Media massa, konon, lahir untuk menjadi anjing penjaga kekuasaan. Watch dog, bahasa kerennya.
Ketika kekuasaan sudah terlalu mencengkeram, maka media massa yang diharapkan bisa menjadi pengingat tentang pentingnya keseimbangan. Bahwa kekuasaan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada yang mengimbangi kekuasaan tersebut.
Karena itu pula, maka pers ataupun media massa, dikenal juga sebagai pilar keempat demokrasi. Dia melengkapi tiga pilar lain yang sudah ada sebelumnya, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Lembaga legislatif adalah sang pembuat aturan sekaligus pengawas. Dalam konteks Indonesia, dia berwujud DPR dari tingkat kabupaten kota hingga pusat. Lembaga eksekutif adalah pelaksana dari legislasi yang sudah dibuat oleh lembaga legislatif. Dia juga diawasi oleh lembaga legislatif.
Ketika terjadi sengketa, ada lembaga lain yaitu yudikatif yang akan mengadili. Dia menjadi penengah ketika lembaga legislatif dan lembaga eksekutif ini bertengkar, berantem, atau bahkan saling menggugat. Bentuk lembaga yudikatif ini, antara lain, adalah pengadilan, kejaksaan, dan seterusnya.
Di luar tiga pilar itu kemudian ada media massa. Pers. Seperti namanya, lembaga ini hadir sebagai perwakilan massa. Publik. Dia tidak boleh dikuasai oleh salah satu dari ketiga pilar tersebut, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dua begawan jurnalisme modern, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, menabalkan nilai-nilai dasar elemen jurnalisme yang bisa disebut sebagai kitab suci jurnalisme saat ini, Sepuluh Elemen Jurnalisme. Setelah poin pertama bahwa jurnalisme bekerja untuk kebenaran, poin kedua adalah jurnalisme harus bekerja untuk publik (citizens).
Pemilik dan pengelola media boleh dari mana saja, siapa saja, dengan latar belakang dan kepentingan apa saja. Namun, pertama-tama dia harus tunduk untuk kebenaran. Kemudian, kedua, kesetiaan jurnalisme adalah kepada publik. Bekerja untuk warga. Mengabdilah kepada khalayak. Bukan kepada kekuasaan.
Konsep di atas semakin relevan ketika melihat media-media arus utama hari ini. Di Bali, misalnya, media-media besar semakin tunduk kepada kekuasaan eksekutif karena ketergantungan mereka pada kucuran uang dari Pemerintah Provinsi Bali. Tidak boleh ada suara kritis terhadap Gubernur Bali. Jika tidak, mereka tidak akan mendapatkan lagi jatah iklan.
Sudah lama ketergantungan media arus utama terhadap kucuran uang pemerintah itu terjadi. Namun, ketergantungan itu semakin besar setelah pandemi COVID-19. Lesunya ekonomi Bali akibat sekaratnya pariwisata massal berdampak terhadap hilangnya iklan dari sektor swasta. Di sisi lain, pemerintah memerlukan media untuk memoles citranya.
Cocoklah. Ada yang perlu uang untuk terus hidup. Ada yang perlu citra agar terlihat keras bekerja. Simbiosis mutualisme media dan kekuasaan pun terjadi.
Tentu saja sangat wajar media bergantung kepada iklan. Sangat wajar media bekerja untuk mencari pendapatan. Karena bisnis memang menjadi salah satu tujuan dan alasan media untuk bekerja. Namun, ketika media massa semakin tergantung pada satu pihak sehingga kehilangan fungsinya sebagai anjing penjaga kekuasaan, maka dia tak lebih dari corong iklan. Alat untuk memoles citra penguasa.
Sayangnya, itulah yang terjadi di Bali saat ini. Media-media arus utama hanya berisi wajah gubernur sebagai kabar utamanya. Tidak untuk mengawasinya, tetapi sekadar meneruskan siaran pers. Setiap hari. Begitu pula media-media baru yang konon lahir untuk merayakan kebebasan pers setelah runtuhnya Orde Baru.
Di tengah gempuran media sosial dan media digital lain, bisa bertahan hidup menjadi tantangan penting media-media arus utama. Atau, jangan-jangan, justru bertahan hidup itu telah menjadi tujuan utama mereka saat ini? Tidak lagi bekerja untuk publik dan apalagi mengawasi kekuasaan?
Di tengah situasi itulah, saya bersyukur bahwa BaleBengong masih hidup dan terus tegak berjalan. Selama 16 tahun media jurnalisme warga ini mengabdi kepada warga. Tidak ada satu pun jejak-jejak kekuasaan yang pernah mencampuri kebijakan redaksi apalagi menyetir ke arah mana kami harus melangkah.
Kami tak pernah menerima iklan dari pemerintah. Kami tidak pernah pula memasang Google Adsense untuk memburu klik pengunjung yang memabukkan itu.
Melalui jurnalisme, kami masih setia bekerja bersama dan untuk warga, terutama di Bali, di mana kami berada. Kami mengajak warga untuk ikut dalam redaksi. Mendidik warga untuk bisa memproduksi informasinya sendiri melalui kelas jurnalisme warga dari desa ke desa. Mendukung warga untuk menuliskan cerita-cerita mereka dalam bentuk laporan mendalam melalui beasiswa.
Dan, lebih penting lagi, memberikan ruang bagi mereka untuk mempublikasikannya di media jurnalisme warga. Warga bisa terlibat dari perencanaan, peliputan, penulisan, dan penyebarluasan laporan mereka sendiri, sesuatu yang rasanya tidak pernah ada di media arus utama Bali saat ini.
Warga tidak perlu bayar untuk masuk media, sebagaimana para pejabat dan politisi membayar iklan untuk mejeng di media arus utama. Warga bebas menuliskan apa saja yang mereka alami dan pikirkan tentang kenyataan hidup mereka sehari-hari. Tidak ada sensor, apalagi restriksi.
Maka, di usia ke-16 ini, bolehlah kami merayakan dengan tidak hanya bangga, tetapi juga rasa jemawa. Bahwa media kecil dan nirlaba ini masih bisa bekerja untuk warga. Bahwa media yang tidak pernah diakui oleh Dewan Pers sebagai media terverifikasi ini justru mendapat pengakuan dari warga.
Bahwa media harus bekerja untuk kebenaran dan setia kepada publik bukan sebuah utopia. [b]