabila PPN ini tetap dinaikkan.
- Memperkuat citra Bali di mata masyarakat internasional, melalui kampanye yang menonjolkan langkah konkret pelestarian lingkungan dan pengelolaan pariwisata.
- Pemerintah harus fokus pada strategi pemasaran yang menonjolkan pariwisata berkelanjutan, dan membuka peluang destinasi wisata alternatif di Bali.
Acuan;
BBC News Indonesia. (2024, Oktober 4). Ekonomi: Deflasi lima bulan berturut-turut, tanda “masyarakat kelaspekerjasudahtidakpunyauanglagiuntukberbelanja”. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9wkd982krvo.
Fodor’s Editors. (2024, November 13). Fodor’s No List 2025 – 15 Destinations to Reconsider in 2025. Diakses dari https://www.fodors.com/news/news/fodors-no-list-2025.
Pusparisa, Y. D. R. (2024, November 19). Industri Pariwisata Berisiko Tertekan akibat Pemangkasan PerjalananDinasdanKenaikanPPN. Kompas.id. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/industri-pariwisata- terancam-terpukul-imbas-pemangkasan-anggaran-dinas-dan-kenaikan-ppn.
SIPSN – Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. (2024). Menlhk.go.id. https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/data/timbulan